SIM13

1.1K 165 3
                                    

Byur!

Alvin bangkit dari posisi rebahannya. Pria itu terduduk dengan perasaan kaget. Keringat yang mengucur di keningnya kini dihanyutkan oleh air tersebut. Alvin melihat keberadaan Syifa, Fatimah, Burhan, dan Aarav. Alvin melihat sang umi yang tengah memegang ember kosong.

"Muka-mu jelek sekali, Alvin! Hahaha." Aarav berkali-kali mengentakkan kakinya dengan menahan rasa nyeri di perutnya akibat ekspresi Alvin yang sangat menggelitik.

Sedangkan Syifa sedikit tertawa karena ia tidak ingin jika Alvin akan bertambah marah padanya. Fatimah menaruh ember itu di sampingnya. "Lihat, tadi istrimu terkejut ketika melihat-mu tertidur di sini. Mengapa kau gemar sekali membuat orang panik?"

Alvin melirik ke arah Syifa dengan tatapan sinisnya. Lagi dan lagi Fatimah mengomelinya. Ini sebuah penghinaan bagi Alvin, diomeli sang umi di depan wanita yang sangat Alvin harapkan agar dia juga sesekali dimarahi oleh sang umi. Namun, sepertinya itu tidak akan terjadi. Pasalnya, Syifa selalu dianggap benar oleh Fatimah.

Alvin berjalan menghampirinya dengan handuk yang ia bawa. Syifa memberikan memberikan handuk tersebut kepada suaminya. Alvin mengambil alih handuk itu dengan wajah yang datar.

"Mengapa kau menatap Syifa seperti itu?!" tanya Burhan dengan nada ketus.

Alvin segera mengubah ekspresi wajahnya. "Tidak. Aku hanya berpura-pura kesal saja."

Alvin bangkit dari duduknya dan merangkul bahu Syifa dengan bajunya yang masih basah kuyup. Fatimah membulatkan matanya dan menarik lengan Alvin agar menjauh dari menantunya. "Bajumu basah, jangan peluk Syifa! Umi takut jika menantu umi akan masuk angin!"

Alvin membelakkan matanya. Lalu, ia memonyongkan bibirnya. Lagi dan lagi Syifa yang diberi perhatian lebih oleh uminya. Pria itu melengos ke kamarnya untuk mengganti pakaian, setelah itu baru ia akan sarapan walaupun hari sudah mulai siang. Sekarang jarum jam dinding menunjuk pada angka sepuluh.

Alvin mengganti bajunya dengan jas. Kemudian Alvin menyantap hidangan makanan dengan wajahnya yang merengut sehingga membuat Fatimah dan Burhan kebingungan dibuatnya. Setelah sarapan, Alvin melangkahkan kakinya menuju garasi.

"Alvin, kau mau ke mana?" tanya Burhan.

Dengan wajahnya yang masih terlihat datar, Alvin menoleh ke wajah sang abi. "Kantor."

"Abi ikut!"

Burhan berpamitan kepada Fatimah. Begitupun dengan Alvin, Alvin berpamitan kepada Syifa karena Fatimah yang menyuruhnya. Setelah itu, kedua pria tersebut sudah tidak menampakkan batang hidungnya lagi. Fatimah berbincang dengan Syifa seakan-akan topik pembicaraannya tidak pernah habis.

"Alvin kelihatannya sedang marah, apa kau tengah bertengkar dengannya?" tanya Fatimah.

Syifa menganggukkan kepalanya. "Tadi Syifa membangunkannya dengan cara menyipratkan sedikit air pada wajahnya. Syifa mendapat ide itu saat Alvin menyarankan Syifa untuk melakukannya. Syifa tidak berpikir bahwa Alvin sedang mengigau. Akhirnya, Alvin marah pada Syifa."

Fatimah menyengir. "Tidak apa-apa, Syifa. Sejak Alvin masih remaja, umi sering sekali mengguyurnya agar dia cepat bangun," sahut Fatimah.

Namun, Fatimah tidak tahu bagaimana cara Alvin memarahi Syifa. Alvin sempat mengatakan bahwa Syifa bodoh. Sebenarnya itu adalah hal yang terdengar biasa saja bagi beberapa orang. Namun, hal itu tidak bagi Syifa. Syifa tidak terbiasa dilontarkan perkataan yang kasar. Cara orang tuanya mendidik Syifa tidak pernah memakai kekerasan ataupun kata-kata yang kotor.

Di sisi lain, seorang wanita tengah duduk di balkon kamarnya dengan rambut pendek dan ciri khas wajahnya yang sedikit menggambarkan bahwa ia bukanlah wanita baik-baik. Memang tidak baik. Dari raut wajahnya, sepertinya wanita itu tengah panik sekaligus marah. Sedari tadi ia terus mengacak-acak rambutnya seraya mengotak-atik ponsel pintarnya.

"Mengapa Alvin memblokir semua akun sosial media-ku? Apa dia telah mencintai istrinya sampai-sampai ia melupakan aku?"

"Tidak bisa dibiarkan! Aku tak ingin mengalah. Apa itu mengalah?" tanya Evrita bermonolog.

Wanita tersebut merapikan rambutnya. Setelah itu, ia keluar dari apartemen dan pergi menuju rumah Alvin. Ia menaik taksi untuk pergi ke rumah kekasihnya. Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih dua puluh menit, Evrita membuka pintu pagar rumah Alvin.

Pintu pagar di rumah ini memang tidak dijaga. Semua orang berhak masuk ke dalam halaman rumah. Namun, tidak sembarang orang bisa masuk ke dalam rumah karena ada banyak body guard yang menjaga di depan pintu dengan baris yang menyamping. Mereka semua tahu siapa saja orang yang boleh masuk ke dalam. Yaitu, Fatimah, Burhan, Syifa, Aarav, tak lupa dengan Evrita.

Evrita melewati para body guard yang tengah berdiri seperti patung, mereka tidak bergerak. Evrita menyerobot masuk ke dalam rumah. Tiba-tiba tatapannya jatuh kepada seorang wanita bercadar yang tengah duduk di sofa.

Rahang Evrita mengeras. Evrita mengenal wanita ini. Namun, sepertinya Syifa tidak mengenalinya. Dengan tangan yang dilipat di bawah dada dan tampang angkuhnya, Evrita bertanya, "Mana Alvin?"

Syifa mengangkat bokongnya dari sofa. "Kau siapa?" tanya Syifa.

"Aku? Aku kekasih Al---"

"Sedang mengobrol dengan siapa, Syifa?" tanya Fatimah yang baru saja datang menghampirinya.

Tatapan Fatimah jatuh pada seorang wanita yang sangat ia tidak sukai. "Mengapa kau datang ke sini?!"

'Sialan! Sedang apa wanita kolot ini ke mari?!' batin Evrita.

Evrita meredam emosinya. Namun, jika berdasar kemauan Evrita, Evrita ingin sekali menarik kerudung wanita paruh baya yang ada di hadapannya ini dan menjambak rambutnya. Tetapi, sayangnya ada CCTV yang terpasang di setiap sudut rumah. Jangan sampai CCTV di sini menangkapnya tengah berbuat kasar kepada seorang wanita yang pertama kali dicintai oleh Alvin.

"Aku ingin bertemu dengan kekasihku. Yaitu Alvin." Evrita tersenyum menyeringai.

"Kekasihmu? Hei, sadar! Alvin sudah mempunyai istri. Istrinya jauh lebih cantik dari kamu!" bentak Fatimah.

Evrita tersenyum meremehkan. "Oh ya? Yakin? Tetapi, mengapa anakmu yang bodoh itu tidak memutuskan hubungan ini?" 

Dengan sahutannya sontak membuat dada Fatimah naik turun. "Bima!"

Bima berlari menghampiri wanita paruh baya yang telah memanggil namanya. Ia berdiri di hadapan Fatimah. "Ada apa, Nyonya?"

"Mengapa dia bisa lolos dari kalian?!" tanya Fatimah.

Baru saja Bima hendak menjawab, tiba-tiba Evrita mengisyaratkannya untuk diam. Evrita tertawa geli. "Apa kau tidak tahu wahai, Wanita Kolot? Aku termasuk orang spesial bagi Alvin. Oleh karena itu Alvin menyuruh mereka agar bisa meloloskan-ku kapan pun jika aku datang ke mari."

Fatimah melirik Bima dengan tatapan elangnya. "Usir dia dari sini!"

Tanpa menyahut, Bima langsung menarik tangan Evrita dengan sangat kasar. Perintah Fatimah lebih dipatuhi dari pada Alvin. Karena Alvin pun sangat patuh pada wanita paruh baya itu, walaupun harus diancam terlebih dahulu. Bima terus menarik tangan Evrita sehingga membuat wanita tersebut memberontak dan berusaha untuk mengalahkan tenaga Bima.

"Hei, jangan seperti itu. Dia juga wanita," saran Syifa karena ia merasa kasihan terhadap Evrita. Namun, ujaran dari Syifa justru dihadiahi tatapan bengis dari Evrita.

Evrita mengalihkan pandangannya kepada wanita bercadar hitam tersebut. "Tidak usah sok peduli!"

Evrita membiarkan Bima agar pria itu menariknya keluar dari pekarangan rumah. Setelah itu, Bima mengunci pintu pagar agar Evrita tidak masuk ke dalam rumah ini lagi.

"Akan ku-laporkan kau pada Alvin! Keparat," ancam Evrita pada Bima.

Surat Izin Mencintai (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang