SIM 17

1K 156 1
                                    

Syifa menyukai cuaca yang seperti ini karena awan berwarna abu-abu muda. Jika akan memandangnya, tidak perlu khawatir akan matahari yang senantiasa menyilaukan mata. Hari ini matahari sedang tertutup awan tebal.

Fatimah memandangi langit-langit. "Syifa, apa kau tahu? Alvin sangat menyukai awan. Bahkan, dia pernah merengek ingin mengganti tema kamarnya menjadi awan, padahal kami baru saja menggantinya dengan tema bintang. Dia sangat labil dengan keputusannya. Tetapi, ketika beranjak dewasa justru dia sangat kuat dengan segala keinginannya. Jika dia menginginkan sesuatu, maka tidak mungkin dia akan berubah pikiran kecuali jika dipengaruhi."

Beberapa tahun yang lalu ....

Di sebuah rumah mewah bak istana terdapat satu keluarga yang tengah ricuh akibat amukan sang anak. Terlihat anak yang sudah menginjak umur sebelas belas tahun tengah membanting kursi dan sofa dengan tenaganya yang terbilang cukup besar untuk anak semuda itu.

"Alvin, hentikan! Bicaralah, apa yang kau inginkan!" titah seorang pria paruh baya.

Anak itu memang belum mengatakan apa yang ia inginkan. Dia baru saja pulang sekolah dan langsung mengamuk dan membanting semua barang-barang. Anak itu sangat pemarah, ayahnya selalu mendidiknya dengan kekerasan sehingga ia mencontohkannya. Jangan lupakan ini, anak adalah foto copy dari orang tuanya.

Anak yang hendak melemparkan pot kaca tiba-tiba mengurungkan niatnya. "Alvin ingin mengganti tema kamar, Abi!"

"Hei, beberapa minggu yang lalu kau baru saja mengganti tema kamar-mu?! Apakah itu tidak membuat-mu puas, hah?!"

Pria paruh baya itu hendak melayangkan sebuah tamparan. Anak itu menutup wajahnya menggunakan tangan. Tiba-tiba, tangan pria tadi ditahan oleh sang istri. Memang sulit untuk menahan emosi. Namun, jika tidak diusahakan sama sekali, dari emosi itu akan menghilangkan banyak hal.

Prang!

Alvin melempar pot kaca tepat di kepala sang umi. Anak kecil tersebut berlari meninggalkan umi dan abi-nya. Wanita paruh baya yang sudah dilemparkan pot kaca oleh anaknya sontak mengeluarkan darah di area pelipisnya.

"Anak kurang ajar!" teriak Burhan.

Begitulah Alvin di masa lalu. Jika didiamkan akan meninggi, jika dilawan dengan penuh emosi dan kekerasan anak kecil itu akan kehilangan rasa percaya dirinya. Senakal-nakalnya Alvin, Burhan dan Fatimah selalu berusaha untuk mengontrol emosinya walaupun sering kali gagal.

Anak akan kehilangan rasa percaya diri jika sering kali diberi bentakan oleh orang terdekat. Membentaknya hanya dua menit. Namun, menyembuhkan lukanya butuh waktu bertahun-tahun. Terkadang, anak akan selalu ingat perkataan apa yang pernah dilontarkan oleh kedua orang tuanya.

"Begitulah Alvin, Nak. Walaupun sekarang dia sudah ada sedikit perubahan. Namun, pasti perilakunya akan sangat merepotkan-mu," ujar Fatimah.

"Tidak apa-apa, Umi."

"Kau berhak mengetahui ini, Nak. Alvin ... Alvin pernah membunuh se---"

"Umi, itu aib Alvin. Biarkan Umi, Alvin, dan Allah saja yang mengetahui itu. Syifa tidak perlu karena itu aib-nya," tukas Syifa.

"Tetapi ... jika kau sudah mengetahui bahwa Alvin suka membunuh, apakah kau akan meninggalkan Alvin?" Fatimah menatap mata Syifa seolah-olah ia berharap bahwa Syifa akan menjawab tidak.

Benar saja, Syifa menggelengkan kepalanya. "Tidak akan ada masa depan yang cerah tanpa masa lalu yang buruk. Alvin masih bisa berubah, Umi."

Di waktu yang sama dan di tempat yang berbeda, Alvin tengah mendudukkan tubuhnya di atas sofa dengan wajah yang nampak kelelahan. Ya, Alvin lelah berpura-pura rajin seperti ini. Jika tidak ada kedua orang tuanya di rumah, mana mau Alvin pergi ke kantor.

Biasanya hanya Aarav yang mengerjakan semua pekerjaan kantor. Namun, kini Alvin yang mengambil alih semua itu dan bertemu dengan klien yang tak sedikit jumlahnya.

Ceklek!

"Enak sekali hidupmu. Ayok, kerja!" titah Aarav.

Alvin mengangkat punggungnya dari sandaran sofa. "Sejak kapan kau berani menitah-ku?!"

"Sejak abi menyuruhku untuk mengawasi-mu."

"Dia abi-ku, bukan abi-mu!" sungut Alvin.

"Kerja! Nih, ketik ulang data-data ini lalu kau cetak!" Aarav menyerahkan beberapa data-data dan meletakkannya di atas meja.

"Hanya perlu dicetak, mengapa harus di-ketik kembali?" Alvin berjalan menuju meja kerjanya dan melihat-lihat data tersebut.

"Supaya kau ada kerjaan. Ayok, buat!"

Aarav keluar dari ruangan Alvin. Sedangkan Alvin berkomat-kamit melihat punggungnya. Pria tersebut mendudukkan bokongnya di kursi yang letaknya berhadapan dengan meja dan laptop yang masih menyala. Alvin mulai mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Aarav.

"Buang-buang waktu! Hanya perlu di-cetak saja mengapa harus ku-ketik kembali? Sepertinya dia senang sekali menyibukkan-ku!"

Setelah selesai mengetik, Alvin pergi ke ruangan Aarav. Jujur saja Alvin bosan. Alvin tidak ingin pergi ke luar kantor hanya untuk mencetak data-data tersebut, karena di luar sedang turun hujan.

Alvin masuk ke ruangan Aarav. Ia melihat Aarav tengah merapikan berkas-berkas. Alvin melihat sekeliling ruangan milik sahabatnya. "Ruangan-mu rapi sekali, pasti kau pernah menjadi seorang pembantu yang berpengalaman. Setelah ini rapikan ruangan-ku, ya," ujar Alvin.

"Enak saja!"

"Apa kau sudah mencetak data-data tadi?" sambung Aarav seraya meletakkan berkas-berkas tersebut di laci.

"Di luar hujan." Lagi dan lagi Alvin mendudukkan bokongnya di atas sofa. Jika tidak rebahan, maka duduk.

Aarav geleng-geleng kepala mendengar sahutan Alvin. Padahal, kala itu Aarav selalu hujan-hujanan untuk memenuhi perintah Alvin, itu jauh sebelum Aarav sangat akrab dengan Alvin. Bahkan ketika semasa SMA, Aarav selalu diperlakukan layaknya seorang babu oleh orang ini.

"Aku sudah sering hujan-hujanan untuk mencetak beberapa data yang diberikan oleh abi."

Alvin mendelik. "Kau congkak sekali! Kau menceritakan itu karena ingin dipuji olehku? Maaf, aku tidak akan memuji-mu!"

"Aku juga tidak ingin mendapat pujian darimu!" ketus Aarav.

Alvin menyandarkan punggungnya di sandaran sofa dengan mata yang terpejam. "Tenang saja, aku sudah memerintahkan si badut untuk mencetak data itu."

"Siapa badut?"

"Si gendut, Che" sahut Alvin dengan santai.

"Tidak boleh mengejeknya seperti itu. Walaupun badannya besar, tetapi dia tidak pemalas seperti-mu!"

Alvin bangkit dari sofa dan memilih untuk keluar dari ruangan Aarav. Walaupun ruangannya rapi dan nyaman, jika ada Aarav yang senantiasa menceramahi-nya untuk apa? Itu hanya membuat kuping Alvin terasa pegal, pikirnya demikian.

Alvin masuk ke dalam ruangannya. Namun, matanya mendelik ketika melihat seorang wanita tengah duduk di atas sofa. Sebenarnya, Alvin tidak marah. Hanya saja kali ini Alvin tida menyukai kehadiran wanita itu karena kekesalan Alvin belum kunjung terobati.

"Keluar dari ruangan-ku, wanita jalang!" titah Alvin dengan nada yang datar.

Evrita mengerutkan keningnya. "Apa maksudmu, Honey? Mulutmu kotor sekali."

____

TBC

Bantu follow akun baru Instagram Fafa, dong.
faresyia_

Surat Izin Mencintai (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang