SIM 57

829 143 6
                                    

Follow dulu akun Fafa. Bantu share cerita ini supaya yang baca makin banyak.
Liat juga ke bawah. Ada bintang, kan? Lalu, klik. Makasih❤️
.
.
.
Happy Reading

Di dalam mobil, Alvin menghubungi nomor Excel. Lalu, ia menempelkan ponselnya di dekat daun telinga. "Excel, masjid mana yang letaknya dekat dengan rumah kosong?"

"Saya tidak tahu pasti, Tuan. Tetapi, jarang sekali di sini terdapat masjid yang berdekatan dengan rumah-rumah. Sekalipun dekat, itu tidak terlalu dekat paling tidak terpaut dengan jarak beberapa meter. Tidak berdempetan juga," jawab Excel di seberang sana.

Excel memang senang mencari tahu info-info baru, jadi tugasnya lebih liar di luar rumah. Oleh karena itu di saat seperti ini Alvin lebih mengandalkan Excel dari pada Bima. Bima hanya akan Alvin andalkan ketika ia ingin merencanakan sesuatu atau mengatur kedisiplinan para body guard yang lainnya. Oleh karena itu, Bima sedikit disegani oleh para body guard lain.

"Datangi masjid di kota ini satu persatu!"

"Maaf, Tuan. Kami akan memakan banyak waktu untuk itu. Lagi pula, tidak mungkin jika masjid di perkotaan dekat dengan rumah kosong apa lagi yang terbuat dari kayu. Sepertinya kakek itu sengaja mengecoh kita semua. Paling tidak, masjid yang dimaksud olehnya ada di sebuah gang kecil. Aku mengetahui tempatnya," jelas Excel.

"Mobilmu maju di depan. Antar kita ke daerah masjid itu!"

Tut!

Alvin mematikan sambungan teleponnya. Mobil Excel mulai menyalip mobil Alvin. Di belakang Alvin, terdapat empat mobil. Setiap mobilnya berisi dua orang, seperti tempo hari karena Alvin tidak memperbolehkan satu pun body guard yang duduk bersantai di kursi belakang. Keduanya harus sama-sama bekerja.

Selang beberapa menit kemudian, Excel memberhentikan mobilnya di pinggir jalan. Excel keluar dari mobil, Alvin juga ikut keluar dari mobilnya dan diikuti dengan para body guard di belakang. Excel mengantarkan mereka ke sebuah masjid. Namun, sepertinya bukan masjid ini yang kakek itu maksud.

Excel meneruskan langkahnya dan mencari rumah dengan informasi seadanya yang diberikan oleh kakek tadi. Kakek itu sungguh menyusahkan. Apa sulitnya memberikan alamat rumah secara jelas, apa itu merugikannya? Namun, di saat Excel merasa emosi justru Alvin merasa bersyukur karena ia masih mempunyai harapan. Semoga saja pemuda yang kakek itu maksud benar-benar menolong Syifa.

Excel menghentikan langkahnya ketika ia berpas-pasan dengan sebuah rumah yang nyaris roboh dan nampaknya tidak berpenghuni. Di sebelah rumah yang nyaris roboh itu terdapat sebuah rumah yang sangat sederhana. Rumah panggung dengan pintu yang terbuat dari papan tipis dan dicat dengan warna cokelat.

"Mungkin saja ini," ujar Excel.

Alvin menaik ke rumah panggung itu dan mengetuk pintu. Namun, tiba-tiba seorang wanita paruh baya berhijab sedada menghampirinya. "Apa kalian sedang mencari Selamet? Dia tidak ada di rumah. Datanglah lain kali."

"Eum, Nek, apa kau kenal dengan orang yang tinggal di rumah ini?" tanya Alvin.

"Ya. Sangat kenal. Dia seorang pemuda yang baik hati."

"Apa dia pernah membawa seorang wanita ke mari?" timpal Bima.

Nenek itu terdiam sejenak. Lalu, ia menggelengkan kepala. "Tidak. Sudah empat hari dia tidak pulang. Jika dia pulang ke rumah, biasanya dia akan berkunjung ke rumahku terlebih dahulu."

Cukup lama mereka mengobrol dengan wanita paruh baya itu. Ternyata, nama seorang pemuda yang tinggal di rumah ini adalah Selamet. Dia seorang anak yatim-piatu. Dia bekerja sebagai tukang gali kubur. Setiap hari ia mengharapkan ada orang yang meninggal dan meminta bantuannya. Selain itu juga, Selamet memang menyukai hutan. Namun, itu tidak bisa menjamin bahwa Syifa ada bersamanya.

Setelah Excel mencerna setiap jawaban dari wanita itu, Excel menyimpulkannya secara diam-diam. Setelah mendapatkan informasi dari wanita itu tadi, rasanya Excel tak sabar ingin berjumpa dengan Selamet. Alvin dan para body guard-nya pamit mengundurkan diri. Mereka semua masuk ke dalam mobil masing-masing. Hanya saja, Alvin meminta Excel untuk satu mobil dengannya.

Di dalam mobil Alvin bertanya-tanya, "Jadi, bagaimana?"

"Masih ada harapan, tetapi jika tidak berhasil ...." Excel menggantungkan ucapannya.

Alvin menggelengkan kepalanya. "Pasti berhasil!"

'Aku tidak menyerah. Aku masih membutuhkannya. Bantu aku, Tuhan,' batin Alvin.

Matanya ingin sekali menangis, dadanya kian menyesak, Alvin menatap kosong ke depan sontak membuat Excel sedikit panik karena ia takut jika Alvin tidak fokus menyetir di jalanan raya ini. Berkali-kali mobil body guard-nya mengklakson Alvin karena mobil Alvin sedari tadi sedikit oleng.

"Tuan, biarkan saya yang menyetir. Tuan duduk sa---"

"Tidak perlu," tukas Alvin.

Alvin berusaha untuk memfokuskan matanya ke jalanan dengan pikiran yang kalut. Siang tadi yang semula sangat terik kini menjadi mendung. Sesampainya di rumah, Alvin berpas-pasan dengan diguyurnya kota tersebut dengan hujan deras. Embusan angin yang kencang membuat pepohonan nyaris roboh.

Di cuaca hujan seperti ini Alvin keluar dari balkon kamar yang di atasnya tidak tertutup sehingga air hujan membasahi sofa. Alvin duduk di atas sofa dan membiarkan air hujan membasahi tubuhnya. Tidak ada yang memarahi Alvin kembali karena dirinya hujan-hujanan. Biasanya Syifa akan mengomelinya jika Alvin keluar rumah di kala cuaca tengah hujan deras.

Air matanya menetes dari sudut mata. Namun, air matanya tersamarkan dengan air hujan yang turut membasahi area mata. Bibirnya tersenyum kecut. Tidak ada hasrat untuk melukai Inem saat ini karena menyiksa tanpa menyentuh jauh lebih menenangkan karena dirinya tidak mau mengingkari janji untuk yang kedua kalinya.

Terlalu banyak kenangan manis di balkon ini. Alvin menjambak rambut miliknya dan meluapkan emosinya. "Syifa ...!" teriaknya.

Tangis Alvin pecah saat meneriakkan nama tersebut. Isak tangisan ditahan oleh sang empunya. Luka di hati Alvin tidak pernah separah ini. Suara ketukan pintu terdengar dari luar kamarnya. Alvin tak menghiraukan itu. Namun, beberapa detik kemudian suara ceklekan pintu terdengar dan ada seorang wanita yang menyebut namanya.

Suara bidadari tak bersayap. Bahkan surga ada di telapak kakinya. Wanita itu menghampiri Alvin yang sekujur tubuhnya sudah dibasahi oleh air hujan. "Allahuakbar, Alvin! Kau sedang apa? Masuklah!"

Wanita itu menuntun tangan Alvin untuk masuk ke dalam kamar. Tetesan air yang terjatuh dari celana milik Alvin kini membasahi lantai kamar. Fatimah mengunci pintu balkon. Lantas, ia menuntun Alvin agar putranya itu duduk di tepi ranjang walaupun dengan kondisi baju yang masih kebasahan.

Jika Alvin tidak sedang berduka, pasti Fatimah akan memarahinya.

Fatimah menatap iba kepada putranya. "Kau tidak boleh seperti ini, Nak. Umi tidak mengenal Alvin yang seperti ini. Alvin yang umi kenal adalah seorang pria yang tegar, tegas, bahkan air matanya jarang sekali terjatuh."

Air mata Alvin menetes kembali membasahi tangannya. "Aku merindukannya, Umi. Bagaimana caranya agar dia bisa kembali?

"Berdoa dan berusaha, maka Allah akan memberikan takdir yang terbaik."

Alvin menggelengkan kepalanya. "Aku sudah melakukannya, Umi. Tetapi, mana hasilnya?!"

"Jika Syifa pergi, izinkan aku ikut bersamanya," sambung Alvin dengan suara yang parau.

_____

To be continued
Username Instagram: faresyia_

Surat Izin Mencintai (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang