SIM11

1.1K 189 1
                                    

"Ini siapa?"

"Apa kau kekasih Evrita? Kekasihmu yang bekerja sebagai jalang sedang mabuk bersamaku, hahaha," ujar pria tersebut.

Tut!

Prang!

Setelah Alvin mematikan sambungan teleponnya. Pria tersebut membanting-kan gelas yang ada di atas nakas. Tak hanya itu, Alvin juga melemparkan pot kaca yang lumayan besar, letaknya ada di samping meja nakas.

"Astagfirullahaladzim!" Syifa menutup mulutnya.

Syifa tidak suka dengan keributan. Syifa tidak suka jika melihat seorang pria yang tengah marah besar, itu sangat menakutkan. Mendengar suara kaca yang pecah dari kamar Alvin, Aarav langsung berlari menuju kamar Alvin. Ia takut jika Alvin berbuat macam-macam kepada Syifa.

Aarav membuka pintu itu dengan kasar. "Alvin!"

Dada Alvin naik turun dengan emosi yang meledak-ledak. Alvin hendak memecahkan cermin. Namun, tangannya ditahan oleh Aarav.

"Kau kenapa?!" tanya Aarav dengan nada yang tinggi.

"Evrita."

Mendengar nama itu sontak membuat Aarav menarik napasnya dalam-dalam. Hanya karena wanita jalang itu Alvin menjadi seperti ini. Alvin telah membuat Syifa ketakutan. Aarav membawa Alvin ke kamarnya. Ia ingin bicara sesuatu kepada sahabatnya ini.

"Syifa, aku pinjam Alvin sekejap." Aarav menyunggingkan senyumannya.

Syifa menganggukkan kepalanya. Dengan kakinya yang sedikit gemetar wanita itu mengambil sapu dan pengki untuk membersihkan kaca-kaca yang berserakan akibat suaminya. Sebenarnya Syifa masih terkejut dengan amukan Alvin tadi. Apa yang membuat Alvin marah seperti itu?

Sedangkan di kamar Aarav, Aarav tengah mengomeli Alvin. Aarav sudah seperti kakak bagi Alvin. Aarav jauh lebih dewasa darinya walaupun umurnya sedikit lebih muda dari Alvin. Aarav masih berusia dua puluh tiga tahun.

"Evrita lagi? Mengapa kau masih mengindahkannya sedangkan di kamarmu ada bidadari cantik. Hanya kau pria seorang saja yang bisa melihat rambut indahnya. Jangankan rambutnya, wajahnya saja pria lain tidak diperkenankan oleh Syifa untuk melihatnya. Sedangkan, Evrita? Auratnya dinikmati oleh banyak orang! Tidak ada yang spesial darinya. Apa kau sadar itu, Alvin?!" omel Aarav.

"Evrita lebih istimewa bagiku dari pada wanita di kamar sebelah itu!"

"Sut, jaga ucapan-mu! Jika Syifa mendengarnya, dia pasti akan merasa sakit hati!"

"Biarkan saja," sahut Alvin dengan nada yang terdengar santai.

"Jika begitu, apa kau rela jikalau aku merebutnya darimu, heum?"

"Tidak! Tidak akan kubiarkan wanita itu pergi. Karena, hanya wanita itu yang bisa melindungiku dari omelan umi dan abi!" ketus Alvin.

"Jika begitu, kau harus berterima kasih padanya."

Alvin berdecak. Pria itu tertawa. Suara tertawa Alvin jika tidak ada lelucon sedikit pun akan terdengar sedikit menyeramkan. Alvin tersenyum remeh dengan kepala yang di-gelengkan. Berterima kasih pada orang lain? Itu hanya akan membuat Alvin merasa bahwa harga dirinya berkurang.

"Berterima kasih? Seharusnya dia yang berterima kasih kepadaku karena aku berhasil membuat hidupnya menjadi lebih cerah. Di luar sana dia hanya bekerja sebagai tukang pengangkut sampah untuk menggantikan pekerjaan almarhum ayah dan almarhumah ibunya. Di sini, kerjaan dia hanya tidur, makan, dan tertawa bersama umi. Di sini, ia juga tidur di kamar mewah. Sangat nikmat, bukan?"

"Untuk apa tinggal di rumah mewah jika di dalamnya terdapat pria kasar sepertimu?" celetuk Aarav.

Alvin keluar dari kamar Aarav. "Omelan-mu tidak penting, sama dengan omelan umi! Kupikir kau akan menenangkan-ku."

Alvin hendak masuk ke dalam kamat. Namun, tiba-tiba ia melihat Syifa yang baru saja menaiki anak tangga. Alvin tak menghiraukannya dan melengos masuk ke dalam kamarnya yang sudah rapi karena Syifa sudah membersihkannya. Pria tersebut meniduri kasurnya di sebelah kanan. Syifa masuk dan menutup pintu. Wanita itu masuk ke dalam kamar mandi untuk mengganti pakaiannya. Tak lama kemudian, Syifa keluar memakai piama yang dibelikan oleh Fatimah. Warnanya hitam, lengan panjang, dan celana panjang, Syifa sangat menyukainya.

Seperti biasa, rambut panjang Syifa selalu digerai karena Syifa tidak betah jika rambutnya diikat, kecuali jika memakai hijab. Syifa merebahkan tubuhnya dan meletakkan guling di tengah-tengah. Syifa menutupi tubuhnya menggunakan selimut seraya memejamkan matanya. Namun, matanya terbuka lagi ketika mendengar dengkuran halus yang terdengar dari samping.

Syifa melihat ke arahnya. Wanita itu melihat suaminya yang tertidur tanpa selimut dan bantal. Syifa mengambil bantal dan selimut yang letaknya ada di lemari, Syifa sempat melihatnya ketika ia membereskan baju Alvin. Setelah mengambil bantal dan selimut, Syifa sedikit mengangkat kepala Alvin dan meletakkan bantal itu tepat di bawah kepalanya. Lalu, Syifa menutupi tubuh Alvin menggunakan selimut yang sudah ia bawa.

Syifa kembali tidur di samping Alvin dengan guling dan sedikit jarak yang memisahkan mereka. Syifa kembali memejamkan matanya dan berusaha untuk tertidur.

...

Syifa mengucek matanya. Wanita itu memfokuskan matanya pada jam dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah lima kurang sepuluh menit. Seperti biasa, rutinitas Syifa yang dilakukan adalah membangunkan bayi besar yang ada di sampingnya.

"Alvin."

"Alvin, salat subuh, Alvin," ujar Syifa dengan suara yang sangat lembut.

"Eungh." Alvin sudah mulai terganggu dengan suara Syifa yang tengah membangunkannya. Pria itu merentangkan tangannya dan berbalik badan menghadap ke Syifa tanpa disadari olehnya.

Alvin nyaris memeluk Syifa. Namun, Syifa menjauh darinya. "Aaaa!" Syifa membulatkan matanya dengan mulut yang ditutup oleh tangan kanannya. Sungguh, Syifa refleks berteriak tadi. Ia tidak terbiasa dipeluk oleh pria.

Syifa beringsut dan berpindah tempat. Dengan kesabarannya, wanita itu terus membangunkan suaminya yang sangat lelap di tidurnya. Syifa membangunkan suaminya itu tanpa meninggikan nada suaranya. Suara lemah lembut itu memang sudah melekat sempurna pada jiwanya.

"Bagaimana cara umi membangunnya semasa dia kecil?" tanya Syifa bermonolog.

Surat Izin Mencintai (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang