SIM08

1.2K 188 1
                                    

"Syifa, untuk apa kau menyapu? Di sini sudah ada delapan asisten rumah tangga, apa itu kurang?" tanya Aarav dengan nada yang lembut.

Syifa merasa bingung. Jika dipandang matanya, itu dilarang. Jika tak dipandang, itu tidak sopan. Namun, akhirnya ia memilih untuk menundukkan pandangan saja. "Tak apa. Lagi pula, tugas mereka itu membantu pekerjaan rumah, bukan mengurus semuanya."

Aarav terenyuh mendengar sahutan yang sederhana itu. Jika Syifa adalah istrinya, Aarav pasti sangat menyayanginya. Namun, sayangnya Syifa istri Alvin. Syifa mempunyai seorang suami yang sama sekali tidak menyayanginya. Rugi sekali Alvin.

Aarav tersenyum manis melihat Syifa yang sangat menjaga pandangannya. "Syifa, ke mana Alvin?"

"Tadi dia mengatakan bahwa ia akan pergi ke apartemen kekasihnya," sahut Syifa.

Aarav membulatkan matanya. Aarav berpikir, bagaimana bisa Alvin menyatakan hal seperti itu kepada istrinya sendiri? Namun, mengingat Alvin yang menikah dengan Syifa karena terpaksa membuat semuanya menjadi terbilang wajar.

"Apa kau mempunyai niat untuk melaporkan ini kepada umi?"

"Tidak. Aku tidak ingin mengadu domba. Biarkan aku yang merubah sikapnya lalu aku ceritakan bagaimana perubahannya kepada umi."

'Keterlaluan sekali kau, Alvin, menyia-nyiakan wanita yang menjaga rapat keburukan-mu. Bahkan istrimu ini berniat untuk menceritakan perubahan sifat-mu kepada abi umi agar mereka berdua bangga padamu,' batin Aarav.

Melihat Aarav yang terdiam saja membuat Syifa ingin mengundurkan diri. "Aku permisi."

Aarav menganggukkan kepalanya. Syifa menaiki anak tangga dan mulai menyapu lantai di atas. Setelah menyapu bersih lantai atas, Syifa kembali ke kamar. Ia mencuci baju kotor miliknya dan milik Alvin. Syifa mencucinya menggunakan tangannya sendiri, tidak memakai mesin. Sebelum mencuci baju, Syifa membuka kerudung dan cadarnya terlebih dahulu. Setelah itu, ia kembali ke kamar mandi. Baju kotornya hanya sedikit sehingga membuat Syifa tak payah menghabiskan waktu yang terlalu lama untuk ini.

Selang beberapa menit kemudian, Syifa meraih kerudung dan cadarnya lagi. Syifa membawa ember berisi baju yang hendak dijemur. Ketika Syifa hendak menuruni tangga, wanita itu berpas-pasan dengan Fatimah, Burhan, dan Aarav.

"Subhanallah menantu umi. Kau sedang apa, Nak? Tidak payah mencuci baju seperti ini, di sini sudah ada pembantu," ujar Fatimah.

"Tidak apa, Umi."

"Syifa, Alvin ke mana?" tanya Burhan.

Terkejut? Tentu saja. Syifa tidak tahu harus menjawab apa. Syifa memikirkan jawaban yang tepat.

"A--Alvin ... Alvin sedang pergi membeli buah anggur, Abi. Syifa sangat menginginkan anggur."

'Maafkan Syifa karena Syifa telah berbohong, Ya Allah,' batin Syifa.

Aarav memandangi Syifa yang sudah berbeda gelagatnya. Syifa nampak tengah merasa bersalah. Aarav salut kepada wanita ini. Walaupun Syifa belum mencintai Alvin, Syifa tetap menutup keburukan Alvin seolah-olah ia mencintainya.

Fatimah mengambil alih ember yang tengah dijinjing oleh sang menantu. "Rav, perintahkan salah satu pembantu untuk mengeringkan pakaian ini."

"Biar Syifa saja, Umi," ujar wanita bercadar tersebut.

Fatimah menggelengkan kepalanya dengan bibir yang senantiasa tersenyum. Fatimah mengajak Syifa ke kamar Alvin, sedangkan Burhan ikut bersama Aarav karena Burhan tahu bahwa Fatimah hanya ingin berbicara berdua dengan Syifa.

Di dalam kamar, Fatimah mengobrol dengan sang menantu. Syifa sangat sopan dan ramah. Di setiap tutur katanya tidak ada nada yang ditinggikan sehingga siapa pun orang yang mendengarnya merasa adem hatinya. Tutur kata Syifa sangat dijaga oleh dirinya sendiri.

"Apa Alvin sulit dibangunkan salat subuh, Syifa?" tanya Fatimah.

"Sedikit, Umi. Sepertinya Alvin lelah."

"Lelah karena apa?" Fatimah menaikkan sebelah alisnya dengan senyuman jahilnya.

Syifa mengerti maksud dari pertanyaan itu, apa lagi ketika Syifa melihat ekspresi sang mertua yang sepertinya tengah menggodanya. "Karena kemarin Alvin sudah menyambut tamu-tamu, Umi."

Fatimah menganggukkan kepalanya. Tiba-tiba, pintu kamar terbuka. Sepertinya, Alvin baru saja datang. Kening Fatimah mengkerut ketika melihat tangan kosong milik Alvin yang tidak membawa apa-apa, termasuk pesanan Syifa.

"Alvin, mana pesanan Syifa? Kasihan sekali menantu umi menginginkan buah anggur," tanya Fatimah.

"Pesanan? Buah anggur?" Alvin mengerutkan keningnya.

Syifa mengode kepada suaminya. Alvin mengerti kode yang Syifa berikan. "Ah, iya, buah anggur itu sudah habis di super market, Umi."

"Kau pergi ke supermarket di planet mana? Di mana-mana supermaket mempunyai persediaan yang banyak."  Fatimah memasang raut wajah yang terlihat sedang mencurigai Alvin.

"Eum, mungkin memang sudah habis, Umi. Tidak apa. Lagi pula, Syifa sudah tidak menginginkannya," ujar Syifa.

Fatimah menganggukkan kepalanya. "Sekarang, kau mau apa, Syifa? Kita pergi ke mall."

Syifa menggelengkan kepalanya. Tidak ada yang Syifa inginkan kecuali hidup bahagia. Hidup bahagia dengan kriteria jodoh yang saleh, Syifa pasti akan sangat bersyukur karena itu adalah keinginannya. Hidup bahagia bersama Alvin yang keras kepala? Syifa akan lebih bersyukur karena itu adalah pilihan Allah. Syifa sangat percaya bahwa pilihan-Nya pasti yang terbaik.

"Tidak, Umi. Syifa tidak menginginkan apapun hari ini," sahut wanita bercadar itu.

Alvin diam-diam keluar dari kamarnya. Biarkan wanita-wanita itu melanjutkan percakapannya, Alvin tidak ingin ikut campur. Alvin menuruni anak tangga, setelah itu, Alvin menyalakan televisi yang ada di lantai bawah. Namun, tiba-tiba ia dihadiahi sebuah tatapan bengis dan sang abi.

"Alvin, kau sudah mempunyai istri, apa hanya seperti ini saja kerjaan-mu? Hanya bermalas-malasan? Bagaimana nasib perusahaan abi?"

Alvin melirik ke arah sang abi. "Ada Aarav yang mengurusnya."

"Jika begini cara kerjamu, maka akan abi berikan perusahaan itu ke tangan Aarav!" ancam Burhan.

Alvin membulatkan matanya. "Keputusan macam apa itu? Alvin akan segera mandi."

Burhan menunggu putranya untuk bangkit dari sofa. Namun, Alvin tak kunjung bangkit juga. "Sekarang, Alvin!"

"Siap, Abi-ku tercinta!" Alvin langsung berlari terbirit-birit menuju kamar mandi yang ada di kamarnya. Burhan berkacak pinggang seraya menggelengkan kepalanya dengan mata yang tertuju pada punggung Alvin yang mulai menjauh darinya.

Burhan tak habis pikir dengan putranya. Pikiran Alvin tak kunjung dewasa. Namun, Burhan juga sadar bahwa Alvin adalah fotokopi-nya. Ketika Burhan seusia Alvin, Burhan juga masih mempunyai pola pikir yang sangat kekanak-kanakan dan juga keras kepala sehingga membuat Fatimah nyaris menceraikannya kala itu.

Burhan menunggu Alvin di bawah. Selang beberapa menit kemudian, Alvin datang menghampirinya dengan membawa tas laptop dan jas hitam yang belum dipakai olehnya.

Alvin hendak mencium tangan Burhan. Namun, Burhan tidak memperkenankan-nya. "Tidak usah cium tangan. Abi ingin ikut bersamamu."

"Untuk apa?" tanya Alvin.

Surat Izin Mencintai (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang