SIM 60

861 130 0
                                    

VOTE DULU, DI PART INI ADA KEJUTAN

_____

Alvin memejamkan matanya sebelum ia memeluk tubuh wanita itu. Namun, tanpa sadar ada pria lain yang bergegas menghalangi tubuh wanita itu sehingga membuat Alvin memeluk tubuh pria tersebut, bukan wanita yang tadi. Alvin merasa aneh. Tubuh yang ia peluk seperti lebih besar dari yang ia lihat. Alvin melepaskan pelukannya dan ia terlonjak kaget ketika melihat Gardan ada di hadapannya.

"Jangan peluk istriku," ujar Gardan dengan hati-hati.

Alvin menatap wanita yang tengah berdiri di belakang Gardan. "Ma--maaf, kukira kau Syi---"

"Aku tahu kau merindukannya, tetapi apa kau tahu? Syifa pernah berpesan, jika dirinya telah tiada suatu saat nanti, Syifa meminta agar tidak ada yang menangisinya secara berlebihan," tukas Anna.

Alvin termenung. "Aku ... tidak bisa."

Gardan memukul lengan Alvin perlahan dengan tangannya yang dikepal. "Kau pasti bisa! Beraktivitaslah seperti biasa."

Lama sudah Anna dan Gardan memberi semangat pada Alvin bahwasanya waktu terus berputar dengan cepat. Hari demi hari dilewati oleh Alvin. Berat? Pasti! Namun, lambat laun Alvin bisa mengikhlaskan pujaan hatinya melalui tekad dan izin Allah Swt. Alvin mulai beraktivitas seperti biasa walaupun hatinya masih terluka.

Enam bulan telah berlalu. Yap, perlahan-lahan senyuman Alvin bisa disunggingkan. Terlalu banyak menelan luka membuat Alvin mudah tertawa dengan lelucon konyol yang dilontarkan oleh Aarav. Aarav rela menjadi badut penghibur demi sahabatnya. Pasalnya, Alvin sempat mengurung diri di dalam kamarnya selama berhari-hari sampai pada akhirnya pintu kamar Alvin terpaksa didobrak.

Di pagi ini, Alvin tengah duduk di sofa yang letaknya ada di balkon kamar. Ia selalu teringat kepada Syifa jika tengah sendirian. Bibirnya tersenyum kecut. Sudah enam bulan dirinya hidup tanpa kehadiran Syifa. Hampa? Tentu saja. Namun, Alvin sadar bahwa Fatimah dan Burhan selalu mencemaskan keadaannya di saat dirinya terus berdiam diri. Di hadapan mereka semua, Alvin nampak ceria. Namun, di kala sendirian, air matanya terus bertitik.

"Bahagia itu apa?"

Tok! Tok! Tok!

Mendengar suara ketukan pintu sontak membuat Alvin mengangkat bokongnya dan membuka pintu kamar. Alvin menatap Bima yang tengah berdiri di depan pintu. "Maaf telah mengganggumu, Tuan. Aku hanya ingin menunjukkan sesuatu."

"Apa itu?" tanya Alvin.

"Mari ikut denganku, Tuan!"

Alvin menutup pintu kamarnya dan menguntit Bima dari belakang. Bima membawanya ke sebuah ruangan sempit yang hanya diletakkan meja dan kursi. Di atas meja itu ada sebuah layar. Bima mengotak-atik komputer tersebut dan mengulang rekaman CCTV yang semalam. Alvin menunggunya sampai Bima menyuruhnya untuk melihat apa yang akan ia tunjukkan. Bima memberhentikan rekaman CCTV sontak membuat Alvin membulatkan matanya.

Bima menunjuk seorang wanita yang tengah berjalan, dia tertangkap oleh kamera CCTV. "Tuan, apakah ini---"

"Syifa?!" tukas Alvin.

Seram menurut Bima. Namun, bagi Alvin tidak sama sekali. Alvin mengucek matanya berkali-kali. Lalu, ia melihat layar komputer itu lebih dekat lagi. Ia memfokuskan matanya kepada seorang wanita berkerudung hitam. Namun, anehnya tanpa cadar. Alvin sangat yakin bahwa itu adalah Syifa yang tengah berjalan melewati rumahnya. Kaki Alvin tiba-tiba melemas. Dengan susah payah Alvin menahan bobot tubuhnya agar tidak terjatuh.

"Apa Tuan yakin bahwa ini Syifa?" tanya Excel yang baru saja datang.

"Ya. Ini Syifa! Aku ingat betul wajahnya."

Bima dan Excel saling bertatapan. "Apa kau satu pemikiran denganku, Bima?" tanya Excel.

"Selamet membohongi kita?"

Excel mengangguk mengiyakan. "Dahulu aku sudah curiga padanya."

Rahang Alvin mengeras. Licik sekali pria itu menyembunyikan Syifa darinya. Namun, ini belum pasti. Belum pasti jika itu benar-benar Syifa karena wanita yang ada di layar komputer itu tidak mengenakkan cadar. Lagi pula, jaraknya cukup jauh sehingga wajahnya tidak nampak terlalu jelas. Namun, entah mengapa Alvin sangat yakin bahwa itu benar-benar istrinya.

Ketiga pria itu merancang rencana untuk pergi ke rumah Selamet. Mereka tidak boleh pergi beramai-ramai karena takut jika Selamet akan menyembunyikan Syifa kembali. Setelah menyusun rencana dengan sangat rapi, Alvin pergi dari rumah. Excel menyarankan untuk pergi ketika siang hari saja. Namun, Alvin menolaknya. Di dalam mobil terdapat Alvin, Bima, dan juga Excel saja.

Mereka sengaja hanya membawa satu mobil. Setelah sampai di tempat tujuan, mobilnya ditinggalkan dan mereka berjalan menuju gang kecil. Rumah Selamet cukup jauh dari sini. Selang beberapa menit kemudian, mereka mengintip rumah Selamey dari balik tembok. Pintunya terbuka dan ada suara orang yang tengah mengobrol di dalamnya. Suara wanita paruh baya.

"Kau pergilah ke sana, Tuan! Kami akan menyusul," titah Bima dengan suara yang sedikit lirih.

"Mengapa hanya aku saja?"

"Apa tidak akan mencurigakan jika kita beramai-ramai datang ke rumahnya dengan tujuan ingin berkunjung? Sedangkan di sini hanya Tuan saja yang termasuk satu keluarga dengan Syifa."

"Eum, baiklah. Jika aku melambaikan tangan di belakang, kalian hampiri aku!"

Bima dan Excel menganggukkan kepalanya. Alvin berjalan menuju rumah panggung tersebut.  Alvin sengaja menggontaikan langkahnya dengan kepala yang menolehkan ke belakang akibat rasa ragunya. Bima dan Excel mengode sang tuan muda agar ia terus berjalan agar tidak membuat siapa pun curiga padanya. Alvin menarik napasnya dalam-dalam dengan hati yang berharap semoga saja ada Syifa di dalam sana.

Alvin mengetuk pintunya. Namun, aneh. Ada suara orang yang mengobrol, tetapi tidak ada orang. Sepertinya suara itu dari belakang. Alvin tidak berani untuk pergi ke belakang sana akibat ada lumpur yang takut akan mengotori sandal belasan jutanya. Alvin mengetuk pintunya kembali. Kayu yang dijadikan sebagai lantai di rumah ini bergetar dengan suara injakan kaki dari dalam.

"Ya, ada apa?"

Seorang wanita yang datang menghampiri berhasil membuat mata Alvin berair. Mulut Alvin bergetar menatap wajahnya. Wanita berkerudung putih itu melambaikan tangannya tepat di wajah Alvin yang masih melongo di tempat.

"Ka--kau dari mana saja?" tanya Alvin dengan air mata yang menetes di detik ini juga.

Wanita itu mengerutkan keningnya. "Apa kita saling kenal?"

Alvin terbelalak mendengar pertanyaan itu. Syifa tidak mengenalnya? Apa ini karena wanita itu telah berbulan-bulan lamanya tidak bertemu dengan Alvin sehingga membuatnya lupa? Tidak mungkin. Tidak mungkin Syifa akan melupakan wajah Alvin. Di belakang sana, ada Bima dan Excel yang terperangah melihat wajah Syifa. Sangat cantik. Beruntung sekali Alvin kala itu bisa melihat wajah indah tersebut setiap harinya.

"Sayang, kau tidak mengenaliku? Aku Alvin, suamimu. Ak---"

"Maya, kau sedang mengobrol dengan siapa?" tanya seorang pria yang tengah berjalan menghampiri Syifa.

Tatapan pria itu bertemu dengan Alvin. Pria itu memasang raut wajah yang ketakutan. Alvin mengerutkan keningnya ketika Selamet memanggil Syifa dengan nama Maya. Siapa Maya? Dan, mengapa kali ini Syifa tidak mengenakan cadarnya? Alvin benar-benar dibuat kebingungan oleh semua ini.

______

TO BE CONTINUED
USERNAME INSTAGRAM: faresyia_

Surat Izin Mencintai (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang