SIM 29

1.1K 176 2
                                    

Tekan vote dulu, ya.
.
.
.
.
Happy Reading ❤️

~Kekasih Evrita Yang Sebenarnya~

Syifa mencoba untuk memejamkan matanya. Matanya memang terpejam, tetapi pikirannya seolah-olah melayang ke mana-mana. Sulit rasanya untuk melupakan kejadian tadi walaupun Syifa sudah berusaha sekuat-kuatnya. Syifa mematikan lampu kamar dan menyalakan lampu tidur yang ada di meja nakas.

....

Pagi hari pun tiba. Jam menunjukkan pukul setengah enam. Matahari sudah mulai menerobos masuk ke dalam celah-celah kecil yang ada di jendela sehingga cahaya tersebut menyinari kasur yang tengah ditempati oleh seorang pria dan wanita. Siapa lagi jika bukan Alvin dan Evrita. Ya, mereka tidur satu kamar. Dari malam, posisi Evrita masih setia memeluk tubuh Alvin secara menyamping.

Alvin mengerjapkan matanya ketika matahari menyoroti matanya. Alvin mengalihkan pandangannya ke arloji yang melingkar sempurna pada pergelangan tangan. Matanya terbelalak ketika melihat jarum pendek mengarah ke angka enam, ia langsung refleks mendudukkan tubuhnya di atas ranjang.

Alvin melepas pelukan Evrita. "Evrita!"

"Evrita, bangun!" teriak Alvin.

Seorang wanita yang tengah tertidur langsung terusik dengan teriakan Alvin. Wanita itu berkali-kali mengerjapkan matanya. Ia menatap Alvin yang tengah berdiri di sampingnya.

"Ada apa, Honey?" Evrita menutup mulutnya yang tengah menguap.

"Mengapa kau tidak membangunkan-ku?"

"Ini masih sangat pagi," sahut Evrita seraya memejamkan matanya kembali.

"Aku harus salat subuh! Ck, jika ada Syifa di sini, pasti dia akan membangunkan-ku tanpa harus ku-perintahkan. Tidak seperti-mu, bangun siang sekali. Pemalas!"

Alvin beranjak dari kasur dan melangkahkan kakinya menuju kamar mandi, sedangkan Evrita mendudukkan tubuhnya dengan punggung yang disandarkan di atas ranjang. Matanya terbelalak melihat perubahan Alvin. Evrita tahu betul bahwa Alvin selalu bangun jam tujuh pagi, pasalnya sebelum Alvin menikah, pria itu selalu menginap di apartemen Evrita dan Evrita pasti membangunkannya jam tujuh.

Evrita melihat Alvin yang keluar dari kamar mandi dengan rambutnya yang basah. Wanita itu melihat wajah Alvin yang sedikit pucat, mungkin Alvin belum benar-benar pulih dari sakitnya yang kemarin.

"Kau sedang sakit, kan? Jadi, tak payah mengerjakan salat!" celetuk Evrita tanpa menyaring ucapannya.

"Salat itu wajib!"

See! Alvin benar-benar membuat Evrita tercengang. Evrita sangat yakin bahwa perubahan Alvin ini ada sangkut pautnya dengan Syifa yang selalu memaksa Alvin untuk melaksanakan ibadah salat setiap harinya. Evrita benar-benar tak melihat diri Alvin yang dahulu. Bahkan, sekarang Alvin sudah berani bercakap dengan dirinya menggunakan nada yang tinggi.

Alvin membentangkan sajadahnya dan mulai melaksanakan salat subuh, sedangkan Evrita tengah berkutat dengan ponsel. Tak lama kemudian, ia mengulum senyumannya ketika melihat pesan dari pujaan hati yang sebenarnya sudah sampai di Indonesia.

Evrita mempunyai seorang kekasih yang menjadi CEO salah satu perusahaan terbesar di luar negeri. Evrita mencintainya bukan karena uang saja. Namun, juga dengan ketampanannya. Jika dibandingkan dengan Alvin, tentu saja pujaan hati Evrita yang sebenarnya jauh lebih tampan dan lebih mapan. Oleh karena itu, Evrita sangat mencintainya walaupun pria itu tak kunjung mengajak Evrita melangkah ke jenjang pernikahan.

Setelah Alvin menyelesaikan salatnya, pria itu kembali merebahkan tubuh di ranjang karena tubuhnya masih terasa lemas walaupun kepalanya sudah tidak terasa sakit seperti kemarin. Evrita memegang kening Alvin yang suhunya lumayan tinggi. Alvin hanya memejamkan matanya saja tanpa berbicara apapun.

"Apa kau mau minum obat? Akan kupanggilkan pembantu di sini," tawar Evrita.

"Tidak."

"Apa kau mau makan? Biar aku suruh mereka untuk memasakkan sup untukmu, Honey."

"Tidak. Aku sudah bilang tidak sedari tadi, kau masih saja tidak mengerti!" ketus Alvin.

Evrita memasang wajah kesal. Wanita ini bangkit dari ranjang seraya mengentakkan kakinya ke lantai. "Kau berubah!"

Evrita berlari ke luar kamar. Alvin hanya menggelengkan kepalanya dengan mata yang terus menatap punggung Evrita yang hendak menghilang dimakan belokan. Terasa sekali bagaimana rasanya tidak ada Syifa di sini. Namun, untuk meminta maaf pun rasa gengsi Alvin terlalu besar untuk melakukan hal tersebut.

'Menyesal sekali aku membiarkan Syifa pergi dari rumah ini. Wanita itu bisa merawatku kala sakit, tidak seperti Evrita yang selalu mengandalkan para pembantu di sini,' batin Alvin.

Alvin belum bisa memastikan dengan perasaan hatinya. Terkadang, Alvin merasa kesal pada Syifa, merasa tidak ingin jauh dari Syifa, dan sekarang Alvin merindukan Syifa. Sangat rumit bagi Alvin untuk menebak perasaannya saat ini. Alvin dibuat kesal oleh hatinya sendiri. Menambah beban pikiran saja!

Jika benar Alvin sudah mulai mencintainya, Alvin akan menjadi seorang pria lemah lembut untuk Syifa. Alvin akan mengusahakannya walaupun itu tak mudah baginya. Namun, itu jika benar Alvin mencintai Syifa. Jika tidak, Alvin sama sekali tidak akan pernah mau melakukan hal sesulit itu. Sifat kasarnya ini turun dari Burhan. Jadi, yang salah siapa?

Di taman belakang, Evrita tengah berbicara dengan kekasihnya yang bernama Gardan secara diam-diam tanpa sepengetahuan Alvin di sambungan telepon. Bahkan, di sepanjang detik Evrita mengobrol dengan Gardan di telepon, wanita itu selalu celingak-celinguk untuk memastikan bahwa tidak ada orang yang melihatnya.

"Honey, aku ingin bertemu denganmu. Aku sangat rindu padamu," ucap Gardan di sana.

"Boleh. Jemput aku di apartemen memakai mobil Lamborghinimu."

"Apapun akan kulakukan, Honey. Sampai berjumpa nanti siang. Aku akan memberikan kejutan.'

Tut!

Panggilan telepon terputus. Evrita berjingkrak-jingkrak gembira. Apa kata Gardan, tadi? Kejutan? Oh, Tuhan, hambamu yang satu ini sedang gembira sekali.

Dengan rasa senang di hatinya, Evrita kembali masuk ke dalam rumah. Namun, tatapan yang diberikan oleh pembantu-pembantu di sini sangat tidak mengenakkan bagi Evrita. Wanita itu mendelik tajam menatap pembantu tersebut satu persatu dengan sumpah serapah yang ia keluarkan di dalam batinnya. Para pembantu di sini benar-benar tidak menyukai Evrita.

"Mengapa kalian memperhatikanku?!"

Bentakan Evrita berhasil membuat semua pembantu mengalihkan pandangannya dan kembali bekerja. Evrita berdiri di depan anak tangga. "Alvin, aku akan pulang ke apartemen!" teriak Evrita dengan suara yang sangat kencang agar suaranya terdengar sampai ke kamar Alvin.

"Pergilah!"

Alvin mengepalkan tangannya. Alvin berpikir keras bagaimana caranya agar Syifa mau kembali ke rumah ini, tanpa harus ia memintanya terlebih dahulu. Jika wanita itu kembali, maka akan Alvin pastikan bahwa ia akan mencintainya sepenuh hati. Dari sini Alvin sadar, tidak semua wanita akan terus menetap kecuali jika wanita itu benar-benar tulus mencintai.

Namun, apakah benar jika Syifa mencintai Alvin? Pria itu memang terlalu percaya diri. Mungkin saja Syifa hanya menghargainya sebagai seorang suami, bukan sebagai pujaan hati. Ups.

_____

To be continued
Username Instagram: faresyia_

Surat Izin Mencintai (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang