SIM 18

986 156 5
                                    

"Kau mabuk dengan pria itu untuk apa, heum?!"

Kali ini, nada bicara Alvin mulai meninggi. Lebih-lebih lagi, ketika Alvin mengingat perkataan seorang pria di sambungan teleponnya. Pria itu mengatakan bahwa Evrita tengah mabuk bersamanya. Alvin tentu saja marah. Walaupun pakaian Evrita sangat terbuka, Alvin tidak pernah bertindak kurang ajar dan mempunyai niat untuk merusak Evrita.

'Sialan sekali pria itu. Tak seharusnya dia mengatakan hal ini kepada Alvin!' batin Evrita.

Ini saatnya. Saatnya Evrita melakukan akting menangis. Entah apa yang membuat mata Evrita kini berkaca-kaca. Matanya sedikit menyita perhatian Alvin. Ada rasa iba di hati milik pria tersebut. Namun, ia tidak ingin menunjukkan belas kasihannya pada wanita itu.

"Ponsel a--aku, dicuri sama dia, Vin."

Evrita menghayati tangisannya sehingga membuat aktingnya terlihat natural. Wanita itu menutup wajahnya menggunakan kedua telapak tangan. Alvin tidak tega melihatnya. Alvin memang bodoh. Wanita sebaik Syifa tidak pernah ditaruh rasa belas kasihan olehnya, sedangkan Evrita wanita tak tahu malu itu selalu dikasihani oleh dirinya.

"Ti--tidak usah menangis! Ambil kartu rekening ini lalu pergi membeli ponsel yang baru!" titah Alvin seraya berjalan menuju meja kerjanya. Ia membuka laci dan mengambil puluhan lembar uang bergambar pahlawan Soekarno.

Evrita yang sedari tadi menutup wajahnya kini sedikit mengintip di balik tangannya. Benar saja, Alvin menghampirinya dengan membawa uang berwarna merah sehingga membuat tangan Evrita gatal ingin mengambilnya. Namun, Evrita tidak bodoh. Jika Evrita langsung mengambil uang tersebut tanpa meminta maaf pada Alvin, maka uangnya hanya berhenti mengalir di situ saja.

Evrita menyingkirkan tangannya dari wajahnya. "Aku tidak butuh uang itu, Alvin! Aku hanya ingin kau memaafkanku. Mau salah paham!"

Kini, Alvin sudah berhadapan dengan wanita berpakaian kurang bahan tersebut. Pria itu duduk di samping kekasihnya. Ia meraih pundaknya. "Ya, aku memaafkanmu, Honey. Maafkan aku yang sudah berprasangka buruk pada-mu."

"Terima kasih. Jadi, mana uang yang akan diberikan kepadaku?" tanya Evrita seraya menepiskan air mata dari pipinya.

Alvin menyodorkan uangnya. "Pakailah! Jangan biarkan uang ini tersisa."

Dengan mata yang berbinar-binar karena merasa gembira, Evrita mengambil alih uang tersebut dan meninggalkan Alvin tanpa memberikan sepatah kata pun. Alvin tertawa kecil melihat tingkahnya. Tidak ada yang lucu. Namun, menurut Alvin, Evrita sangat lucu.

Evrita berlari kecil keluar dari area perkantoran. Sesekali wanita itu berlompat gembira. "Mencari uang bagiku itu mudah jika ada pria yang rela menjadi mesinnya."

....

Bulan bersinggah di langit malam dengan sinarnya. Jam dinding sudah menunjukkan pukul setengah delapan, Syifa dan Fatimah baru saja selesai mencuci piring yang sudah dipakai untuk makan malam. Setelah itu, kedua wanita tersebut enyah dari dapur meninggalkan para pembantu yang tengah membereskan alat masak sebelum mereka memasuki kamarnya masing-masing.

Pembantu di sini mempunyai kamar khusus. Satu kamar ditempati oleh dua orang. Kamarnya tidak jauh berbeda dengan Alvin, sama sama nyaman. Namun, hanya saja kamar pembantu lebih kecil dan tidak ada kamar mandi di dalamnya.

Fatimah dan Burhan pamit pulang kepada Alvin dan Syifa. Setelah kedua orang paruh baya tersebut pergi dari rumahnya, Alvin dan Syifa masuk ke dalam kamar. Syifa menyuruh Alvin untuk melaksanakan ibadah salat dan ganjil benar kali ini Alvin langsung menurutinya.

Setelah selesai salat, Alvin pergi ke kamar Aarav. Pria itu menerobos masuk ke dalam kamar. Ia celingak-celinguk mencari keberadaan penghuni kamar ini. Namun, tidak ada. Alvin jalan menuju kamar mandi yang tertutup, pasti dia ada di dalam. Bukan mengetuknya, justru Alvin menggedor-gedor pintu tersebut.

Brak!

Brak!

"Putuslah tanganmu jika menggedornya satu kali lagi!" teriak Aarav dari dalam kamar mandi.

Ceklek!

Aarav keluar dari kamar mandi seraya mengeringkan rambutnya menggunakan handuk. Baju tidur kini sudah melekat sempurna pada tubuhnya. Ekspresi wajahnya berubah kala melihat orang yang sudah menggedor-gedor pintu kamar mandi. Jika ia tahu bahwa tadi itu Alvin, maka Aarav tidak akan terburu-buru.

"Buat kaget sa---"

"Sut! Besok kita harus ke luar kota," tukas Alvin.

Lawan bicara Alvin mengerutkan keningnya seolah-olah bertanya kenapa?

"Aku diperintahkan abi untuk mencari pengganti karyawan yang baru saja mengundurkan diri."

"Mengapa harus jauh-jauh ke luar kota? Dan ... mengapa tidak membuka lowongan kerja?" tanya Aarav.

"Membuka lowongan kerja? Aku tidak ingin si badut itu memilih orang yang salah. Aku ingin memilih orang di jalanan ramai. Jika aku mencari karyawan di kota ini, siapa yang tidak mengenaliku? Jika bertemu denganku pasti mereka akan melakukan pencitraan dengan berpura-pura baik agar bisa bekerja di kantor perusahaanku. Kantor perusahaanku, kan, memberikan gaji yang tinggi."

"Kau percaya diri sekali! Tetapi, idemu bagus juga."

"Jam sembilan, kita berangkat," ucap Alvin.

Aarav membelakkan matanya. Jam sembilan? Siang sekali! Bisa-bisa Burhan akan mengomelinya jika jam sembilan baru berangkat dari rumah.

"Siang sekali!"

"Maksudku sembilan malam."

"Malam sekali!" ketus Aarav.

"Siang sekali, malam sekali. Jadi mau-mu apa?! Baku hantam denganku?"

"Bagaimana jika jam tujuh pagi saja?" tawar Aarav.

Alvin terdiam sejenak. Lalu, ia memanggutkan kepalanya dan mengacungkan jempol. Ia melengos pergi dari kamar Aarav. Alvin harus tidur sekarang juga. Pria tersebut membuka pintu kamarnya lalu menutupnya kembali. Alvin melihat Syifa yang sudah tertidur pulas. Di hati Alvin, ia tidak merasa bersalah sedikit pun telah menculik wanita ini. Alvin benar-benar menganggap bahwa Syifa bahagia di rumahnya dengan segala kemewahan yang ada.

Alvin merebahkan tubuhnya di samping guling yang menjadi pembatas jarak antara dirinya dan juga Syifa. Alvin memejamkan matanya dan berusaha untuk tertidur.

....

Syifa mengerjapkan matanya berkali-kali, ia mencari keberadaan Alvin yang pagi-pagi buta sudah tidak ada di atas ranjang. Entah ke mana perginya pria tersebut. Syifa yang masih merasa pusing akibat baru saja bangun tidur hanya celingak-celinguk mencari keberadaannya.

Syifa berusaha untuk bangkit dari posisi tidurnya. Setelah itu, wanita tersebut mencari Alvin di kamar mandi. Namun, tidak ada. Padahal, jam dinding baru menunjukkan pukul tiga pagi, tidak mungkin jika Alvin sudah berangkat ke masjid. Tidak mungkin juga jika Alvin bangun sepagi ini.

"Alvin?"

"Alvin, kau di mana?" tanya Syifa.

Syifa mengikat rambut panjangnya. Wanita itu hendak memakai gamis dan kerudungnya untuk mencari Alvin di luar kamar. Namun, tiba-tiba suara dengkuran halus terdengar oleh telinga sehat miliknya. Syifa mengerutkan kening. Dengan sedikit keberanian, Syifa mencari sumber suara tersebut.

"Alvin ...?"

Syifa berdeham kecil karena ia hendak memanggil nama sang suami dengan nada yang sedikit tinggi. "Alvin!"

Pria yang merasa namanya disebut langsung bangkit dari posisi tidurnya walaupun ia belum benar-benar bangun dari tidurnya. Namun, belum saja Alvin terduduk, jidatnya berantuk pada ranjang.

"Aw ...!"

_____

TBC
Bantu follow akun baru Instagram Fafa, ya.
Username: faresyia_

Surat Izin Mencintai (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang