SIM 64

799 147 13
                                    

Follow dulu akun Fafa. Bantu share cerita ini supaya yang baca makin banyak.
Liat juga ke bawah. Ada bintang, kan? Lalu, klik. Makasih❤️
.
.
.
Happy Reading

Dua kendaraan bermobil tengah kejar-kejaran di jalan raya sontak membuat pengendara lainnya merasa waswas karena khawatir akan terjadi kecelakaan. Pasalnya, kedua mobil itu terus saja menyelinap seenak jidat. Namun, karena kecepatan mobil yang ada di depan cukup tinggi dan mobil belakang terjebak di lampu merah sontak membuat pengendara mobil belakang kehilangan jejak.

"Lampu merah ini menyebalkan!"

Pengendara mobil yang di depan tersenyum kemenangan kala ia sudah tidak melihat mobil yang sedari tadi mengejarnya.

"Dia ini tidak waras sekali mengejarku. Padahal, kita sesama pria. Harusnya dia menyukai wanita," ujar Alvin bermonolog.

Jika ada pria yang mengejarnya, pikiran Alvin selalu saja menuju pada kekaguman terhadap sesama jenis. Di masa SMA ia sempat mendapatkan sebuah pesan di akun media sosialnya. Ada seorang pria yang menyatakan perasaan kepadanya sontak itu membuat Alvin merasa geli sekaligus ngeri. Sejak saat itu, Alvin tidak ingin jika ia terlalu akrab dengan pria.

Selang beberapa menit kemudian, Alvin berada di suatu rumah panggung. Ia sudah sangat yakin dengan keputusannya yang ini. Terkadang, mengalah tidak bisa selalu menyatakan bahwa kita kalah. Tetapi mengalah juga bisa menggambarkan bahwa kita mempunyai pola pikir yang dewasa, karena mengalah kita bisa menyelesaikan suatu masalah.

'Bismillah. Ikhlaskan hatiku, Ya Allah,' batin Alvin.

Dengan hati yang ragu, Alvin mengetuk pintu. Seorang wanita berbaju gamis putih dan kerudung hitam yang menutup dada membuka pintu rumah. Wajahnya yang semula ceria kini berubah ketika memandang wajah Alvin. Nampaknya, Syifa sangat muak dengan pria yang ada di hadapannya ini. Alvin tersenyum kecut kala melihat raut wajah itu yang nampaknya sangat malas untuk menatap wajahnya.

"Ada apa lagi?"

Alvin tak tahan menatap wajah wanitanya. Ia menundukkan kepala. Namun, itu justru membuat air matanya terjatuh. "Eum, tidak usah khawatir. Aku akan berhenti mengganggumu, aku berhenti mencintaimu untuk saat ini, dan aku juga menyerah. Aku tak sekuat itu. Hatiku selalu saja hancur ketika melihatmu berdekatan dengan pria itu. Aku lemah. Aku mengalah. Nampaknya, dia jauh lebih baik dariku, bukan? Dia penyayang, tidak sepertiku yang selalu saja bersikap kasar. Sepertinya dia juga mempunyai banyak ilmu agama, tidak sepertiku yang pas-pasan. Namun, setidaknya aku mengamalkan ilmu agamaku, tidak seperti dia yang hanya sampai di otak saja. Sebelum aku benar-benar pergi, aku mempunyai satu permintaan ...." Alvin menggantung ucapannya sontak membuat wanita yang ada di hadapannya menautkan kedua alis.

Lagi dan lagi, pria tengil yang sudah mempengaruhi Syifa datang dan bersiap-siap untuk ikut campur. Namun, Alvin tidak peduli dengan pria itu. Alvin menyerahkan beberapa cadar hitam yang ia bawa dari rumah. Sedari tadi Alvin menyembunyikan cadar itu di balik tubuhnya. "Pakailah cadar ini, jangan menampakkan kecantikanmu pada pria lain. Aku, aku cemburu. Aku tahu bahwa aku tidak berhak atas perasaan itu. Namun, hatiku tidak bisa berbohong. Sekali hatiku cemburu, mulutku sangat sulit untuk berkata tidak." Alvin menyerahkan beberapa cadar hitam.

"Ca--cadar?"

Alvin menganggukkan kepalanya. "Pakai ini dan---"

"Alvin! Minumlah obat ini, Alvin! Agar kau waras seperti semula!" teriak Gardan yang sedang berlari menghampiri Alvin.

Sedari tadi, Gardan memang memaksa Alvin untuk meminum obat tidur. Gardan benar-benar tidak setuju dengan keputusan Alvin yang hendak menyerah begitu saja. Pasalnya, Anna sangat senang jika Alvin menjadi suami Syifa. Jika Alvin menyerahkan Syifa begitu saja kepada pria lain, otomatis itu akan membuat Anna bersedih. Lebih-lebih lagi, ingatan Syifa yang belum pulih sehingga membuat Syifa tidak mengenali Anna, kakaknya sendiri.

Alvin menoleh ke belakang. "Aku sudah katakan tidak, ya tidak! Aku tidak bisa menelan obat! Berhenti untuk memaksaku.

"Tidak bisa menelan obat?"

Rasa sakit di kepala Syifa kembali menyerang. Sangat sakit sehingga membuat Syifa meremas kepalanya sendiri. Melihat itu membuat Selamet panik. "Kau kenapa? Apa kau sakit?"

Memori Syifa berputar kembali.

"Kau hanya perlu meletakkan obatnya di ujung lidah, Alvin. Setelah itu, kau minum air putih sehingga obatnya ikut larut ke dalam," saran Syifa.

"Aku tidak bisa menelan obat, Syifa! Berhenti untuk memaksaku!"

Lambat laun, rasa sakitnya mereda. Alvin mengerutkan keningnya, sedangkan Gardan yang baru berdiri di belakang Alvin kini tersenyum tipis ketika melihat Syifa yang kesakitan di bagian kepalanya. Gardan mengambil kesempatan. "Kau Syifa, bukan Maya. Kau istri Alvino Daniel Sandjaya. Kau pernah menikah dengan Alvin, bahkan hubungan kalian sebelum kecelakaan itu sudah sangat membaik. Kau dan Alvin belum bercerai karena kalian berdua sudah saling mencinta---"

"Jangan dengarkan itu, Maya! Kau bukan istrinya," tukas Selamet.

Alvin menolehkan kepalanya kepada Gardan dengan raut wajah penuh tanya. Gardan menatap wajah Alvin dengan raut wajah kekesalan. 'Mengapa dia bodoh sekali? Syukur-syukur memori Syifa bisa berputar.'

"Kau Syifa. Untuk Alvin dan Syifa, maaf ini lancang. Tetapi ini buku diari-mu, aku mengambilnya secara diam-diam di kamar kalian," ujar Gardan seraya menyodorkan sebuah buku.

Dengan hati yang ragu, Syifa mengambil alih buku tersebut. Baru saja ia hendak membacanya, tiba-tiba Selamet merampas buku tersebut lalu menjatuhkannya dan menginjak-injak buku itu. Syifa membelakkan mata melihat aksi Selamet yang seolah-olah tidak terima jika Syifa sampai membaca buku tersebut. Raut wajahnya yang terlihat panik lagi-lagi membuat Syifa merasa curiga.

"Mengapa kau menginjak buku itu?"

"Kau tidak perlu membacanya, Maya," sahut Selamet dengan keringat dingin yang bercucuran.

Alvin mulai mengerti dengan rencana Gardan. Pria itu menyunggingkan senyuman menyeringai. "Apa salahnya jika Syifa membaca buku itu? Nampaknya kau ketakutan sekali." 

"Jika yang dikatakan oleh mereka berdua itu tidak benar, seharusnya kau tidak perlu ketakutan!" ketus Syifa seraya memungut buku yang ada di kaki Selamet.

Syifa membacanya dengan kaki yang melangkah menjauh dari Selamet karena ia takut jika pria itu akan merampas bukunya kembali. Syifa melangkahi beberapa halaman buku. Syifa terperangah ketika melihat foto dirinya yang duduk di pelaminan bersama seorang pria. Syifa menatap wajah Alvin dan foto pria tersebut secara bergiliran. Mirip. Syifa juga meneliti mata milik wanita yang ada di sana. Walaupun wanita yang ada di sana memakai cadar dan sedikit polesan make up. Namun, Syifa yakin bahwa itu adalah dirinya. Di bawah foto tersebut terdapat untaian kata-kata yang membuat keyakinan Syifa berpaling kepada Alvin.

Syifa menolehkan kepalanya menatap pria berbadan jangkung. "Al--Alvin?"

"Kau istriku, Sayang," ujar Alvin dengan suara yang lemah lembut dan diiringi dengan senyuman tulusnya.

Syifa mengalihkan pandangannya ke wajah Gardan. Gardan menganggukkan kepalanya untuk meyakinkan Syifa. Pandangan Syifa teralihkan kepada pria bersarung hitam. Hanya dia saja yang menggelengkan kepalanya. Banyak yang mengatakan bahwa dirinya adalah Syifa. Namun, hanya Selamet yang berkata bahwa dirinya adalah Maya. Kalian pasti tahu sendiri keyakinan Syifa berpihak pada siapa sekarang.

Kepala Syifa menggeleng. Matanya berair dan menatap ke wajah Alvin. "Apakah aku akan berdosa jika aku memelukmu?"

"Tentu saja tidak. Kau istriku. Kemarilah!" Alvin merentang kedua tangannya.

_____

To be continued
Username Instagram: faresyia_

Surat Izin Mencintai (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang