SIM 59

796 141 7
                                    

~Tidak ada pahlawan yang akan tertawa saat anaknya terluka.~

_____

Kabar duka itu tersebar sampai ke telinga Husain, Anna, Gardan, bahkan juga Evrita. Alvin benar-benar hancur. Keesokan paginya, Alvin mendatangi gudang yang tengah dihuni oleh Inem. Wanita paruh baya bermuka dua itu tidak diberi makan beberapa hari setelah ia melakukan perbuatan jahanamnya. Alvin menatap wajah keriput yang ada di hadapannya dengan raut wajah yang murka.

Karena wanita itu, Alvin kehilangan Syifa. Karena wanita itu juga, Alvin mencicipi bagaimana rasanya luka perpisahan. Alvin memegang sebuah pisau. Pisau berkarat nan sedikit tumpul. Alvin sengaja memilih pisau yang tumpul ketimbang pisau yang tajam, kegunaannya agar Inem tidak langsung mati ketika pisau tersebut tertancap di kulitnya. Alvin akan membiarkannya menderita terlebih dahulu.

"Lepaskan saya, Tuan," pinta Inem seraya menangis dengan isak tangisannya.

Mata sembap Alvin melontarkan tatapan yang sinis. "Matilah terlebih dahulu, akan kulepas kau kepada Tuhan."

"Bima!" teriak Alvin dengan tegas.

Suara langkah kaki dengan tempo yang cepat semakin terdengar.

"Iya, Tuan?"

Alvin menyodorkan pisau berkarat kepada Bina. "Siksa dia!"

"Baik, Tuan!" sahut Bima sembari tersenyum menyeringai kepada wanita paruh baya yang duduk lemas tak berdaya di kursi.

Alvin tidak ingin tahu bagaimana proses penyiksaan itu. Alvin langsung pergi menuju kamar karena ia tidak ingin jika Fatimah dan Burhan melihat apa yang sudah diperbuat olehnya.

Alvin tidak mengingkari janjinya, bukan? Alvin hanya memerintahkan Bima untuk membunuh. Jadi, bukan tangan Alvin sendiri yang melayangkan nyawa wanita kolot nan jahanam itu.

Alvin menaiki anak tangga dengan tatapan yang datar. Fatimah yang sedang berdiri berdekatan dengan meja makan menatap punggung putranya yang semakin lama semakin menjauh. "Makanlah, Nak! Dari semalam kau belum makan."

"Alvin tidak berselera, Umi," sahut Alvin tanpa menghentikan langkahnya.

Fatimah mengembuskan napasnya. Rasa iba kepadanya memang selalu ada. Jika Alvin sudah menangisi seorang wanita, itu artinya Alvin benar-benar mencintai wanita tersebut. Ketika bersama dengan Evrita, apakah pernah Alvin meneteskan air mata untuknya? Tidak!

Alvin masuk ke dalam kamar. Perutnya yang belum diisi semalaman sama sekali tidak menunjukkan rasa laparnya. Matanya tidak dipejamkan selama satu hari penuh dan pikirannya tidak dipersilakan untuk beristirahat oleh keinginan hati. Benaknya dipenuhi oleh Syifa, istrinya yang telah pergi. Kehidupan Alvin sangat berbeda ketika tidak ada Syifa.

"Seharusnya aku tidak mengenalmu sejak awal. Namun, jika aku tidak mengenalmu, tidak ada kata bahagia yang tercatat di kamus kehidupanku ...," lirih Alvin.

Alvin merobekkan selembar kertas dan jarinya membuat pena menari di atas kertas tersebut. Alvin menggambar hati yang retak. Alvin meremas kertas tersebut sampai berbentuk bulan dan dilemparkan ke luar balkon dengan hati yang berharap semoga lukanya ikut terbuang ke sana. Namun, nyatanya tidak.

"Pasti kau masih hidup. Aku yakin itu. Jaga dirimu baik-baik di kehidupan barumu, Sayang. Sampai kapan pun hatiku tidak mengizinkanmu pergi. Jangan lupakan ini, aku masih berharap dengan kehadiranmu sampai kapan pun."

Ingat keinginan Alvin ketika dahulu? Dia ingin jika Syifa pergi meninggalkannya dan sekarang, Syifa benar-benar meninggalkannya. Namun, justru itu membuat hati Alvin tersayat.

Keinginan yang dahulu kita impikan mungkin saja tidak baik untuk dikabulkan. Jadi, jika keinginanmu tidak kunjung dikabulkan mungkin saja Allah mempunyai hadiah yang lebih baik dari apa yang kamu inginkan.

Allah mempunyai banyak cara untuk mendatangkan kebahagiaan pada hambanya. Ingat, tidak selalu dalam bentuk kemewahan. Allah tidak menjamin orang yang dilimpahkan harta bisa bahagia. Allah juga tidak menjamin orang yang kekurangan harta akan menderita. Proporsi kebahagiaan semua orang jelas berbeda.

Alvin beringsut dari posisi duduknya dan melemparkan tubuhnya ke atas kasur. Ingin sekali Alvin berteriak. Mulutnya mengatakan bahwa dirinya sudah melepaskan Syifa. Namun, hatinya berbisik tidak. Alvin tersenyum tipis ketika benaknya melintas sebuah ide jahanam. Bunuh diri.

"Tuhan, aku ingin menyusulnya."

Alvin tersadar akan ucapannya. Pria itu menggelengkan kepala dengan cepat. Kali ini Alvin benar-benar merasa bahwa dirinya sangat lemah. Mata sembap pria itu terpejam. Matanya lelah karena dipakai untuk menangis seharian penuh. Pikirannya lelah untuk terus berkecamuk.

Burhan yang ada di luar kamar sedikit menekan kenop pintu kamar Alvin dan membukakan sedikit celah di sana. Raut wajahnya melontarkan ekspresi yang sedu kepada wajah Alvin. Burhan membuka pintu kamar dengan lebar dan menghampiri Alvin dengan langkahnya yang sedikit mengendap-endap.

Dengan hati yang ragu, Burhan mengelus rambut putranya. "Sabarlah, Nak. Syifa akan baik-baik saja selagi kau mengikhlaskannya."

Memberikan belaian lembut tepat di kepala Alvin pertama kalinya dilakukan oleh Burhan. Burhan tidak ingin menunjukkan rasa kasih sayangnya pada Alvin kala Alvin masih remaja karena jika Alvin sudah merasa sangat disayangi oleh kedua orang tuanya, pasti jikalau Alvin akan melakukan perbuatan yang salah ia tidak akan segan-segan untuk melakukan itu karena otaknya berpikir bahwa dirinya dan juga Fatimah tidak akan memarahinya.

"Kau mengharapkan Syifa akan kembali adalah luka yang paling disengaja," ujar Burhan.

Burhan melangkahkan kakinya keluar dari kamar Alvin. Tidak ada pahlawan yang akan tertawa saat anaknya terluka. Setegas apapun Burhan, itu adalah demi kebaikan Alvin. Pria paruh baya itu menutup kembali pintu kamar milik Alvin. Setelah itu, ia akan bersiap-siap untuk pergi ke kantor, menggantikan Alvin. Tidak mungkin Burhan akan membiarkan Alvin pergi ke kantor dalam kondisinya yang masih berduka.

....

"Lupakan aku, Alvin! Jangan menangisiku!"

"Mengapa, Sayang?" tanya pria itu.

"Karena ... aku sudah tiada. Jika kau ingin bertemu kembali denganku, kumpulkan amal salehmu sebanyak-banyaknya. Jauhi larangan-Nya, patuhi perintah-Nya."

"Sa–sayang ...?"

"Sampai jumpa," lirih wanita itu dengan melambaikan tangan.

"Jangan pergi, Syifa ...!"

"Alvin, bangunlah!" titah seorang wanita.

Alvin bangkit dari posisi tidurnya dan langsung terduduk di atas ranjang dengan keringat yang bercucuran di area pelipisnya. Alvin menatap seorang wanita berkerudung hitam dan cadar putih. Alvin ingin menangis haru melihatnya. Berkali-kali Alvin mengucek matanya untuk memastikan bahwa matanya tidak salah melihat. Namun, ternyata memang tidak salah.

"Ka–kau Syifa?!"

______

To be continued
Username Instagram: faresyia_

Surat Izin Mencintai (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang