Boleh minta tolong? Share cerita ini supaya makin banyak yang baca. Bantu vote juga, ya.
.
.
.
.
Happy Reading ❤️Alvin melirik ke arah Evrita. "Apa kau ada yang sakit? Maafkan Syifa. Aku tidak menyangka bahwa dia---"
"Dia hanya berpura-pura baik di depanmu saja," tukas Evrita mengompori Alvin.
Dua orang bodoh ini terus menjelek-jelekkan Syifa di belakang, mereka tak sadar bahwa mereka berdua jauh seribu kali jauh lebih busuk dari pada Syifa. Evrita mengarang cerita tentang perlakuan Syifa kepadanya sehingga membuat Alvin semakin kesal pada wanita bercadar itu. Namun, memang inilah rencana Evrita. Pertama, mempengaruhi pikiran Alvin. Kedua, membuat Alvin tidak memedulikan pendapat dari kedua orang tuanya tentang hubungan dirinya dan Evrita.
Evrita tidak ingin ada wanita lain selain dirinya di hati Alvin. Sampai saat ini, rasa cintanya lebih mendominasi terhadap uang Alvin. Ia berpacaran dengan pria ini karena harta, uang, harta lagi, dan uang lagi. Evrita tidak ingin meninggalkan Alvin selama-lamanya, terkecuali jika harta Alvin habis.
"Apa kau mencintai Syifa?" tanya Evrita.
Alvin terdiam sejenak. "Aku tidak pasti."
Evrita menarik kedua sudut bibirnya ke bawah. Jika Alvin sudah mengatakan seperti itu, itu artinya ada kemungkinan bahwa Alvin mulai menyukai wanita tersebut. Karena jika Alvin benar-benar tidak mencintai Syifa, maka Alvin akan langsung berkata tidak tanpa harus kebingungan seperti tadi.
Alvin bukanlah tipe pria yang akan berbohong hanya untuk menyenangkan hati kekasihnya. Alvin akan berkata tidak jika memang menurutnya tidak. Namun, tadi Alvin tidak berkata demikian itu artinya masih ada perasaan yang tidak bisa Alvin artikan saat ini. Tidak mudah bagi diri Alvin untuk memahami perasaan hatinya, apa lagi orang lain?
"Tenanglah, aku tidak menjawab iya atas pertanyaanmu," sambung Alvin diiringi dengan tawa kecilnya. Namun, tiba-tiba Alvin memegang sudut bibirnya karena jika ia tersenyum rasa nyeri di sudut bibirnya itu kembali.
"Tetapi itu artinya kau ragu bahwa kau tidak mencintai Syifa."
"Memang iya. Bayangkan saja, kita berdua selalu bersama di dalam sebuah kamar menciptakan sebuah kenangan untuk di masa depan. Sedangkan kita? Hanya sesekali bertemu. Lambat laun perasaanku padamu pasti akan pudar," sahut Alvin dengan wajahnya yang kelewat santai.
Ini adalah salah satu sikap Alvin tidak Evrita sukai. Alvin selalu melontarkan perkataan yang membuatnya takut akan kehilangannya di suatu saat nanti. Kehilangan Alvin itu rasa sakitnya bisa ditoleransi. Namun, kehilangan sumber isi dompetnya? Itu sebuah kiamat bagi Evrita!
"Apa kau telah melakukan---"
"Oh, tentu saja tidak. Aku tidak mencintainya, mana mungkin aku mau melakukannya," tukas Alvin.
Alvin sengaja memotong percakapan Evrita karena ia sudah tahu kelanjutan dari ucapan itu. Alvin tentu saja tidak akan mau menyentuh seorang wanita bercadar seperti Syifa sebelum ia benar-benar mencintainya. Terkadang, Alvin berpikir bagaimana jadinya jika suatu saat ia benar-benar mencintai Syifa. Menurut Alvin, tidak cocok sekali jika ilmu seorang wanita jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pria.
"Honey, bolehkah aku menginap di rumahmu?"
Alvin berpikir sejenak. Mengingat Fatimah dan Burhan yang sudah tidak peduli lagi dengan urusannya, Alvin menyahut, "Eum, boleh saja."
Evrita bersorak gembira. Di rumah Alvin jauh lebih menyenangkan dari pada apartemennya. Di apartemen, tidak ada pembantu yang bisa disuruh-suruh, sedangkan di rumah Alvin ada banyak pembantu yang selalu siap sedia untuk ia perintahkan.
....
Jam dinding menunjukkan pukul delapan malam. Syifa dan Fatimah tengah mengobrol di sebuah kamar yang sudah dirapikan agar Syifa bisa menempatkan kamar tersebut. Kamar di rumah ini memang tidak terlalu besar. Namun, sangat nyaman untuk ditempati. Syifa sangat beruntung karena mertuanya ini sangat baik hati.
Syifa dan Fatimah tengah duduk di atas ranjang setelah mereka makan malam dan mengerjakan salat isya. Tak jauh dan tidak bukan pasti topik pembicaraan kedua wanita itu adalah Alvin. Ya, siapa lagi jika bukan pria yang sudah membuat Syifa menangis ketakutan dengan hidung yang bercucuran cairan merah.
"Syifa, ceraikan saja Alvin. Umi benar-benar merasa bersalah jika kau diperlakukan seperti itu olehnya. Kau berhak mendapatkan suami yang lebih baik dari pada Alvin," saran Fatimah.
Syifa tersenyum tipis. "Akan Syifa pertimbangkan, Umi."
Fatimah tertegun dengan jawaban yang tidak ia duga sebelumnya. Ia membatin, 'Rugi sekali kau, Alvin! Kau akan menyesal telah menyia-nyiakannya.'
Satu-satunya alasan yang membuat Syifa ingin mempertimbangkan untuk menceraikan Alvin adalah, Fatimah sendiri. Syifa tahu bahwa wanita paruh baya tersebut sangat ingin jika Alvin bisa berubah. Syifa berharap semoga saja dirinya bisa merubah Alvin walaupun Syifa tahu tidak mudah untuk merubah karakter pria itu.
Fatimah menundukkan kepalanya. "Umi tidak tahu mengapa Alvin menikahimu jika dia masih mencintai Evrita. Apa karena umi terlalu memaksanya untuk segera menikah dengan wanita salihah?"
Syifa menggelengkan kepalanya dengan cepat karena ia tidak ingin jika Fatimah merasa bersalah. "Ti--tidak, Umi. Tidak usah dipikirkan."
Fatimah menganggukkan kepalanya. "Ya, sudah, kau istirahat saja. Umi keluar, ya."
Syifa menganggukkan kepala. Wanita paruh baya tersebut beranjak dari kasur dan keluar dari kamar Syifa. Fatimah menutup kembali pintu tersebut. Syifa melangkahkan kakinya menuju lemari untuk mengambil pakaian tidur dengan lengan panjang. Lalu, Syifa masuk ke dalam kamar mandi.
Kamar mandi di sini cukup luas. Di tengah-tengahnya terdapat kaca transparan untuk memisahkan antara kamar mandi kering dan kamar mandi basah. Di kamar mandi kering ditempatkan sebuah mesin cuci dan juga ember yang cukup besar untuk menyimpan baju kotor.
Setelah mengganti pakaiannya, Syifa meletakkan gamisnya di ember tersebut. Lalu, Syifa merebahkan tubuhnya di atas kasur. Wanita tersebut meraih ponselnya yang ada di meja nakas. Dengan lincah tangannya menekan sebuah nomor yang disimpan dengan nama Kakak Husain.
"Assalamualaikum?"
"Waalaikumsalam, Syifa. Apa kau belum tidur?" tanya Husain di seberang sana.
"Belum. Aku belum mengantuk, Kak."
Di sana, Husain memanggut-manggutkan kepalanya. "Kau sedang apa?"
"Aku sedang rebahan. Oh iya, hari ini aku tidur di rumah umi," ujar Syifa tanpa disadari.
"Umi? Umi yang mana, Syifa?"
Syifa membulatkan mata dengan tangan kiri yang menutup mulutnya. Bisa-bisanya ia mengatakan seperti itu kepada Husain. Sekarang, Syifa kebingungan apa yang harus ia katakan kepada sang kakak.
"Eum, tidak. Aku salah ucap."
"Apa kau sedang merindukan ibu?" tanya Husain.
"Ya. Tentu saja aku merindukannya."
"Kirimkan doa untuknya."
"Itu pasti akan selalu kulakukan," sahut Syifa.
Husain pamit kepada Syifa karena ia tidur sekarang agar esok hari tidak bangun terlambat. Syifa mematikan sambungan teleponnya dan meletakkan ponsel pintar miliknya di atas meja nakas. Tamparan dan bogeman mentah dari Alvin masih terbayang-bayang di benak Syifa seolah-olah kejadian itu berputar kembali di otaknya.
Rasa ketakutannya tadi masih terasa sampai sekarang. Syifa tidak tahu apa yang membuat Alvin sangat marah kepadanya. Syifa juga tidak tahu mengapa Evrita menyuruh dirinya untuk mendorongnya ke belakang. Bahkan tadi, Syifa sangat ragu dan hanya menyentuh bahu milik Evrita saja. Namun, hanya karena sentuhan lembut darinya tidak mungkin bisa membuat Evrita terjatuh, bukan? Terkecuali jika Evrita sendiri yang menjatuhkan dirinya sendiri.
_____
To be continued
Username Instagram: faresyia_
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat Izin Mencintai (END)
Romance[Mau buat Fafa seneng gak? Follow sebelum membaca dan follow akun Instagram Fafa. Username: refafa0401] 🚫DILARANG PLAGIAT🚫 Alvino Daniel Sandjaya tidak pernah tahu senekat apa keputusannya ini. Dia menyuruh beberapa body guardnya untuk menculik se...