SIM05

1.3K 204 2
                                    

Azan isya berkumandang. Dengan semangatnya Fatimah mengajak sang menantu untuk mengambil air wudu. Sesampainya di kamar mandi yang ada di kamar Alvin, tiba-tiba Alvin masuk begitu saja dengan Burhan sontak membuat Fatimah hampir saja mengeluarkan jurus bicara dengan kecepatan di atas rata-rata.

"Sut! Tenang, kita keluar kok," tukas Burhan sebelum sang istri mengomelinya.

Burhan sedikit mendorong bahu putranya agar keluar dari kamar. Alvin menutup kembali pintu kamarnya. Setelah itu, Syifa membuka cadarnya. Fatimah terperangah melihat wajah elok yang dimiliki oleh Syifa. Syifa memiliki wajah secantik itu dan tidak mau dipamerkan ke publik? Mengagumkan!

Untuk mengambil air wudu membuat Syifa mengharuskan untuk membuka hijabnya. Fatimah melihat rambut yang sangat terawat dengan warna yang hitam pekat. Sungguh indah. Fatimah tidak bisa membayangkan bagaimana ekspresi Alvin ketika melihat kecantikan yang dimiliki oleh Syifa, pasti Alvin sangat menyukainya. Bahkan, Syifa jauh lebih cantik dari pada Evrita.

Syifa tersenyum manis pada mertuanya yang selalu memuji kecantikannya. "Terima kasih, Umi."

"Kau mempunyai wajah cantik, apa alasanmu untuk memakai cadar? Padahal, di luar sana banyak wanita yang berlomba-lomba untuk memperlihatkan kecantikannya."

"Kecantikan-ku hanya untuk orang-orang spesial saja, Umi. Untuk Alvin. Alvin suamiku," sahut Syifa dengan suara yang sangat lembut.

Sebenarnya, menyebut nama Alvin ke dalam orang yang termasuk spesial sedikit menggelitik bagi Syifa. Pasalnya, Syifa belum kenal dekat dengan pria itu. Namun, Syifa harus berpura-pura bahwa ia sangat mencintai Alvin demi kebahagiaan sang mertua yang kelihatannya sangat mengharapkan istri salihah untuk Alvin. Syifa bisa menebak itu dari tutur kata beliau yang selalu meminta Syifa untuk tabah memiliki suami seperti Alvin yang bisa dibilang cukup jauh dari agama.

Syifa mengambil air wudu, begitu juga Fatimah. Sedangkan Alvin, Burhan, dan bodyguard yang memeluk agama Islam pergi ke masjid. Jika sedang ada Burhan di rumah Alvin, semua bodyguard yang memeluk agama Islam diperintahkan untuk pergi ke masjid untuk melaksanakan ibadah salat. Letak Masjid sedikit jauh sehingga membuat Alvin ingin sekali menaiki kendaraan untuk pergi ke sana. Namun, Burhan melarangnya.

"Kullu khuthwaatin yakhthuuha ila as-shalaati yuktabu lahu biha hasanatun wa yumha anhu biha sayyi-atun."

Yang artinya, "Setiap langkah menuju tempat sholat (masjid) akan dicatat sebagai kebaikan dan akan menghapus kejelekan." Hadits ini diriwayatkan Imam Ahmad.

Sebelum melaksanakan salat, Fatimah mengajak para pembantu yang ada di dapur untuk melaksanakan salat berjamaah. Syifa diperintahkan untuk mengimami para makmum perempuan ini. Dengan senang hati Syifa melaksanakan perintahnya.

Ikamah dilantunkan oleh Fatimah. Setelah itu, Syifa memulai salatnya. Setelah melaksanakan kewajiban bagi seorang muslim, Syifa berbalik badan, bukan hanya menyerongkan badannya. Wanita itu mencium punggung tangan milik Fatimah. Sedangkan para pembantu melipatkan mukenanya masing-masing dan berpamit keluar. Tak enak rasanya memasuki kamar tuan muda tanpa izin dari sang empu.

Syifa membalikkan badannya lagi dan berzikir dalam diamnya, sedangkan Fatimah mendoakan kesejahteraan dalam rumah tangga putranya dan Syifa, menantu yang sudah ia anggap seperti anak sendiri. Jika ada Syifa, rasanya Fatimah tengah mempunyai anak perempuan. Wanita paruh baya tersebut sangat amat bersyukur atas dihadirkannya Syifa dengan status menantunya.

Setelah selesai berdoa, Fatimah mengajak Syifa untuk makan malam. Sebelum keluar dari kamar, Syifa memakai cadarnya terlebih dahulu. Fatimah dan Syifa menunggu Alvin dan Burhan di meja makan. Namun, mereka berdua tak kunjung sampai. Oleh karena itu kini Fatimah dan Syifa makan mendahului mereka.

Setelah selesai makan, Fatimah mengajak Syifa pergi ke taman belakang. Kedua wanita itu duduk di ayunan panjang dan sesekali menghirup riuhan angin yang berlalu-lalang. Senyuman manis selalu disunggingkan oleh wanita paruh baya ini. Bahagia? Tentu saja. Dia tidak pernah menyangka bahwa Alvin bisa menikahi seorang wanita. Wanita salihah maksudnya. Fatimah sempat berpikir bahwa tidak akan ada wanita salihah yang ingin menjadi istri Alvin.

"Syifa, apa kau benar-benar mencintai Alvin? Anak itu sangat keras kepala," tanya Fatimah.

Dengan hati yang ragu Syifa menganggukkan kepalanya. "Syifa mencintainya, Umi."

Fatimah mengusap lembut pucuk kepala milik Syifa. "Umi memohon, bimbing dia, Nak. Umi gagal mendidiknya. Jangan tinggalkan Alvin. Alvin pasti mencintaimu."

Syifa menganggukkan kepalanya. Syifa mengaku-ngaku bahwa ia mencintai Alvin karena tak ingin membuat hati Fatimah menjadi gundah gulana. Syifa juga tengah berusaha untuk mengikhlaskan pernikahannya yang sangat mendadak.

Syifa yakin bahwa Alvin menculiknya bukan karena ia mencintainya. Melainkan hanya untuk membahagiakan umi dan abinya. Syifa akan sangat ikhlas jika Alvin bisa menerimanya sebagai istri, bukan sebagai alat untuk membahagiakan orang lain. Jika Alvin bisa mencintainya, maka Syifa pun akan berusaha untuk menaruh perasaannya untuk Alvin.

Satu hal yang belum Syifa tahu, Alvin mempunyai seorang kekasih.

Suara pagar yang tengah dibuka, terdengar di telinga kedua wanita tersebut. Itu artinya Alvin dan Burhan sudah datang. Namun, Fatimah tidak ada niat sedikit pun untuk menghampiri mereka. Jika mereka sudah makan, baru Fatimah akan menghampirinya.

Kedua wanita itu terus bercanda ria. Jika ada di dekat Fatimah, Syifa merasa bahwa rasa nyaman terus menyelimuti hatinya. Syifa lebih sering tertawa dari biasanya. Beberapa menit kemudian, Alvin dan Burhan menghampiri. Burhan mengajak Fatimah untuk pulang. Mereka berdua berpamitan kepada Alvin dan Syifa.

"Alvin, jika kau macam-macam kepada menantu umi, kau dalam bahaya!" peringat Fatimah.

"Iya iya."

"Syifa, umi pulang lebih awal, ya, Nak. Jika Alvin berbuat kasar padamu, kau laporkan saja pada umi!" titah Fatimah.

Syifa menganggukkan kepala. "Baik, Umi."

"Assalamualaikum!" serentak Fatimah dan Burhan.

"Waalaikumsalam."

Alvin dan Syifa mengantarkan kedua orang paruh baya tersebut sampai mobilnya benar-benar melaju menjauhi rumahnya. Setelah itu, Alvin melengos begitu saja meninggalkan Syifa. Syifa menguntit Alvin dari belakang karena ia tak tahu harus ke mana. Alvin menaiki tangga, begitu juga dengan Syifa. Wajah Alvin terlihat datar, sama seperti ekspresi wajah yang pertama kali dilihat oleh Syifa ketika ia bertemu dengannya. Alvin masuk ke dalam kamarnya. Namun, kali ini Syifa tak berani menguntitnya.

Alvin menoleh ke belakang dan menatap mata Syifa dengan sudut matanya. "Kau sedang apa? Masuk!"

Syifa mengangguk ragu. Namun, pada akhirnya ia masuk juga ke dalam kamar. Alvin melihat keringat Syifa yang mengucur di keningnya. Alvin menutup pintu kamarnya. "Buka saja hijab dan cadarmu itu!"

"Tidak akan."

"Aku suamimu, ikuti perintahku!" titahnya dengan nada yang cukup tinggi. Alvin meraih sebuah baju tidur wanita yang sudah disiapkan jauh-jauh hari. Alvin melemparkan baju tersebut kepada wanita yang baru saja menyandang gelar sebagai istrinya.

Syifa menangkap baju itu dan langsung masuk ke dalam kamar mandi. Syifa mengganti bajunya. Rambutnya yang panjang kini terurai dengan cantiknya. Syifa memakai baju tidur yang diberikan oleh Alvin. Baju iru berwarna abu-abu dengan lengan yang terjulur sampai siku-siku saja.

Syifa keluar dari kamar mandinya dan melipat baju miliknya. Alvin melihat penampilan Syifa yang jauh berbeda. Jujur saja, Syifa sangat cantik. Namun, jika dibandingkan dengan Evrita, tentu saja bagi mata Alvin Evrita jauh lebih cantik.

Surat Izin Mencintai (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang