7. Tentang Maxim Nathanael

1.3K 157 2
                                    

Jika saja dunia tidak memandang depresi sebagai lambang kurang bersyukur.
Mungkin saja dunia bisa sedikit memahami bagaimana seseorang bisa lebih menyukai kematiannya daripada kehidupannya.
Dan bisa saja banyak nyawa yang selamat dari bunuh diri.

- Rapsberry Latte

"Ayahmu?"

"Orang yang membunuh ibuku apakah masih pantas disebut seorang ayah?"

"Mungkin orang tua itu sudah membusuk di penjara." lanjutnya.

Max tidak tau harus merespon seperti apa lagi. Ia tidak nyaman dengan situasi seperti ini.

"Tidak lama ibuku meninggal, adikku sakit-sakitan dan memutuskan bunuh diri."

"Saat melihat mayat adikku, anehnya aku tidak bisa menangis sekencang bayi padahal aku tau hatiku hancur."

Max mengelus pundak gadis dengan lembut. Ia sudah kehabisan kalimat, bahkan kata pun tidak terbesit dikepalanya.

"Aku tidak punya keberanian untuk bunuh diri, tapi aku juga tidak ingin melanjuti hidup. Menjalani hidup yang hampa."

"Izinkan aku mengisinya!" seru Max.

Gadis membeku sejenak. Ia juga baru sadar dengan yang dikatakannya daritadi. Tidak biasanya ia bercerita banyak tentang masa lalunya. Sejauh ini hanya Dame orang yang ia percayakan.

"Diluar sana masih banyak anak yang memiliki latar belakang lebih gelap dariku. Jadi tidak perlu merasa ibah kepadaku." meyakinkan Max bahwa ia tidak perlu belas kasihan.

"Iya. Aku rasa semua orang diberi kelemahan dan kekuatannya masing-masing. Aku pun juga tidak begitu menyukai keluargaku, meskipun aku tidak pernah mendapat perlakuan buruk."

"Mau curhat ceritanya?" goda Gadis.

"Enggak."

Ia benar-benar tidak bisa membaca situasi. Padahal suatu kemajuan yang pesat Max bisa berbicara sepanjang itu dan sebentar lagi ia akan belajar bercerita, tapi Gadis justru mengacaukan semuanya.

"Sebelumnya kamu bilang orang tuamu dengan mereka dekat." mereka yang dimaksud tidak lain adalah Kelvin, Alex, Sam dan Nathan.

"Iya, lebih tepatnya Ayah kami pernah satu sekolah dan singkat cerita mereka sukses bangun bisnis."

"Kalau begitu, kenapa Ayahmu biarkan anaknya diperlakukan buruk?"

"Kelvin dan lainnya bersikap sangat baik dan sopan didepan Ayah dan tante."

"Tante?"

"Istri kedua ayahku. Ibu sudah meninggal sejak aku berusia tiga tahun kata Ayah."

"Ah itu sebabnya kepribadian dan penampilannya seperti orang kurang kasih sayang seperti ini." bisik Gadis dalam hati.

"Hubunganmu dengan 'si tante' itu baik?"

"Dia berusaha bersikap baik denganku. Tapi aku tidak suka cara dia menatapku, itu sebabnya aku selalu menunduk setiap didekatnya."

"Hei, kamu judge fisik ya!"

"Bukan begitu!"

"Terus apa?!"

"Cara dia melihatku, melihat ayah, melihatku saat tidak ada ayah berbeda. Semuanya berbeda."

Pintar bersandiwara. Itulah yang disimpulkan Gadis dari yang diceritakan Max. Tapi ia tidak suka memihak seseorang jika tidak melihat musuhnya secara langsung. Ia yang sepenuhnya memutuskan bagaimana orang itu dipandangannya, bukan dari cerita simpang siur.

"Jadi apa 'si tante' itu sudah punya anak?"

"Dia baru saja hamil 3 bulan."

Gadis mulai menyambungkan tali merah yang terputus-putus. Max tidak dirawat secara mental oleh ayahnya karna sibuk bekerja, sedangkan ibu tirinya dirumah tidak melakukan apapun. Ayahnya sangat menyayangi Max. Jika memang benar orang itu tidak baik seperti yang Max katakan. Wanita itu sudah lama membentuk mental Max yang seperti ini agar tidak cocok menjadi pemimpin perusahaan, dan terus bersikap baik kepada Max agar mendapat kepercayaan ayahnya. Artinya wanita itu ingin anak kandungnya yang mengambil alih perusahaan, bukan Max.







Rapsberry Latte mengambil alih :
Terima kasih sudah membaca, semoga bisa menjadi teman dihari-hari kalian yah 😉
Jangan lupa komen disetiap babnya hehehe.
Aku suka baca setiap komen kalian. Karna perjalanan seorang penulis adalah perjalanan seorang pembaca.

Thanks A Latte [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang