SIM 15

1.1K 181 3
                                    

"Aku tidak rajin, tapi terpaksa!"

Alvin melihat penampilan Aarav dari bawah sampai atas. Alvin melihat Aarav yang tengah memakai baju panjang sampai mata kaki. Alvin melihatnya itu seperti gamis yang selalu dikenakan oleh umi dan juga istrinya. "Kau mau ke mana? Mengapa bajumu sama dengan umi dan Syifa? Kau laki-laki mengapa memakai gamis?"

"Ini gamis jubah, Alvin ...," sahut Aarav.

"Apa kau akan pergi ke masjid?"

Aarav menganggukkan kepalanya. Namun, anggukan kepala darinya justru ditertawai oleh Alvin. Alvin berujar, "Sejak kapan kau suka pergi ke masjid?"

"Aku selalu salat subuh di masjid. Kau saja yang tidak tahu dan aku juga tidak ingin memamerkan ibadahku. Kau tidak menyangka bahwa aku pernah ke masjid adalah kebanggaanku terhadap diri sendiri karena pintar menyembunyikan-nya."

"Ya sudah, kita pergi bersama!" Alvin menarik tangan Aarav.

Rasanya Alvin seketika bersemangat. Ini pertama kalinya Alvin pergi ke masjid pagi-pagi buta. Jika Alvin pergi sendiri, Alvin akan malas. Namun, jika bersama dengan sahabatnya ini mungkin semangat Alvin akan tumbuh.

"Tunggu! Kau pergi ke masjid memakai baju tidur?" tanya Aarav.

"Ya. Seperti yang kau lihat. Ayok, tidak usah banyak bicara!"

Alvin menarik tangannya. Sedangkan Syifa, wanita itu tengah menyiapkan baju gamis, kerudung, dan cadarnya. Semuanya berwarna hitam. Syifa juga menggantungkan handuk di bahunya. Wanita itu meletakkan hijab dan cadarnya di atas ranjang. Lalu, ia masuk ke kamar mandi.

Setelah selesai membersihkan tubuhnya, Syifa menyisir rambutnya, lalu memakai kerudung dan cadarnya. Syifa memakaikan celak pada matanya. Ini pertama kalinya Syifa memakai celak, Fatimah yang membelikannya ketika ia pergi ke mall bersamanya.

Syifa merapikan tempat tidurnya. Setelah itu, Syifa menyapu kamarnya karena pembantu di sini tidak ada yang berani masuk ke dalam kamar kecuali jika diperintahkan oleh Alvin, Syifa, Fatimah, atau Burhan. Syifa menyapu lantai atas dan lantai bawah.

Ketika wanita itu hendak mengeluarkan debu-debu yang sudah ia sapu, tiba-tiba Syifa berpas-pasan dengan Alvin dan Aarav yang baru saja datang dari masjid. Hati Aarav merasa sejuk jika melihat Syifa. Namun, Aarav masih sadar bahwa Syifa bukanlah wanita yang gemar dipandang oleh laki-laki yang bukan mahram baginya.

"Sedang apa?" tanya Alvin dengan wajah datarnya.

"Menyapu."

"Oh." Alvin melengos pergi.

'Tidak sopan sekali dia!' batin Aarav.

Aarav menarik tangan Alvin ke belakang agar pria itu tidak melengos begitu saja melewati Syifa. "Syifa, bukankah ada pembantu di sini?"

"Tidak apa. Menyapu biarkan jadi tugasku saja. Permisi." Syifa kembali melakukan aktivitasnya dengan kepala yang menunduk untuk menjaga pandangannya.

'Masyaallah, matanya indah. Beruntung sekali Alvin bisa memandangi wajahnya,' batin Aarav.

Alvin dan Aarav pergi ke sofa. Biasanya mereka akan mengobrol layaknya sahabat pada umumnya dengan usia remaja SMA karena topik pembicaraan selalu tentang perempuan. Namun, Aarav berusaha untuk mengurangi topik pembicaraan tersebut karena Alvin sudah mempunyai Syifa.

Aarav celingak-celinguk memastikan bahwa keadaan aman. Lalu, ia berbisik, "Apa kau sudah memutuskan Evrita?"

"Aku belum memutuskannya. Tetapi, aku sudah memblokir semua media sosialnya."

"Bagus! Lepaskan Evrita, cintai Syifa sebelum aku merebutnya darimu." Aarav menaikkan sebelah alisnya.

"Aku tak mengatakan bahwa aku akan melepaskan Evrita. Aku hanyw saja, aku masih kesal padanya. Jika kekesalan-ku sudah mereda, aku akan menghubunginya lagi." Alvin menyandarkan punggungnya di sandaran sofa dengan kedua tangannya yang dilipat ke kepala sebagai bantalan.

"Tak mengerti bersyukur! Masih untung Syifa bisa bertahan denganmu," sungutnya.

"Dia bahagia di sini, you know? Di sini dia mau apapun dibelikan oleh umi. Dia, kan, menantu kesayangan umi. Bahkan, umi lebih menyayangi menantunya dibandingkan dengan putranya."

"Jangan iri, jangan iri, jangan iri dengki," ejek Aarav dengan nada yang ia dengar di suatu aplikasi platfrom video.

Syifa melewati mereka berdua dengan punggung yang sedikit dibungkukkan. Aarav tersenyum padanya, sedangkan Alvin sama sekali tidak mengindahkan istrinya. Bagi Alvin, kehadiran Syifa di rumah ini hanya untuk memuaskan keinginan umi dan abi-nya saja. Selain itu, Syifa hanyalah seorang wanita yang menumpang hidup di sini. Menumpang hidup Alvin menganggapnya, sangat jahat, bukan?

Aarav mendekati bibirnya tepat di depan telinga milik Alvin. "Lagi pula, aku tak yakin jika dia bahagia setelah menikah denganmu. Bisa saja dia menutupi lukanya darimu dan abi umi. Kau sudah menculiknya dari kedua orang tuanya, maka sekarang tugasmu untuk membahagiakan-nya."

"Menculik dari orang tuanya? Ck, orang tuanya sudah tiada!"

"Astagfirullah. Itu artinya kau harus bisa lebih membahagiakan-nya. Jika tidak bisa, biar aku yang membahagiakan Syifa."

"Jangan asal ucap! Aku tidak akan pernah membiarkan wanita itu bahagia bersamamu sekalipun kau adalah sahabatku!" tegas Alvin.

Aarav mengukir senyuman tipisnya. Aarav tahu bahwa Alvin mulai takut kehilangan Syifa walaupun cinta itu belum berpihak pada Syifa. Tak apa, ada kemajuan, pikir Aarav demikian.

"Kau tidak mengizinkan aku? Maka, masukkan Syifa ke dalam hidup bahagia-mu." Aarav menepuk pundak Alvin. Setelah itu, ia menaiki anak tangga dan masuk ke dalam kamar.

Ada saatnya seseorang menempati titik di mana ia merasa lelah. Aarav lelah harus menghadapi Alvin yang sangat keras kepala. Aarav memaksa Alvin untuk mencintai Syifa bukan karena ia memedulikan Alvin yang akan menyesal nanti, melainkan tentang hati Syifa yang selalu tertekan. Di balik cadarnya pasti ada ekspresi wajah kecut yang tak bisa Aarav lihat.

Jika boleh, Aarav ingin sekali menyandang gelar statusnya sebagai suami untuk Syifa. Seperti Alvin. Namun, justru Alvin yang menjadi tembok penghalang yang amat kuat untuk Aarav menyandang gelar tersebut sehingga membuatnya harus berpikir berkali-kali lipat. Dua kali lipat? Tidak cukup! Dua kali lipat Aarav masih mempunya keinginan untuk menghalalkan Syifa.

"Tak bisa dibayangkan suatu saat kau mengemis cinta kepada Syifa, Alvin," lirih Aarav di belakang pintu kamarnya yang tertutup.

____

TBC

Bantu follow akun baru Instagram Fafa, dong.
faresyia_

Surat Izin Mencintai (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang