Pagi yang indah mengawali hari Aster dan Sisil. Aster tak henti-hentinya tersenyum setelah mereka melakukam ritual semalam yang memang seharusnya dilakukan oleh suami istri. Permintaan Aster untuk membuat anak disetujui oleh Sisil. Apa salahnya Sisil memenuhi hak Aster atas dirinya?
Tepat di malam tadi, Sisil menyerahkan seluruh hidupnya untuk Aster. Sisil merasa bahagia karena ia sudah sepenuhnya milik Aster. Dan Aster adalah lelaki pertama yang menyentuhnya.
Sisil masih memakai bathrobe dan duduk di depan meja rias sambil memainkan talinya untuk mengalihkan salah tingkah. Rambutnya yang masih basah dikeringkan oleh Aster dengan hairdryer.
Berbeda dengan Aster yang sudah memakai pakaiannya dengan utuh, tapi rambutnya masih setengah basah. Sisil menawarkan diri untuk mengeringkannya, tapi Aster menolak karena ia ingin mengeringkan rambut Sisil terlebih dahulu.
"Sil," panggil Aster.
"Iya?" Sisil melirik Aster lewat cermin rias di depannya.
"Kalo percobaan kemarin gagal, kita coba lagi di malam-malam yang lainnya ya?" pinta Aster.
Sisil hampir ingin tertawa mendengar permintaan itu. Memangnya mereka sedang melakukan praktek ilmiah? Segala menyebutnya sebagai percobaan. Konyol sekali suaminya itu.
Sisil menahan bibirnya untuk tidak tertawa. "Iya, Pak dokter."
"Kamu jangan manggil saya Pak dokter lagi dong, Sil. Terlalu formal."
"Terus Sisil harus manggil apa?"
"Sayang saja." Aster menjawab dengan mengangkat sekilas kedua alisnya dengan tersenyum genit.
"Sayang? Harus manggil kayak gitu?"
"Iya sayangkuuuu."
Aster menjawab lagi dengan jawaban yang membuat Sisil hampir lupa daratan. Jika saja ia memiliki sayap, mungkin saja ia sudah terbang menembus plafon rumah.
Bagaimana ini? Sekarang Sisil sering kali dibuat salah tingkah oleh Aster. Berkali-kali pipinya dibuat merah karena tersipu malu dan tak karuan. Dan seri di wajahnya terus terlukis tanpa memudar.
"Tapi Sisil malu kalo harus manggil sayang," kata Sisil.
"Kenapa harus malu? Saya suami kamu, lho, Sil."
"Eee ...Tapi ..." Perkataan Sisil menggantung sambil terus menatap kearah Aster. Seakan mengerti dengan tatapan itu, Aster kemudian mengangguk. "Oke deh, terserah kamu mau manggil apa. Asal jangan Pak dokter."
"Pak Suami?" saran Sisil.
"Terserah kamu saja, Sil." Nada bicara Aster membuat Sisil berkesimpulan bahwa Aster kini tengah kesal, terlihat juga dari raut wajahnya yang ditekuk.
Lalu, untuk meredakan kekesalan itu, Sisil merayunya dengan mengatakan apa yang Aster inginkan, "Iya, sayaaaang."
Seketika wajah Aster sumringah dan padangannya langsung tertuju pada cermin untuk melihat Sisil dengan antusias. "Sil ... Coba ulang sekali lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Wife For Aster
General Fiction𝐉𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐥𝐮𝐩𝐚 𝐟𝐨𝐥𝐥𝐨𝐰 𝐬𝐞𝐛𝐞𝐥𝐮𝐦 𝐦𝐞𝐦𝐛𝐚𝐜𝐚 genre : romantis, melodrama *** Di usianya yang nyaris kepala tiga, Aster tak kunjung memiliki tambatan hati. Masalah asmara di masalalu yang cukup sulit membuat Aster enggan membangun...