Hari sudah sangat larut untuk Aster dan Sisil yang masih saling diam di sofa, di depan televisi yang menyala. Aster sengaja menyalakan televisi sebelum Sisil hadir di sana. Pandangannya memang tertuju pada siaran dalam benda persegi panjang itu, tapi pikirannya tengah menata kalimat yang pas untuk ia sampaikan pada Sisil saat ini.
Padahal saat di rumah sakit, Aster sudah menyiapkan segala rangkaian kalimat yang mengenakan untuk ia katakan. Namun, hidup memang selalu tak sesuai dengan rencana. Begitu pun dengan Aster yang bingung harus memulainya dari mana.
"Sisil."
"Pak dokter."
Mereka saling memanggil dan menengok secara bersamaan, sehingga mereka kembali diam dengan pandangan yang masih terkait. Yang lebih dulu memalingkan wajahnya adalah Sisil, dan Aster pun ikut memalingkan wajahnya. Mereka diselimuti kecanggungan yang kian pekat.
Aster meraih remot dan mematikan televisi yang suaranya sedikit mengganggu suasana di antara mereka. "Sil," panggil Aster lagi.
Sisil menoleh tanpa sahutan. Dari raut wajahnya terlihat jelas bahwa ia tengah kelelahan, tapi tetap mau menuruti Aster untuk berbicara di ruang tengah.
"Saya ingin memperbaiki interaksi kita, Sil." Aster memulai pembicaraan tanpa menunggu Sisil membuka suara. "Saya gak nyaman kalo terus diem-dieman gini. Kita baikan ya, Sil?"
Sisil tak langsung menjawab, ia berfikir beberapa saat. Sebenarnya ia tak mengerti dengan apa yang Aster maksud. Sisil mengerutkan keningnya sambil menoleh. "Maksud Pak dokter diem-dieman gimana? Bukannya Pak dokter yang jarang pulang ke rumah? Perasaan Sisil biasa aja deh. Pak dokternya aja yang merasa gak biasa."
Aster menahan napas sebelum menghembuskannya secara perlahan. Benar juga, selama ini ia sendiri yang menghindari Sisil. Lantas, apakah di sini Aster yang salah?
"Waktu itu Sisil gak bilang kalo kita harus jaga jarak. Selama ini Sisil biasa aja. Sisil pulang ke rumah, masak buat Pak dokter, terus lakuin kegiatan kayak biasa. Tapi Pak dokter gak pulang-pulang, jadinya makanan yang Sisil masak mubazir, dibuang karena selalu basi," cerocos Sisil yang sepertinya tengah mengeluarkan segala unek-unek yang mengganjal di hatinya selama ini. "Jadi yang salah di sini siapa?"
Pertanyaan Sisil membuat Aster diam, sekaligus tertohok oleh seluruh kalimat yang Sisil tumpahkan. Aster sempat nge-lag saat Sisil berbicara panjang lebar tanpa menghilangkan wajah masamnya.
Sekarang Aster mengerti, yang salah adalah dirinya. Kenapa juga ia sendiri harus menghindari Sisil? Padahal Sisil yang menyukainya, seharusnya Sisil'lah yang merasa malu atau tidak nyaman. Tapi kenapa harus Aster yang seperti itu?
"Yaudah, saya minta maaf," ucap Aster sedikit menunduk, memainkan tangan yang berada di antara dua pahanya.
"Pak dokter laper?" tanya Sisil, mengalihkan mereka dari kecanggungan dan masalah itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wife For Aster
General Fiction𝐉𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐥𝐮𝐩𝐚 𝐟𝐨𝐥𝐥𝐨𝐰 𝐬𝐞𝐛𝐞𝐥𝐮𝐦 𝐦𝐞𝐦𝐛𝐚𝐜𝐚 genre : romantis, melodrama *** Di usianya yang nyaris kepala tiga, Aster tak kunjung memiliki tambatan hati. Masalah asmara di masalalu yang cukup sulit membuat Aster enggan membangun...