SIM 38

1.1K 181 4
                                    

Jangan lupa tekan vote.

Happy reading❤️

______

Syifa pergi dari kamar. Awalnya, Alvin ingin ikut dengan wanita itu. Namun, karena kebohongannya itu membuat Alvin tidak bisa mengikuti keinginan hati. Alvin melirik ke luar jendela, di luar hujan masih turun dengan derasnya. Sambaran petir sekali-kali terdengar kian kerasnya ditambah lagi dengan cahaya yang berkelebat dengan cepat di langit. Tak lama kemudian, Syifa datang ke kamar dengan membawa piring, segelas air, dan satu benda jahanam yang membuat mata Alvin membulat.

Syifa duduk di tepi ranjang. Tangannya sengaja memperlihatkan pil yang cukup besar dari sebelumnya. Melihat pil itu membuat pelipis Alvin bercucuran keringat dingin. Pil kecil saja tidak bisa ia telan, apa lagi yang besar. Syifa tersenyum menyeringai di balik cadarnya ketika melihat ekspresi Alvin yang terkejut bukan kepalang. Syifa menciduk makanan yang ada di piring menggunakan sendok. Syifa menyuapi Alvin sehingga makanan yang dibawa olehnya habis.

Syifa membuka bungkus obat. Anehnya, Alvin tidak mengatakan kebenaran, padahal Syifa menunggunya.

"Kali ini, dite---"

"Aku tidak sakit, Sayang," tukas Alvin seraya menyunggingkan senyum kikuk. Setelah mempertimbangkan semuanya, ternyata Alvin lebih memilih menghancurkan kebohongannya demi tidak menelan

Syifa menatapnya dengan tatapan yang mendalam. "Tidak boleh berbohong seperti itu, Alvin."

Pria itu menggaruk tengkuknya yang tak merasa gatal. "Aku iseng saja. Maafkan aku."

"Ya, sudah, aku ke dapur dahulu," ujar Syifa seraya mengangkat bokongnya dari ranjang.

"Ikut ...!"

Alvin berlari untuk mensejajarkan tubuhnya dan tubuh Syifa agar jalan beriringan. Pasutri itu turun ke lantai bawah. Namun, tatapan Alvin jatuh kepada orang mini yang terbaring di atas sofa.  Maksud Alvin adalah bayi. Namun, bagi mata Alvin bayi itu lebih wajar disebut orang mini. Alvin menghentikan langkahnya. Pria tersebut menahan pergelangan tangan milik Syifa agar Syifa menghentikan langkahnya. Syifa menolehkan kepalanya ke belakang, Alvin memanah telunjuknya ke arah bayi yang tengah tertidur.

"Bayi siapa?" tanya Syifa.

Alvin menggelengkan kepalanya. Namun, walaupun tidak tahu bayi tersebut milik siapa, Alvin tetap menghampirinya sedangkan Syifa pergi ke dapur untuk meletakkan piringnya terlebih dahulu. Alvin menatap bayi yang ada di depannya itu dengan tatapan yang aneh. Alvin menusuk-nusuk pipi tembam milik bayi tersebut. Alvin ketagihan untuk melakukannya. Pria itu menjadi gemas pada bayi ini. Ia hendak menggendongnya dengan cara menarik satu tangan milik bayi. Namun, tiba-tiba ....

"Astagfirullah, Alvin. Hentikan!"

Untung saja tubuh bayi tersebut belum terangkat sepenuhnya. Namun, bayi itu menangis dengan kencang sehingga membuat Alvin ingin sekali menghajarnya. Syifa menggendong bayi tersebut dengan mengangkat bokongnya dan juga menjaga lehernya. Syifa menenangkan bayi tersebut sampai pada akhirnya bayi itu senyap. Namun, ia tidak kembali tertidur. Matanya terbuka dengan menatap ke dinding-dinding langit rumah. Alvin membawa Syifa yang tengah menggendong bayi tersebut ke luar rumah untuk bertanya kepada Bima. Pasti Bima tahu siapa yang sudah masuk ke dalam rumah ini.

"Bima, apakah tadi ada seseorang yang masuk?"

"Iya, Tuan. Tadi ada seorang ibu yang mengaku-ngaku sebagai adik dari umi-mu. Lalu, dia menitipkan seorang bayi," sahut Bima.

"Dia memang adik umi-ku, bodoh!"

"Alvin, jaga tutur katamu!" omel Syifa.

Alvin menyengir kuda. "Maaf, Sayang. Refleks."

Para body guard mengulum tawanya ketika melihat Tuannya yang penurut. Bima menyerah sebuah tas yang berisi perlengkapan bayi. Alvin mengerutkan keningnya, apa bayi ini akan menginap dengannya? Alvin tidak bisa membayangkan bagaimana jika bayi itu menangis di malam hari mengganggu waktu tidurnya bersama Syifa.

Alvin mengajak Syifa untuk membawa bayi tersebut ke dalam kamar. Syifa menggendong bayi tersebut, sementara itu Alvin membawa tas berisi baju bayi, perlengkapan bayi, botol susu, dan juga sebuah kotak yang berisi susu formula. Syifa meletakkan bayi tersebut ke atas ranjang. Alvin menatap bayi itu dengan tatapan yang aneh. Syifa tertawa kecil melihat bagaimana cara Alvin menatap bayi tersebut. Apa Alvin tidak pernah melihat bayi sebelumya?

"Sayang, mengapa kulit dia merah?"

Syifa mengalihkan pandangannya dari bayi tersebut. "Kau pikir ketika kau lahir, kulitmu berwarna biru?"

"Bukan seperti itu. Maksudku, mengapa kulitnya tidak berwarna putih?"

"Karena dia baru lahir."

"Aku ingin menggendongnya, Sayang," ujar Alvin sontak membuat Syifa membelakkan matanya.

Syifa menatapnya sembari mempertimbangkan permintaan Alvin. "Tetapi, kau ikut arahanku!"

Alvin menganggukkan kepalanya dengan antusias. Pria itu diperintahkan oleh Syifa untuk duduk bersila di atas kasur. Awal mula, Syifa menggendong bayi itu dan menyerahkannya kepada Alvin. Namun, sebelum itu Syifa memerintahkan Alvin untuk memegang belakang leher dan juga bokongnya. Alvin tersenyum dengan menampakkan giginya ketika bayi tersebut menatap wajahnya. Alvin ingin memainkan pipinya. Namun, sayangnya untuk menggendong bayi tersebut membutuhkan dua tangan sekaligus.

"Mengapa dia ringan sekali? Pasti akan sangat menyenangkan jika dibanting," ujar Alvin seraya tertawa kecil.

"Sembarangan sekali! Jika kau melakukannya, akan aku laporkan kau kepada umi."

Alvin memecahkan tawanya. "Kau sangat menggemaskan jika sedang marah-marah. Aku menyukainya."

Syifa duduk di sebelah Alvin. Syifa menatap bayi itu. Sejak dahulu, Syifa sangat ingin mempunyai seorang adik. Ternyata sekarang, Syifa sudah bisa menggendongnya karena ia seringkali melihat teman-temannya yang sudah menikah tengah menggendong anak. Tanpa mereka berdua sadari, pintu kamar sedikit terbuka, itu ulah Bima. Bima memasukkan ponselnya ke dalam kamar. Namun, hanya di bagian kamera belakang saja.

Diam-diam, Bima memotret Alvin dan Syifa yang tengah bermain dengan seorang bayi. Setelah memotretnya sebanyak tiga kali, Bima mengirimkan foto tersebut kepada nyonya besar, yaitu Fatimah, umi Alvin. Fatimah memang menyuruh Bima untuk memotret mereka berdua secara diam-diam. Fatimah juga yang sudah bekerja sama dengan sang adik agar beliau menitipkan bayinya kepada Alvin. Fatimah juga menjamin kepadanya jika bayinya bersama Alvin dan Syifa, dia akan aman.

"Kau tahu, Alvin, sejak dahulu ... aku sangat menginginkan seorang adik," jelas Syifa seraya mengusap lembut kepala milik bayi tersebut.

"Sekarang kau tidak membutuhkan adik, Sayang. Sekarang kau membutuhkan anak." Alvin mengangkat kedua alisnya sebanyak dua kali.

"Sudah kubilang itu dahulu, jika sekarang aku tidak menginginkan apapun."

Alvin tersenyum manis pada bayi yang tengah digendong olehnya. "Lihat, Sayang, aku sudah pantas menjadi seorang ayah."

Syifa menatap Alvin dan bayi itu silih bergantian. Syifa menyahut, "Sepertinya ... kau lebih pantas menjadi teman baginya."

______

To be continued
Username Instagram: faresyia_

Surat Izin Mencintai (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang