SIM 67

852 139 1
                                    

Alvin mencium perut milik Syifa yang sedikit membesar. Syifa benar-benar canggung dibuatnya. Setelah mencium perut Syifa, Alvin mengelus pucuk kepala milik wanitanya. "Aku sangat merindukanmu."

"Benarkah? Bukankah kau hanya pergi ke kantor saja? Bukan ke luar negeri," tanya Syifa dengan wajahnya yang terlihat polos.

Alvin merangkul bahu milik Syifa. Tangan satunya menutup pintu kamar dan mendudukkan Syifa di tepi ranjang. Alvin duduk di sebelahnya. "Sudah lebih dari tujuh bulan aku tidak bertemu denganmu."

"Apa selama itu? Aku tidak menghitungnya."

"Ya. Aku tidak ingin kehilanganmu untuk yang kedua kalinya," ujar Alvin.

"Aku tidak akan pergi. Gantilah bajumu, akan kubawa makanan untukmu."

"Apa kau sudah makan, Sayang?"

Syifa menggelengkan kepalanya. "Aku tidak lapar."

"Tidak boleh seperti itu. Kau ingat, di dalam perutmu ada bayi kecil. Tunggulah di sini. Akan kubawakan makan malam," ujar Alvin.

"Biar aku saja."

"Kau tidak boleh terlalu lelah, Sayang. Duduklah di situ."

Alvin keluar dari kamarnya dan menutup pintu karena ada Syifa di dalam kamar yang hanya memakai mukena. Tidak memakai cadar. Syifa tersenyum tipis setelah Alvin benar-benar keluar dari kamarnya. Betapa baik hatinya Alvin, tidak seperti Selamet yang selalu menuntutnya agar menjadi wanita yang mandiri.

Lebih parahnya lagi, Selamet memberikan saran kepada Syifa untuk membenturkan perutnya ke tembok demi kepentingannya sendiri.

Kala itu, Syifa tidak pernah berpikir bahwa dirinya tengah hamil karena Selamet sudah lebih dulu mempengaruhinya. Selamet mengatakan bahwa dirinya mempunyai sebuah penyakit. Ketika Syifa bertanya penyakit apa itu, justru Selamet diam membisu. Tidak bisa dibayangkan bagaimana jadinya jika Syifa benar-benar mengikuti saran dari pria tersebut. Mungkin bayi ini tidak akan hidup sampai saat ini.

Sedangkan di luar kamar, Alvin hendak menaiki anak tangga dengan tangan yang membawa sebuah piring berisi nasi dan lauk pauknya. Namun, tiba-tiba ia berpas-pasan dengan Aarav. Pria itu menyunggingkan senyuman jahilnya. "Mentang-mentang sudah bertemu dengannya, selepas sampai rumah kau langsung ngacir ke kamar."

"Suka hatiku. Lebih baik kau mencari istri saja di luar sana," saran Alvin seraya menaiki anak tangga.

Aarav menyeimbangkan langkahnya dengan Alvin. "Jika aku mencarinya malam-malam seperti ini, yang ada aku mendapat istri kupu-kupu malam. Aku ingin wanita seperti Syifa. Wanita yang terjaga."

Alvin terkekeh kecil. Lalu berbisik, "Ikuti caraku kala itu. Culik seorang wanita." Alvin berlari dengan wajah tengilnya sebelum Aarav berteriak di depan telinganya.

Aarav menghentikan langkahnya dengan mata yang mendelik tajam. "Ajaran sesat!"

Alvin masuk ke dalam kamar. Ia mendapati Syifa yang tengah tertidur dengan posisi yang menyandar ke punggung ranjang. Pria itu meletakkan piring tersebut dan juga segelas air yang ada di tangannya ke atas meja nakas. Tangannya membelai halus kepala milik istrinya yang masih dibaluti oleh mukena putih. Alvin menepuk pundak Syifa dengan perlahan agar ia terbangun.

"Sayang, makanlah!" titah Alvin.

Lambat laun, matanya terbuka secara perlahan. Syifa mengangkat punggungnya dari sandaran kasur. Alvin mengambil piring yang diletakkan di meja nakas. Lalu, ia mendudukkan bokongnya di samping Syifa. Alvin meraup nasi dan lauknya memakai sendok. Sendok tersebut Alvin sodorkan tepat di depan bibir ranum milik Syifa. Wanita itu menggelengkan kepalanya.

Alvin membujuknya, "Makanlah, Sayang. Sedikit saja."

"Kau saja. Aku tidak lapar."

"Aku sudah makan di kantor. Sekarang kau saja. Apa kau tidak merasa kasihan pada bayi kecil yang ada di dalam sana?"

Wanita itu terdiam sejenak. Dengan hati yang ragu, Syifa membuka mulutnya. Alvin memasukkan sendok tersebut ke dalam mulut Syifa. Syifa mengunyah makanan itu dan menelannya. Wanita itu menahan rasa mual yang kembali menyerang setelah sekian lamanya tidak timbul. Sampai di empat suapan sendok, Syifa benar-benar tak tahan dengan rasa mualnya. Syifa berlari ke wastafel yang letaknya ada di kamar mandi.

Alvin meletakkan piring di atas kasur dan berlari menghampiri Syifa. "Apa kau baik-baik saja, Sayang?"

"Huek!"

Alvin memijat tengkuk leher milik Syifa. Namun, Syifa tidak mengeluarkan apapun dari mulutnya terkecuali cairan bening sahaja. Alvin berhenti memijat tengkuk milik Syifa ketika wanita itu membalikkan tubuhnya ke belakang.

"Apa yang harus kulakukan jika kau merasa mual? Aku benar-benar tidak mengerti apa-apa. Apa aku harus membelikan-mu cokelat agar kau tidak merasakan mual kembali?"

"Jangan memaksaku untuk makan," pinta Syifa dengan raut wajah memohon.

"Tetapi, aku takut jika kau akan jatuh sakit."

"Kau ingin jika aku tidak merasakan mual, bukan? Lagi pula, aku tidak merasa lapar."

"Lima kali suapan lagi. Setelah itu aku berhenti menyuapimu," janji Alvin.

Syifa menggelengkan kepalanya sontak membuat Alvin pasrah. Tanpa aba-aba pria itu menggendong istrinya ala bridal style. Syifa yang terkejut refleks memukul dada bidang milik Alvin dan meminta untuk diturunkan. Alvin tak mengacuhkan permintaannya, justru ia memasang wajah tengilnya yang tampak tidak berdosa. Syifa memberontak.

"Jangan seperti ini, Sayang. Aku takut kehilangan keseimbangan."

"Turunkan aku," pintanya.

Alvin menunda waktu untuk menjawab ucapan Syifa dengan langkahnya yang tidak berhenti. Setelah sampai di ranjang, Alvin menidurkan tubuh Syifa. "Aku menurunkanmu. Aku sangat baik, bukan, karena aku mengikuti permintaanmu?"

"Aku memintanya sebelum kau sampai di sini," sahut Syifa dengan bibir yang sedikit cemberut.

Alvin tertawa kecil melihat wajah menggemaskan milik Syifa. Pria itu mengambil piring yang tergeletak di kasur. "Satu sendok."

Syifa menggelengkan kepalanya. "Tidak."

Alvin mengembuskan napasnya dan mengangguk pelan. Pria itu keluar dari kamar dan melangkahkan kakinya menuju dapur. Namun, ketika hendak menuruni anak tangga ia berjumpa dengan Sarah. Alvin memintanya untuk menyimpan piring tersebut. Lalu, Alvin kembali masuk ke dalam kamar. Alvin melihat Syifa yang tengah terduduk dengan pandangan yang tertuju ke depan.

"Bukalah mukena itu, Sayang," saran Alvin.

Syifa menolehkan kepalanya. "Aku ...."

"Kau selalu membuka hijabmu jika sedang ada di dalam kamar bersamaku. Jadi, tidak perlu malu." Alvin menyunggingkan senyuman manisnya.

Syifa terdiam sejenak sontak membuat Alvin menatap matanya begitu dalam. "Jika kau ragu, aku tidak akan memaksa."

Alvin mendudukkan tubuhnya di samping tubuh Syifa. Syifa melepas mukenanya sehingga membuat rambut panjangnya yang diikat longgar kini nampak. Alvin tersenyum ke arahnya dan sampai ketika ia salah fokus kepada baju Syifa. Syifa masih mengenakan baju gamis. Alvin teringat bahwa ia belum memberikan baju tidur untuk wanitanya. Pria itu berlari menuju lemari dan memilih baju tidur milik Syifa yang berlengan pendek.

_______

To be continued
Username Instagram: faresyia_

Surat Izin Mencintai (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang