SIM 56

805 138 8
                                    

Tim happy ending mana nii? Vote dulu, dong.
.
.
.
.

Alvin menaiki anak tangga dengan langkah yang gontai dan lesu. Pikirannya kalut. Tidak ada semangat di pagi hari ini. Makan saja tidak nafsu bagi Alvin. Benaknya penuh dengan pertanyaan yang bersarang sehingga menyiksa batin. Tidak ada hal menyenangkan di hari ini. Hatinya sudah merasa tidak nyaman sejak hendak pergi ke kantor. Namun, Alvin selalu berpikir positif sampai pada akhirnya ia tetap pergi ke kantor.

Pikiran yang positif ternyata bisa membahayakannya juga. Namun, jika berpikir negatif akan lebih membahayakan lagi karena hati Alvin akan diselimuti oleh kepanikan sampai akhirnya ia akan lelah oleh dirinya sendiri.

Alvin memasuki kamar. Kamar yang dahulu terasa nyaman kini mendesak keadaan. Banyak kenangan di ruangan ini, terutama di tepi kasur. Alvin selalu berbaring di sana dengan paha Syifa sebagai bantalnya. Alvin yang dahulu selalu tersenyum di ruangan ini, kini justru menitikkan air mata kepiluan. Tidak ikhlas dengan semua yang telah terjadi? Jelas! Sulit untuk menerimanyai.

Alvin membuka layar ponsel. Alvin memandangi foto Syifa tanpa kerudung dan cadarnya. Foto tersebut ia ambil secara diam-diam ketika Syifa tengah merajuk kepadanya.

"Kembalilah, Sayang. Kau yang selalu menyuruhku untuk bahagia, sedangkan kebahagiaanku saat bersamamu," lirih Alvin seraya mengusap lembut foto yang ada di layar ponsel miliknya.

....

Ketika matahari menyoroti bumi dengan teriknya justru para pria di tengah hutan ini sedang berjalan menyusuri hutan dengan harapan mereka bisa menyusuri setiap sudut hutan-hutan dengan mengandalkan dua kaki yang ramping. Para pria berbaju hitam yang tengah ada belakang sudah mulai lesu, sedangkan pria yang paling depan dengan mengenakkan kaus hitam polos masih semangat mencari keberadaan sang istri.

"Tuan, izinkan kami untuk istirahat terlebih dahulu. Paling tidak, kita membawa mobil saja," ujar Excel.

Alvin terdiam sejenak. Ia juga merasa kasihan pada para body guard-nya yang sudah berjalan selama dua jam tanpa henti. "Kalian istirahat saja. Biar aku yang mencarinya. Lagi pula, jika kita memasukkan mobil ke sini, kita hanya akan merusak pohon-pohon kecil saja." Suaranya datar saja. Seperti dada kalian.

Para body guard langsung terduduk lemas. Bahkan beberapa di antara mereka memilih untuk rebahan di atas tanah dengan menikmati embusan angin yang sejuk. Kecuali Bima, pria itu masih berdiri di samping Alvin.

"Tuan, istirahatlah! Wajahmu terlihat pucat," saran Bima.

"Tidak akan!" Alvin melanjutkan langkahnya.

Bima mengembuskan napasnya. Ketika sedang melengoskan pandangan, tak sengaja Bima melihat ujung atap rumah. "Tuan, di ujung sana ada rumah!" teriak Bima.

Para body guard langsung bangkit dari duduknya. Ternyata benar, di balik beberapa pohon besar terdapat atap rumah yang sedikit terlihat. Alvin bergegas lari ke sana, para body guard menyusulnya. Lumayan jauh letaknya. Namun, masih terlihat jelas oleh mata sehat mereka. Alvin berlari dengan sekuat tenaga, hatinya berharap semoga saja ada Syifa di dalamnya.

Keyakinan Alvin sangat kuat bahwa Syifa masih hidup. Alvin ingat betul dengan penuturan Syifa yang mengatakan bahwa Allah tidak akan memberikan ujian di atas kemampuan hambanya. Alvin tidak akan mampu jika ia ditinggalkan oleh Syifa. Jadi, Alvin yakin bahwa Allah tidak akan mengambil Syifa darinya.

Namun, bagaimanapun juga keikhlasan adalah jalan terbaik. Terlalu banyak berharap sama sekali tidak menyehatkan hati.

Sesampainya di rumah panggung yang terbuat dari kayu, Alvin mengetuk pintu. Namun, sudah lima menit ia berdiri di depan pintu dan tidak ada yang menyahut sama sekali. Secara samar-samar terdengar suara orang yang tengah berbisik di dalam sana.

Tok! Tok! Tok!

Alvin sudah mulai jenuh. Pria itu menarik pintu ke arahnya, ia terkejut ketika melihat ada seorang kakek yang tengah duduk bersila di depan pintu dengan mata yang terpejam dan air yang disimpan di batok kelapa kering. Alvin lebih terkejut lagi ketika kakek itu tiba-tiba menyiramnya dengan air sehingga membuat kaus hitamnya menjadi basah.

Mata kakek yang semula terpejam kini terbelalak. "Maaf, saya kira anda makhluk halus."

Samar-samar, di belakang Alvin terdengar suara cengengesan. Alvin menoleh ke belakang dan menatap tajam kepada Excel yang tengah menertawainya. Excel menutup mulutnya rapat-rapat ketika ia mendapati tatapan tajam dari tuan mudanya. Alvin mengalihkan pandangannya. Pria itu duduk berjongkok di hadapan kakek tersebut. Sebisa mungkin Alvin bersikap ramah padanya.

Alvin membuka layar ponsel miliknya dan memperlihatkan foto Syifa yang tengah memakai cadar. "Apa Kakek kenal dengan wanita ini?"

"Wah, dia cantik sekali," puji kakek tersebut walaupun yang ia lihat hanyalah mata dan alis Syifa.

"Apa Kakek mengenalnya?"

Kakek itu menatap mata Alvin. "Dia cantik."

"Saya tahu itu. Apa Kakek mengenalnya?" tanya Alvin dengan rahang yang mulai mengeras.

Alvin sedang berduka seperti ini bisa-bisanya kakek itu membuatnya kesal.

"Jika tidak salah, saya melihatnya di samping mobil dengan darah yang bercucuran. Apa dia terjatuh dari atas sana?"

Alvin menganggukkan kepalanya dengan antusias. "Lalu, apa Kakek mengetahui keberadaannya sekarang?"

Kakek itu terdiam sejenak. Ia mengetuk dagunya berkali-kali menggunakan jari telunjuk yang dilingkari oleh cincin batu akik berwarna hitam. Matanya menatap ke atas sebelah kiri layaknya seseorang yang tengah berpikir. Sangat lama menunggu jawabannya sehingga membuat Alvin dan para body guard harus menunggu. Dada Alvin dibuat kembang kempis olehnya.

"Saya mengenal seorang pemuda. Dia sangat senang menolong orang. Barang kali dia telah menolong wanita itu, jadi anda pergi saja ke rumahnya. Rumahnya tidak ada di sini. Dia hanya senang ke mari karena ada banyak makhluk hidup yang membutuhkannya, termasuk anjing yang sering kali kelaparan. Rumahnya sedikit dekat dengan perkotaan. Rumahnya paling sederhana," jelas kakek itu dengan panjang lebar.

"Di mana rumahnya?"

"Di kota ini. Rumahnya ada di tengah-tengah antara masjid dan juga rumah kosong yang terbuat dari kayu. Cari saja masjid yang letaknya dekat dengan rumah kosong, aku ingin kalian berusaha."

"Tetapi, kalian jangan terlalu berharap. Dengar-dengar, di sana ada seorang pembunuh yang selal---"

"Jangan percaya! Aku kenal kakek ini. Jika dia sudah bercerita tentang hal-hal pembunuhan, dia akan menakuti kita semua dengan kebohongannya," tukas Excel.

Kakek itu tersenyum manis. "Terima kasih telah mengenalku. Aku menjadi terkenal oleh banyak orang karena aku suka berbohong."

Excel menatap wajah keriput milik kakek tersebut dengan ekspresi yang tak terbaca. "Percaya diri sekali."

"Baiklah, terima kasih, Kek," ujar Alvin sopan.

Tanpa pamitan, Alvin pergi dari rumah itu dan diikuti dengan para body guard. Alvin berlari menuju mobilnya di sana yang masih sedikit leluasa. Selang dua jam lebih lima belas menit kemudian, Alvin sudah keluar dari hutan dan kini ia tengah melajukan mobilnya dengan kecepatan yang tinggi.

_____

To be continued
Username Instagram: faresyia_

Surat Izin Mencintai (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang