SIM 63

831 134 4
                                    

Alvin menyerah?

_____

Husain menahan tangan Syifa sebelahnya. Husain menatap wajah Selamet dengan raut wajah penuh emosi. Lalu, Husain mengalihkan pandangannya ke wajah Syifa. "Kau adikku dan sekarang kau harus pulang! Pria yang kau sebut suamimu itu sebenarnya orang lain. Suamimu hanya Alvin!" bentak Husain. Ini pertama kalinya Husain membentak Syifa. Tega? Tidak! Husain tidak tega membentaknya. Namun, ia cukup terbawa emosi dengan Syifa yang entah sejak kapan menjadi keras kepala.

Alvin menggelengkan kepala. "Jangan membentaknya."

Syifa mengerutkan keningnya. Mendengar penuturan itu sontak membuat kepala Syifa kesakitan. Syifa menjauhkan tangannya dari tangan Husain dan Selamet. Syifa merasa bahwa ia pernah mendengar kalimat seperti itu. Namun, Syifa tidak tahu pasti di mana ia mendengarkan. Kedua tangan Syifa memukul-mukul kepalanya yang terasa sakit.

Memorinya seolah-olah berputar. "Jangan membentaknya! Dia istriku."

"Mana bajuku?! Sialan sekali, mengapa kau tidak memberikan bajuku tadi?!"

"Maya, kau kenapa?!" tanya Selamet dengan raut wajah panik.

Semuanya panik karena nampaknya Syifa sangat merasa kesakitan. Lambat laun, rasa sakit di kepala Syifa mereda. Namun, justru matanya melontarkan tatapan bengis kepada Alvin. Alvin menyatukan kedua alisnya. Mengapa Syifa tiba-tiba menatapnya seperti itu?

"Aku, aku ingat pria ini! Dia yang menculikku kala itu, lalu dia juga suka sekali membentakku!"

"Hanya itu yang kau ingat? Kita mempunyai kenangan indah bersama. Walaupun ... tidak banyak," tutur Alvin memelankan kalimat terakhirnya.

Gardan bergeser mendekati Alvin dan berbisik. "Kita pulang saja. Di pagi hari, aku akan membantumu untuk mengembalikan ingatan Syifa."

"Tidak akan!"

"Jangan keras kepala. Kali ini saja kau mengikuti perintahku," bisiknya seraya memelototi Alvin sebagai kode.

Alvin mengangguk pasrah. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, kakinya melangkah menjauh dari Syifa. Hatinya lelah. Alvin sudah berkorban nyawa kala Syifa hendak ditembak oleh Ganesha. Namun, ini balasannya? Fatimah, Burhan, Anna, dan Gardan menguntit Alvin dari belakang.

Sedangkan di belakang sana, Syifa tengah menatap punggung mereka yang sudah mulai menjauh. Ada rasa tak enak hati kala mereka pulang tanpa berpamitan. Syifa menatap wajah Selamet dengan lekat. Tatapannya bertemu. Pria itu melontarkan senyuman manis.

"Ada apa denganku? Aku merasa bahwa pria tadi tidak asing," ucap Syifa.

"I--itu ... itu hanya perasaanmu saja, Maya. Jika kelak kau mengingat sesuatu, jangan percaya itu! Sesungguhnya hanya aku satu-satunya keluarga yang kau punya. Semua keluargamu sudah tiada, termasuk saudara kandungmu."

"Kau tidak membohongiku, bukan?"

Selamet merangkul bahu milik Syifa. "Tidak mungkin aku tega membohongi wanita secantik dirimu," sahutnya dan dibalas dengan senyuman tipis dari Syifa.

Selang beberapa menit kemudian, dua mobil hitam baru saja memasuki halaman rumah. Orang yang berada di mobil tersebut keluar dan masuk ke dalam rumah. Mereka mengambil air wudu di kamar mandi karena tak lama lagi azan magrib akan berkumandang.
Para pria akan salat di rumah berjamaah dengan Fatimah dan juga Anna. Anna melepas cadarnya ketika ia sudah masuk ke dalam kamar Fatimah.

Surat Izin Mencintai (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang