SIM04

1.4K 208 2
                                    

"Kau tidak menyayangi Evrita, itu hanya nafsu-mu saja," ujar Aarav.

Sebenarnya, Aarav sangat kesal menghadapi Alvin yang sangat keras kepala. Aarav sudah memperlihatkan sebuah rekaman CCTV. Di rekaman tersebut, terlihat jelas ada Evrita yang sedang bercumbu rayu dengan sekumpulan pria berhidung belang di sebuah tempat hiburan dewasa.

Setelah melihat rekaman CCTV itu Alvin meminta penjelasan kepada Evrita. Namun, seperti yang dikatakan oleh Aarav, Evrita cukup licik. Evrita berdalih bahwasanya itu adalah saudara kembar Evrita. Evrita menjelaskan hal tersebut sembari menangis dengan air mata buaya sehingga membuat Alvin percaya padanya. Yang lebih mengesalkan lagi, Alvin memberikan Evrita uang sebesar dua puluh juta untuk menghiburnya agar wanita tersebut tidak menangis lagi.

"Jika aku hanya nafsu padanya, sudah lama aku mengambil keperawanannya."

"Kau sungguh keras kepala!" ketus Aarav.

"Jangan mentang-mentang kau sahabatku, kau bisa berbicara dengan nada tinggi seperti itu! Ingat, aku atasanmu!"

"Terserah kau saja. Jika aku jadi kau, sudah lama aku putuskan Evrita dan bahagia bersama Syifa." Aarav enyah dari hadapan Alvin.

"Kau tidak akan pernah bisa menjadi sepertiku!" teriak Alvin agar Aarav mendengarnya.

Alvin berkomat-kamit mengulang ucapan Aarav tanpa suara. Wajah Alvin terlihat dewasa. Namun, siapa sangka bahwa tingkahnya sangat kekanak-kanakan? Sangat mudah merajuk dan sedikit manja. Alvin juga mempunyai pola pikir yang sedikit dangkal. Tidak pernah berpikir secara matang. 

Alvin melangkahkan kakinya. Ia melewati meja makan. Matanya tertuju pada makanan yang sudah dihidangkan. Namun, kali ini nafsu makannya menghilang akibat perdebatannya bersama Aarav. Alvin memilih untuk masuk ke dalam ruangan yang terdapat megaphone di sana.

Alvin berteriak di megaphone tersebut, "Semuanya, makan di meja makan! Jika dalam hitungan ke-sepuluh salah satu dari kalian terlambat, akan ku-suruh kalian untuk push up sebanyak lima ratus ka---"

"Baik, Tuan!" teriak para bodyguar-nya secara serentak. Mereka sudah berlari sejak Alvin mengaktifkan megaphone itu.

Mereka gesit bukan karena ingin makan. Namun, karena tidak ingin dihukum. Alvin tersenyum tipis, tipis sekali sampai-sampai senyumannya itu tidak terlihat. Alvin mengacungkan jempolnya dan mengode agar semuanya pergi ke meja makan. Semua pria berbaju hitam itu berhamburan menduduki meja makan yang terdapat banyak kursi di sana.

Alvin naik ke lantai atas dan masuk ke dalam kamarnya. Alvin merebahkan tubuhnya di atas kasur. Kali ini ia masih tenang-tenang saja walaupun pria tersebut sering kali teringat bahwa esok hari ia akan menikah. Alvin melihat sekeliling kamarnya yang luas. Alvin tak bisa membayangkan bagaimana rasanya berbagi tempat tidur sedangkan dirinya saja jika tertidur sungguh tidak bisa diam.

"Rasakan pembalasanku di malam pertama kita menikah, Asyifa. Kau sudah mengambil hati umi. Umi lebih menyayangimu dari pada diriku." Alvin tersenyum menyeringai.

Pria tersebut memejamkan matanya sampai ia memasuki alam mimpinya. Jam dinding terus berputar. Riuhan angin di luar sana membuat udara terasa sejuk. Langit malam membantu bintang-bintang dan bulan agar terlihat terang. Dengan keindahannya, mereka menampakkan diri kepada alam semesta.

....

"Bagaimana para saksi, sah?"

"Sah!"

Nyaris semua orang mengucapkan hamdalah. Bahkan, bulir air mata Fatimah berhasil lolos dari matanya. Alvin menyodorkan tangan, dengan terpaksa Syifa mencium punggung tangan itu. Lalu, Alvin mencium keningnya. Cukup terkejut bagi Syifa. Namun, memang seharusnya seperti ini.

Surat Izin Mencintai (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang