Alvin berlari menghampiri Syifa. Ekspresi wajahnya sangat menyeramkan. Beberapa detik setelah Alvin menatap wajah Syifa, Alvin melontarkan dua tamparan di pipi kanan milik Syifa, dan dua tamparan di pipi kiri milik Syifa. Si pria bodoh itu memang selalu semena-mena dalam berbuat sesuatu. Tidak dipikirkan secara matang. Ia langsung berbuat apa yang ia inginkan.
Syifa memegang pipinya yang terasa perih. Entah apa yang membuat Alvin semurka ini padanya. "Alvin, kau kenapa?"
Bugh!
Setelah melontarkan bogeman mentah tepat di tulang hidung mancung milik Syifa, Alvin berujar, "Ini balasannya untuk wanita kasar sepertimu!"
"Tuan, hentikan! Kau tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi!" Bima menahan tubuh Alvin yang hendak menghajar Syifa.
Alvin memberontak. "Lepaskan!"
'Tidak kusangka, Alvin akan datang secepat ini. Bahkan, Alvin menghajar wanita sok suci itu tanpa mendengar cerita yang kubuat jauh-jauh hari. Susah payah aku merangkai cerita kebohongan, tetapi nyatanya Alvin langsung bertindak. Namun, itu bagus,' batin Evrita.
Alvin menendang perut Bima sehingga membuat pria tersebut melepaskan tubuh Alvin dan memegang perutnya yang kesakitan.
Alvin menatap mata Syifa yang tengah ketakutan, para bodyguard yang menonton itu sama sekali tidak berani untuk memisahkan. Cadar putih milik Syifa kini ternodai oleh darah yang keluar dari hidungnya akibat bogeman mentah dari Alvin. Namun, Alvin tidak memedulikan itu. Alvin merogoh sakunya yang sedikit tersembunyi dan mengeluarkan sebuah pistol. Alvin menodongkan pistol tersebut ke wajah Syifa.
'Ya, tembak!' batin Evrita.
Evrita masih terduduk di lantai sembari menikmati adegan yang ada di hadapannya. Evrita sangat gemas karena Alvin tak kunjung menembak Syifa. Justru Alvin terlihat sedikit ragu-ragu dan bersikap seperti ada sesuatu yang tengah dipertimbangkan.
Syifa menjatuhkan bulir air matanya. "Tembak saja. Aku sudah lelah denganmu."
Bima yang awalnya terbaring di lantai kini berusaha mati-matian untuk membangkitkan tubuhnya dengan tangan yang terus memegang perut. "Jangan, Tuan! Kau akan menyesal."
"Tembak saja, Alvin!" teriak Evrita dengan tangan yang terkepal. Sungguh, ia sangat gemas ingin menggantikan posisi Alvin di detik ini juga.
Alvin melirik ke arah Evrita yang tengah terduduk di belakangnya. Setelah itu, tangannya berancang-ancang untuk menekan pistol tersebut.
Bugh!
Bugh!
Alvin terkulai lemas di lantai ketika ada orang yang menghadiahinya dua bogeman mentah tepat di perut dan pipinya dengan tenaga yang lebih kuat ketimbang dirinya. Sudah Alvin duga sebelumnya bahwa itu adalah sang abi, yaitu Burhan. Siapa lagi di rumah ini yang mempunyai tenaga sekuat itu?
"Anak jahanam!" maki Burhan.
Fatimah berlari dan membawa Syifa masuk ke dalam rumah. Cadarnya yang terkena noda merah berhasil membuat Fatimah khawatir dengan keadaan Syifa. Wanita paruh baya itu membawa Syifa ke kamar miliknya yang sudah lama tidak ditempati.
Fatimah mengunci pintunya. Ia mendudukkan Syifa di tepi ranjang dan segera membuka tali cadar yang terikat di belakang. Fatimah menutup mulutnya ketika melihat hidung Syifa yang masih mengeluarkan darah segar. Bogeman mentah itu memang sangat keras menabrak hidung Syifa.
Fatimah melihat mata Syifa yang berkaca-kaca. Mengedip sedikit saja pasti air mata itu akan terjatuh. "Kau berhak untuk menangis karena kau manusia yang mempunyai hati, bukan seperti anak umi yang mempunyai akal seperti babi. Menangislah, Nak!" titahnya.
Syifa menyunggingkan senyuman kecutnya diiringi dengan gelengan di kepala. Fatimah mengambil tisu yang letaknya ada di meja nakas. Wanita paruh baya tersebut mengelap hidung Syifa yang terus bercucuran darah.
Syifa hendak mengambil alih tisu tersebut. "Biar Syifa saja yang melakukannya, Umi."
Fatimah menggelengkan kepalanya. "Tidak. Umi akan bertanggung jawab. Maafkan anak umi, Syifa."
Syifa tersenyum tipis. Kepalanya mengangguk sebagai jawaban 'iya' atas penuturan Fatimah. Sulit untuk dipercaya bagi Fatimah bahwa anaknya berani melakukan tindakan kasar kepada wanita seperti Syifa. Fatimah benar-benar tak habis pikir dengan Alvin. Fatimah terus mengelap darah yang keluar dari hidung milik Syifa dengan sangat hati-hati, sedangkan di luar? Suara bentakan Burhan terdengar jelas oleh kuping milik Syifa dan Fatimah. Alvin menanggapi bentakan itu dengan nada yang ketus.
Selang beberapa menit kemudian, darahnya berhenti mengalir. Syifa memakai cadar putihnya kembali. Sedangkan di luar yang awalnya terjadi keributan kini mendadak hening. Tak lama setelah itu, terdengarlah suara ketukan pintu.
Fatimah bangkit dari duduknya dan membuka pintu. Ternyata itu adalah Burhan. Pria paruh baya tersebut menatap mata Syifa. "Syifa, bawalah barang-barangmu. Kau harus ikut dengan kami!" titahnya dengan nada yang lemah lembut.
Syifa menatap Fatimah seolah-olah meminta persetujuan dari beliau. Lalu, wanita paruh baya itu tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Fatimah mengambil koper yang ada di lemari miliknya. Setelah itu, ia mengajak Syifa ke kamar Alvin untuk mengemasi barang-barang. Barang-barang yang dibawa oleh Syifa hanyalah pakaian, kerudung, dan juga cadarnya saja.
Jika mereka berdua tahu akan terjadi seperti ini, dari awal Fatimah dan Burhan tidak akan membiarkan Syifa satu atap dengan putranya.
Mereka bertiga menuruni anak tangga. Mereka bertiga melihat Evrita yang tengah mengobati luka di wajah Alvin akibat bogeman mentah yang dilontarkan oleh Burhan. Burhan menatap anaknya dengan tatapan elang, sedangkan Fatimah menatap tajam ke wajah Evrita yang tengah tersenyum menyeringai.
"Mulai sekarang, uruslah hidupmu sendiri. Kami tidak akan mencampuri urusanmu. Kami sudah tidak peduli!" tegas Fatimah.
Alvin sangat terkejut. Kedua orang tuanya tidak ikut campur ke dalam urusannya adalah keinginan Alvin. Namun, kalimat yang terakhir itu adalah masalah bagi Alvin. Bagaimanapun juga, Alvin masih membutuhkan mereka berdua. Apa lagi, hanya mereka berdua yang bisa menerima Alvin walaupun dirinya hanya datang ketika butuhnya saja.
"Ta--tapi ...."
Alvin tak melanjutkan ucapannya karena Fatimah, Burhan, dan juga Syifa pergi melengos meninggalkan Alvin yang tengah terduduk di sofa bersama Evrita. Evrita tersenyum menyeringai, ia benar-benar merasa puas. Mulai sekarang, tidak ada lagi yang bisa menghalanginya untuk terus memoroti harta milik Alvin. Jika bisa, Evrita ingin segera menikah dengan pria yang ada di sampingnya ini.
"Tidak apa, Honey. Aku akan tetap di sampingmu," ujar Evrita seraya memeluk Alvin dari samping.
Alvin tak mendengar penuturan wanita itu. Mata Alvin masih fokus melihat punggung kedua orang tuanya yang pergi dan tidak bisa dipastikan akan menginjakkan kaki di rumah ini. Mobil yang sedari tadi dipandang oleh Alvin kini mulai melaju menjauh dari rumahnya.
Evrita melepaskan pelukannya dan melihat sudut arah pandang mata Alvin dan kembali mengalihkan pandangannya ke wajah pria yang ada di hadapannya. "Hei, tidak usah memikirkan mereka."
_____
To be continued
Username Instagram: faresyia_
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat Izin Mencintai (END)
Romance[Mau buat Fafa seneng gak? Follow sebelum membaca dan follow akun Instagram Fafa. Username: refafa0401] 🚫DILARANG PLAGIAT🚫 Alvino Daniel Sandjaya tidak pernah tahu senekat apa keputusannya ini. Dia menyuruh beberapa body guardnya untuk menculik se...