Suasana seketika menjadi hening dan canggung. Gadis yang tampak santai memainkan ponselnya, sedangkan Max yang lanjut melihat setiap sisi ruangan Gadis.
"Kamu bisa main gitar?" respon Max ketika mendapatkan sebuah gitar a disudut kamar.
"Enggak."
"Terus kenapa beli gitar?"
"Itu gitar adek ku yang udah meninggal."
"Oh sorry."
"Gak perlu minta maaf. Kalau udah meninggal yah meninggal aja."
"Boleh aku liat?"
"Hati-hati kesurupan." goda Gadis.
"Ih!"
Max pun beranjak dari tempat duduknya dan mengambil gitar itu. Ia melihat gitar itu seperti bukan hanya pajangan. Tidak ada debu dan senarnya pun tidak berkarat. Apa Gadis sering merawat gitar itu? Padahal kamarnya saja seperti kapal pecah, tidak disangka ia mampu menjaga barang serinci itu.
"Boleh aku mainin?"
"Terserah, tapi kalo kesurupan aku lempar ke lantai bawah ya."
"Aku ikutan meninggal juga dong?" Gadis tertawa melihat respon Max yang lucu.
Max pun duduk kembali ketempat duduknya. Ia mengambil posisi dan mulai mengatur senar. Seusai mengatur, ia mulai memainkan gitar itu. Alunan nada mulai meramaikan kembali kamar yang hening itu.
Ja..tuh -
Suara yang serak basah itu pun ikut meramaikan ruangan. Ketika Gadis mulai melantunkan sebuah lagu, Max pun tidak mau tertinggal dan mengikuti kemana arah Gadis akan bernyanyi.
- hatiku yang pertama .. sempat buat ku kecewa
Dan meragukan tuk jatuh cinta
Sementara .. ku akan terlepas dari hubungan asmara
Kubelum siap .. tuk terjatuh untuk kedua kalinya
Perempuan itu mengakhiri konser dadakannya dan menaruh handuk yang melingkar dilehernya. Max masih terus memainkan gitar.
"Wah, sudah lama sejak adikku meninggal aku tidak bernyanyi."
"Jadi sedikit rindu .." lanjutnya.
"Kalo gitu, ayo nyanyi lagi."
Sekilas terlukis lengkungan bibir dari wajah dingin perempuan itu. Tidak biasanya Gadis tersenyum diluar bar. Biasanya ia hanya mengeluarkan senyuman sinis atau senyuman lebar karna ada yang bisa ditertawakan. Mereka menyanyikan banyak lagu, aku bahkan lupa berapa lagu yang mereka nyanyikan. Kita anggap saja sepuluh sampai lima belas. Gadis seperti melepas puluhan ton rindu kepada adiknya yang sudah tidak bisa ia temui.
"Kenapa kamu masih main ama mereka?" Gadis membuka obrolan.
"Cuma mereka yang mau nerima aku. Aku bersyukur punya teman seperti mereka." jawab Max yang masih memetik gitar.
"Jangan rendah diri."
"Masih untung orang jahat sepertiku tidak hidup sendirian."
"Jahat?"
"Iya. Memangnya menurutmu aku tidak jahat?"
"Tunggu, darimana kamu bisa menyimpulkan seperti itu?"
Gadis merasa ada yang salah dari jalan berpikir Max. Pria itu mengucapkan dirinya orang jahat tidak seperti bercanda. Ia tampak serius tapi lain sisi terlihat begitu sedih.
"Kelvin pernah bilang, orang jahat itu dibenci banyak orang. Tidak ada yang mau berteman denganku, artinya aku termasuk orang jahat kan."
Benar saja dugaan Gadis. Memang banyak yang harus dia perbaiki dari isi kepala Max.
"Kamu bukan termasuk orang jahat, Max."
"Kenapa?"
"Kalau kita benarkan orang jahat itu adalah yang dibenci banyak orang. Para pemabuk dan perokok sepertiku juga orang jahat?"
"Tidak."
"Dimata dunia, orang-orang sepertiku dipandang buruk."
"Tapi kamu bersikap baik padaku."
*tuk*
Gadis menyentil kening Max.
"Artinya jahat buruk seseorang dinilai dari sifat dan bagaimana ia bersikap."
Mata mereka bertemu satu sama lain cukup lama. Kata banyak orang, jika kita bertatapan lebih dari sepuluh detik artinya kamu akan jatuh cinta dengan orang tersebut. Menurutmu siapa duluan yang akan jatuh cinta? Gadis atau Max?
"Kamu suka sama Kelvin?"
"Kalo iya, kamu mau rebut aku dari dia?"
"Enggak."
"Kamu cemburu?"
"Iya."
Gadis sempat tidak bisa menyembunyikan ekspresi bingungnya. Pria lugu ini seketika membuat seorang Gadis terdiam.
"Ke-kenapa?" Gadis mengatur ekspresinya kembali
"Kamu hangat dan selalu tersenyum ketika bicara denga Kelvin. Sedangkan jika sudah bersamaku, kamu langsung menjadi dingin. Bahkan tersenyum pun jarang. Semenyebalkan itu yah aku?"
Bagaimana cara Gadis menjelaskannya yah? Max orang yang lugu dan menelan mentah-mentah omongan siapapun. Gadis harus mengolah kata yang benar agar ia tidak salah paham.
"Itu karena kebetulan Kelvin bicara denganku saat sedang bekerja."
"Oh begitu, aku paham!" raut mukanya kembali gembira.
"Nah."
"Kalau gitu aku harus menemuimu saat jam kerja juga."
*tuk*
Gadis menyentil Max lagi. Tapi bukan dikening, kali ini dipipinya.
Walaupun bukan begitu kesimpulan yang dimaksud Gadis, tapi ia sudah tidak sanggup lagi menjelaskan hal semacam itu kepada Max. Gadis tidak menjawab 'iya' ataupun 'tidak', ia hanya bisa tersenyum. Dan aku rasa semenjak bersama Max, ia sering banyak tersenyum diluar jam kerjanya. Mungkin lebih banyak daripada ia berada didalam bar.
"Kamu di Jakarta merantau?" mengganti topik.
"Hm, mungkin."
"Kenapa mungkin?"
"Dibilang tidak, aku sendirian dikota ini. Dibilang iya, aku tidak punya tempat asal."
"Rumah orang tua mu?"
"Aku tidak tau ibuku berasal darimana, yang kutau kami tinggal di Jakarta dari dulu."
"Sekarang?"
"Sekarang ia sudah meninggal."
Rapsberry Latte mengambil alih :
Terima kasih sudah membaca, semoga bisa menjadi teman dihari-hari kalian yah 😉
Jangan lupa komen disetiap babnya hehehe.
Aku suka baca setiap komen kalian. Karna perjalanan seorang penulis adalah perjalanan seorang pembaca.
KAMU SEDANG MEMBACA
Thanks A Latte [END]
RomansaNamanya Allula Gladis, biasa dipanggil Gadis. Seorang barista paruh waktu yang sebetulnya menghabiskan seluruh hidupnya untuk cafe tempat ia bekerja. Suatu hari, cafe nya mendapat pelanggan sekelompok anak muda. Itulah awal dari bertemunya Gadis den...