Dia adalah orang yang tidak akan pernah bisa kumenangkan hatinya seberapa keras pun aku mencobanya, seberapa lama pun aku menunggunya.
Rapsberry Latte
"Quin, kamu liat Lula dimana?"
Max terlihat cemas. Dia tidak berhenti menelpon Gadis dari tadi.
"Udah 30 menit kita pisah, tapi dia belum balik-balik."
Quin melihat jam tangannya, jarum sudah menunjukan hampir jam 10 malam. Mengingat percakapannya dengan Willy, mungkin Gadis memang sudah pulang sekarang.
"Kamu tau dia dimana?"
Quin menangguk. Ia sangat yakin Gadis sudah pulang ke Bali sekarang. Max lega dan tersenyum, setidaknya ia tidak kehilangan jejak Gadis sama sekali seperti dulu.
"Kemana dia sekarang?" Max antusias.
Berpikir Quin akan memberitau, justru ia sama sekali tidak ingin membiarkan Max tau. Jika ia memberitau keberadaan Gadis, Quin sudah bisa membayangkan kalau Max akan pergi meninggalkannya setelah ini.
"Aku gak mau kasih tau."
"Kenapa?"
"Untuk apa aku kasih tau hal yang akan nyakitin aku kedepannya?"
Max bingung, ia tidak mengerti apa mau Quin. Ia bilang tau dimana Gadis tapi enggan memberi jawaban. Tapi jika disisi Quin, ia tidak mau Max mengalami trauma yang sama disaat yang bersamaan dia tidak siap kehilangan Max.
"Enggak .." saura Quin bergetar, "Sampai kapan pun gak akan aku kasih tau." Air mata Quin pelan-pelan terjatuh tapi ia masih punya tenga untuk menahan sesak didadanya.
"Iya. Tapi kenapa?"
"Karna aku gak bisa terima rasa sakit melepaskan kamu untuk kedua kalinya! Aku gak mau!"
"Quin .."
"Maaf aku egois, Max."
"Tapi yang kamu lakukan hanya menunda perpisahan Quin. Jika kamu kuat bertahan pun, aku yang akan pergi."
Dada Quin seperti tertusuk mendengarnya. Kalimat singkat Max cukup menamparnya sangat keras. Air matanya kali ini bercampur dengan raut muka kecewanya. Max kembali mencoba menghubungi Gadis.
"Max .." Quin memeluk Max dari belakang, "Apa gak ada ruang untukku menggantikan Gadis atau kamu memang sengaja tidak memberikan ruang kepada siapapun?"
"Kamu udah tau soal Lula?" tanya Max mengalihkan topik.
"Jawab."
Max diam. Bukan karna ia tidak tau jawabannya, tapi ia bingung bagaimana harus bercakap. Max memang sudah terpikirkan akan membicarakan ini dengan Quin tapi ia perlu merangkai kata terlebih dahulu agar kalimatnya tidak terlalu menyakitkan hati Quin.
"Apa yang kurang dari aku sampai kamu ngerasa aku gak cukup untuk kamu?" ucap Quin
"Ini bukan soal apa yang kamu punya atau enggak."
"Terus apa Max?!" Quin sedikit marah.
"Kamu penting untuk aku. Cuma kamu yang temenin aku dititik rendah aku. Aku sayang kamu, Quin. Tapi aku gak bisa kasih rasa cinta itu ke kamu."
Max melepaskan pelukan Quin dan menatap Quin dengan dalam, lalu melanjutkan ucapannya.
"Teman yang bisa ada untukmu dengan pasangan yang akan selamanya bersamamu adalah kedua hal yang harus didapatkan dengan orang yang berbeda."
Setelah kalimat itu, waktu seperti terjeda beberapa detik. Tidak ada yang dari mereka yang berani bersuara. Max yang merasa sudah cukup untuk mengatakan kalimat yang menyakiti hati Quin dan Quin yang sedang puas mengeluarkan rasa sedihnya. Setelah berhenti menangis,
KAMU SEDANG MEMBACA
Thanks A Latte [END]
RomansaNamanya Allula Gladis, biasa dipanggil Gadis. Seorang barista paruh waktu yang sebetulnya menghabiskan seluruh hidupnya untuk cafe tempat ia bekerja. Suatu hari, cafe nya mendapat pelanggan sekelompok anak muda. Itulah awal dari bertemunya Gadis den...