SIM 16

1K 163 0
                                    

Di luar kamar Aarav, Syifa tengah meletakkan sapu pada tempat asalnya. Lalu, wanita itu turun dari tangga dan hendak pergi ke dapur. Namun, tiba-tiba saja Alvin menghentikan langkahnya. "Mana umi abi?"

"Sekejap lagi mungkin mereka akan datang," sahut Syifa.

"Pembohong! Kau tadi mengatakan bahwa umi dan abi akan datang."

"Memang iya. Namun, bukan sekarang."

Syifa pergi ke dapur dan membantu para pembantu itu memasak di dapur, sedangkan Alvin rebahan santai di atas sofa dengan televisi yang menyala. Namun, matanya difokuskan pada ponsel yang tengah ia genggam. Pria tersebut tengah memandangi foto seorang wanita cantik dengan rambut pendeknya.

Alvin tidak akan merasa bahwa kehadiran Syifa sangat berharga sebelum Syifa sendiri yang pergi meninggalkannya. Alvin pergi ke room chat-nya dengan Evrita. Pria tersebut berpikir apa ia harus membuka blokiran-nya?

'Buka atau tidak, ya? Buka saja, deh,' batin Alvin.

Alvin hendak membuka blokiran-nya. Namun, tiba-tiba saja ia mendengar suara teriakan Fatimah dari luar dengan menyebut salam. Alvin menjawab salam tersebut dan pergi menghampiri umi dengan ponsel yang tak sengaja Alvin tinggalkan di atas sofa.

Sangat repot sekali jika umi dan abi-nya melihat nomor telepon Evrita yang baru saja diganti namanya menjadi Honey. Sudah pasti Alvin akan dihajar oleh Burhan. Jika Alvin melakukan perbuatan yang bejat bagi Burhan, maka Burhan tidak akan segan-segan untuk bertindak kasar pada Alvin.

Burhan sudah pernah menghajar Alvin karena putranya itu membawa Evrita masuk ke dalam rumahnya. Namun, tak cukup sampai di situ. Alvin belum kunjung puas dengan perilaku kasar Burhan terhadapnya. Alvin tidak merasa takut sama sekali dan tetap mengulangi kesalahan yang sama. Melakukan kesalahan yang sama itu pilihan.

"Mana Syifa?" tanya Fatimah dengan antusias.

Alvin menarik kedua sudut bibirnya ke bawah. "Anak umi itu Alvin, bukan Syifa."

"Kau menyebalkan, sedangkan Syifa tidak. Jadi, mana Syifa?"

"Dapur," sahut Alvin dengan nada yang datar.

Fatimah langsung melangkahkan kakinya menuju dapur, sedangkan Burhan mengajak Alvin untuk pergi ke taman belakang. Ada hal yang harus dibicarakan, hanya dua pasang telinga, yaitu Alvin dan Burhan. Setelah sampai di taman belakang, kedua pria tersebut duduk di kursi panjang.

"Alvin, abi ingin bertanya padamu."

"Tanyakan saja."

"Apa kau benar-benar mencintai Syifa?" tanya Burhan.

Alvin merasa terkejut dengan pertanyaan itu. Namun, di tubuhnya tidak ada refleks sama sekali sehingga membuat Burhan tidak semakin curiga pada Alvin. Alvin berusaha untuk tidak terlihat canggung. Pertanyaan seperti ini adalah pertanyaan yang dibenci oleh Alvin. Alvin harus mengatakan bahwa ia mencintai Syifa walaupun perkataannya semata-mata berpura-pura.

Alvin tertawa kecil. "Pertanyaan apa ini? Tentu saja Alvin mencintainya. Jika Alvin tidak mencintainya, untuk apa Alvin menika---"

"Karena kau anak yang cukup nekat dan kuat kemauan hatinya. Bisa saja Syifa dipaksa agar ia menikah dengan-mu. Jika kau benar-benar mencintai Syifa, kau tidak akan cemburu jika umi menyayangi Syifa. Justru kau akan senang jika umi senang dengan istri pilihan-mu," tukas Burhan.

Burhan memang bijak. Ini salah satu kesalahan terbesar Alvin, yaitu membohongi pria paruh baya tersebut.

"Umi pernah berkata kepada Alvin, tidak baik jika kita ber-suuzan."

Alvin pintar berdalih. Ia pintar menutupi kesalahannya dan bodoh untuk memperbaiki kesalahannya tersebut. Mendewasakan pola pikir Alvin yang lebih condong suka bersenang-senang dan memedulikan dirinya sendiri lumayan sulit untuk dihilangkan bagi Fatimah dan Burhan.

Pengalaman yang mendewasakan kita. Namun, kapan Alvin dewasa jika setiap kesempatan yang harusnya Alvin sendiri yang menghadapinya justru ia mengandalkan Aarav untuk itu? Alvin terlalu takut untuk mencoba hal yang baru. Setidaknya itu tidak terlalu buruk baru Alvin akan mencobanya.

Seperti bertemu klien. Awalnya, Alvin tidak berani. Alvin menyuruh Aarav untuk bertemu dengan klien dan Alvin memperhatikannya.

"Tapi---"

"Abi, Alvin, mari makan!" ajak Fatimah dari pintu belakang dapur.

"Iya, Umi!" Alvin berlari masuk ke dalam rumah. Untung saja Fatimah memanggilnya. Jika tidak, Alvin akan dilontarkan pertanyaan lagi oleh Burhan.

Satu keluarga dan semua para pekerja yang ada di rumah mewah ini sarapan bersama. Alvin, Syifa, Fatimah, Burhan, dan Aarav makan di bawah lantai bersama dengan para pekerja tersebut karena meja makan tidak muat jika dipakai oleh orang sebanyak ini.

Setelah selesai sarapan, Alvin membersihkan tubuhnya dan bersiap-siap untuk pergi ke kantor. Lalu, Alvin dan Aarav pergi dari rumah, sedangkan Burhan tak ikut bersama karena sudah Aarav yang akan mengawasi Alvin. Aarav sangat bisa dipercaya.

Jika Aarav ditugaskan oleh Burhan untuk mengawasi Alvin, maka Aarav tak segan-segan memerintah Alvin untuk tidak bermalas-malasan di kantor. Karena biasanya, jika Alvin di kantor pasti kerjaannya hanya tertidur dan merayu Evrita jika wanita itu datang ke kantornya. Namun, beda halnya jika di kantor Alvin terdapat sang abi. Alvin terpaksa harus lebih giat lagi di hadapannya.

"Tumben sekali anak kita serajin ini," ujar Fatimah dengan mata yang masih tertuju pada mobil Alvin yang hendak keluar melewati pagar.

"Jika tidak ada kita, mungkin sekarang dia masih tertidur. Benar, kan, Syifa?"

"Tidak, Abi. Pagi-pagi sekali dia memang sudah bangun," sahut Syifa tak sepenuhnya berbohong. Memang betul karena Syifa yang membangunkannya.

"Sepertinya, dia sudah mulai berubah."

'Tidak juga, Umi. Yang berubah itu sifat Syifa. Syifa yang awalnya tidak berani berbohong kini senantiasa melakukannya hanya untuk menutupi keburukan Alvin. Maafkan Syifa,' batin wanita bercadar tersebut.

Burhan sedikit melirik ke arah mata Syifa. Walaupun wajah Syifa tak terlihat. Namun, Burhan masih bisa menebak perasaan Syifa melalui matanya yang terlihat agak sedikit ketakutan. Burhan semakin merasa bahwa di antara Alvin dan Syifa ini ada sesuatu yang tidak beres.

Bahkan di perilaku romantis Alvin kepada Syifa yang Burhan lihat seperti ada sesuatu yang mengganjal perasaan Alvin. Pria paruh baya satu ini tidak mudah untuk dibohongi. Namun, Burhan masih berusaha untuk berpikir yang tidak-tidak tentang Syifa dan Alvin. Walaupun dari gelagat Alvin dan Syifa selalu menggoyahkan usahanya. Jika memang sudah tak tahan ingin bertanya, maka Burhan menanyakannya.

Fatimah mengajak Syifa ke taman belakang, seperti biasa mereka akan mengobrol. Rasanya tidak bebas jika obrolannya diketahui oleh pria. Kedua wanita itu duduk di atas rumput, di bawah langit yang terlihat mendung dengan angin sepoi-sepoi yang melintas.

___

TBC

Bantu follow akun baru Instagram Fafa, dong.
faresyia_

Surat Izin Mencintai (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang