*Dorr!*
Seekor kucing lari tebirit-birit dari bawa pohon yang tante Dziwo tembak.
'Hanya kucing. Aku mungkin terlalu mencurigai perempuan itu.' gumamnya dalam hati.
Tante Dziwo pun melanjutkan pembicaraanya dengan pria tersebut. Sementara jika kita lihat di sisi Lula, ia tengah sibuk berlari menuju mobil. Ia menggunakan seluruh tenaga menahan rasa sakitnya untuk berlari tanpa memakai sepatu. Lula sudah menebak kalau sepatunya akan kotor jika ia memakainya untuk berjalan di padang rumput tersebut. Tante Dziwo sangat memperhatikan hal-hal kecil, dan sepatu kotor bisa saja itu menjadi kesalahan yang fatal.
"Akhirnya sampai. Aku tidak akan melakukan hal seektrim itu lagi."
Lula membersihkan kakinya yang lembab kotor secepat mungkin. Ketika ia baru selesai mengelap tubuhnya yang penuh keringat itu tante Dziwo sudah telihat dari pandangan Lula.
"Sial! Mukaku masih kelihatan basah." kesal Lula.
Lula berpikir sejenak untuk mencari cara yang paling efektif. Ia langsung terpikir untuk mengambil setting spray dan menyemprotkan cairan itu ke wajahnya. Keringat dan cairan itu pun bercampur.
Pintu mobil dibuka oleh tante Dziwo, "Wajahmu basah sekali."
"Oh ini." Lula mengangkat botol setting spraynya. "Sambil menunggumu, saya pakai make up tipis-tipis. Baru saja pakai setting spray."
"Untuk apa?" tante Dziwo curiga.
"Masa saya tidak cantik diundang makan malam dengan keluarga Max." Lula tersenyum.
Keraguan tante Dziwo pun luntur. Hanya perasaanya saja bahwa Lula itu jahat.
"Padahal, tanpa riasan pun kamu sudah cantik."
"Suatu kebanggan bisa dikatakan seperti itu." Lula tersenyum.
Mereka pun berangkat ke rumah Max untuk makan malam. Tante Dziwo pun bersikap seperti biasa lagi. Ia tidak semenyeramkan tadi ketika mencurigai Lula. Bagi tante Dziwo, Lula sudah ia anggap sebagai anaknya sendiri. Ia akan bersikap baik selama Lula tidak berkhianat padanya.
'Max sedang dalam bahaya.'
'Apa yang harus aku lakukan dalam hal seperti ini?'
'Menjaganya agar tidak terperangkap? Atau langsung saja bicara kepada Max?'
'Kenapa aku harus serepot ini?'
'Menyebalkan.'
• • •
Sesampainya mereka di rumah, Lula langsung dihadapkan dengan pemandangan yang kurang ia sukai. Max yang sedang menonton televisi serta adik tiri Max yang sedang asik bermain dengan Quin.
"Ha-halo." sapa Quin tidak enak.
"Lula?" Max sedikit terkejut.
Maxwell yang masih belum akrab dengan Lula langsung berlindung di belakang Quin.
'Kenapa dia datang ke rumah?'
Quin belum diberi tau soal pertunangannya dengan Max akan dibatalkan. Max belum memberi keputusan dan ia juga tidak mau menyakiti hati Quin lagi. Sudah cukup Quin hancur ketika Max memutuskan memilih Gadis di Iceland.
"Kamu, mau apa?" tanya Quin.
"Dia akan makan malam bersama, Quin." jawab tante Dziwo.
"Oh.. begitu."
Mata Quin tampak kecewa. Ia merangkul Maxwell dan membawanya kesebelah Max.
"Aku pulang dulu ya.."
KAMU SEDANG MEMBACA
Thanks A Latte [END]
RomanceNamanya Allula Gladis, biasa dipanggil Gadis. Seorang barista paruh waktu yang sebetulnya menghabiskan seluruh hidupnya untuk cafe tempat ia bekerja. Suatu hari, cafe nya mendapat pelanggan sekelompok anak muda. Itulah awal dari bertemunya Gadis den...