41. Max Dalam Bahaya

305 61 21
                                    

Lula sampai menelan ludah mendegar kalimat sadis itu keluar dengan santainya dari mulut tante Dziwo. Bulu kuduknya berdiri, debar jantungnya semakin kecang.

'Apa dia seorang psikopat difilm-film?!' gumam Lula.

Sadis dan bersih. Seperti membunuh ayam dan langsung mencuci tangan sebersih mungkin sampai bau darahnya lenyap.

Telepon pun terputus, Lula berniat keluar dari ruangan itu selagi tante Dziwo masih memainkan ponselnya. Langkahnya sangat hati-hati agar tidak terdengar.

*Uhuk-uhuk*

Batuk yang tidak disengaja tante Dziwo membuatnya takut setengah mati. Lula langsung cepat-cepat keluar dari ruangan itu. Langkah nya dibuat besar-besar agar segera menjauh dari sarang singa.

"Abis dari mana?" ucap seorang yang sekarang di hadapan Lula.

"M-max. Kamu mau ngapain?"

"Harusnya saya yang tanya, kamu ngapain?"

"Habis dari toilet." santai Lula.

"Oh ya?"

Lula mengangguk. Ia berniat untuk melewati Max dan kembali ke ruang makan.

"Kamu baru pertama kali ke rumah ini. Gimana caranya kamu tau letak toilet tanpa bertanya kepada saya."

"Itu.."

"Apa tujuan kamu sebenarnya? Apa yang kamu inginkan dari keluarga saya?"

Max memojokan Lula sampai langkah Lula tidak bisa ke belakangan lagi, tubuhnya sudah terbentur dengan kaca rumah. Wajah mereka semakin dekat, mata mereka melekat. Lula jadi bisa melihat lebih rinci wajah Max, pun sebaliknya.

"Cepat beri ta.."

Ucapan Max terpotong karna kilatan petir. Lula yang mendengar suara keras itu pun spontan menengok ke belakang. Selagi Lula melihat ke arah luar, pandangan Max justru terhenti dengan tahi lalat yang ada di dagu Lula. Ia mengecilkan matanya, memastikan pandangannya tidak salah.

"Lula."

Lula kembali melihat Max, "Iya?"

"Hujan-hujan gini, enaknya makan apa?"

"Kita udah makan tadi, Max."

"Kalau belum?"

"Um .." Lula berpikir cukup lama, "Indomie?"

Max sontak terkejut dengan jawaban Lula. Tahi lalat yang ada didagu Lula sudah cukup membuatnya yakin bahwa ia pernah bertemu Lula sebelumnya. Rasa curiga Max semakin tinggi. Ia semakin ingin mendesak Lula.

"Itu sih kata orang." lanjut Lula.

Lagi-lagi perkiraan Max dipatahkan lagi. Lula seperti membuat Max percaya diri dengan firasatnya lalu dijatuhkan lagi ke dasar laut.

"Kalau kata aku, enaknya dipeluk." bisiknya dekat dengan telinga Max.

Lula langsung melewati Max untuk kembali ke ruang makan.

"Allulatte. Itu nama panggung kan?"

Langkah Lula terhenti, "Jawaban tidak maupun iya, tidak ada untungnya untuk kamu."

"Siapa nama aslimu?"

"Aku kurang suka bicara menyangkut privasi."

"Aku harus tau nama asli calon istriku."

"Jadi Max sudah setuju bertunangan denganku?!" senang Lula.

"Apa yang sedang kalian lakukan?"

Suara penuh intimidasi itu pun membuat adu mulut Max dan Lula terhenti. Lula terlihat panik namun Max terlihat santai saja. Ia bahkan tidak berbalik badan. Max tidak sudi melihat wajah ibu tirinya.

Thanks A Latte [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang