46. Pembalasan

359 57 8
                                    

Selama kita hidup di dunia, semua kemungkinan bisa terjadi.
Termasuk yang jahat akan terbalaskan dan yang baik akan dimenangkan.
Semua ada waktunya.

Rapsberry Latte.

"Apa yang kalian bertiga lakukan di sini?!" tante Dziwo senyum kesal.

Om Marx melihat tante Dziwo dengan raut muka marah bercampur kecewa. Tidak ada yang merespon pertanyaan dia. Karena kesal tante Dziwo berniat menghampiri teman yang dipercayanya itu. Namun Max sigap memasang badan, berdiri tepat di depan Gadis.

Tante Dziwo memberhentikan langkahnya, "Apa yang sudah kamu katakan?!"

Namun Gadis tersenyum sinis, "Saya tidak mengatakan apapun."

"Sayang, kamu jangan percaya dengan wanita ini. Dia pintar bersandiwara." ucap tante Dziwo kepada om Marx.

"Benar! Sampai-sampai anda tidak mengira bahwa saya adalah Gadis." Gadis tersenyum polos.

Tante Dziwo terkejut dengan pengakuan tersebut. Memang wajah Lula jelas berbeda dengan Gadis, namun orang-orang yang mengenal Gadis dengan baik pasti akan menyadari sifat Lula mirip sekali dengan Gadis. Karna tante Dziwo tidak akrab dengan Gadis di masa lalu, jadi ia tidak menyadari bahwa Lula adalah orang yang ingin dia lenyapkan dahulu.

"Apa saya sudah bisa jadi mantu yang diinginkan?"

"Apa tujuan kamu kesini untuk merusak rumah tangga orang?" nyinyir tante Dziwo, ia masih tidak sadar kalau semua sudah tau kebusukannya.

"Hm .." Gadis pura-pura berpikir, "Awalnya aku hanya ingin balikan dengan Max dan diterima baik oleh calon mertua kesanganku, tapi yang kudapat justru rahasia-rahasianya."

"Kamu ..."

"Cukup." om Marx memotong.

"Sayang?"

"Kamu yang harusnya berhenti untuk bersandiwara!"

"Aku gak paham maksud kamu." tante Dziwo pura-pura tidak mengerti.

Om Marx menyetel kembali rekaman suara,

"Kenapa dia tidak mati dengan gelas wine yang sudah aku racuni?! Apa pelayanan itu menggantinya?!"

"Padahal waktu itu saya berhasil membunuh ibu kandungnya dengan cara ini!"

Rekaman dimatikan, "Masih gak paham?" tegas om Marx.

Tante Dziwo menutup mukanya dengan tangan kirinya, ia menunduk tampak kebingungan. Om Marx tanpa basa-basi lagipun menelpon polisi untuk mengamankan istrinya. Baru saja telepon tersambung suara tawa kejam keluar dari mulut wanita itu.

"Matikan telponnya." tante Dziwo dengan sisah tawa.

"Matikan telponnya atau ku tembak anak ini?!"

Tante Dziwo tanpa ragu menodong pistol ke kepala anaknya sendiri. Om Marx pun terpaksa menuruti perintah wanita gila tersebut. Gadis melihat dengan mata kepalanya sendiri mata Maxwell. Meskipun bibirnya terbungkam tapi ia bisa mendengar betapa keras jeritan tangisnya. Ia teringat masa kecilnya yang penuh dengan kekejaman ayahnya.

"Itu anak kandungmu." ucap Gadis.

"Aku melahirkannya agar suatu saat perusahaan ini bisa jatuh ke tangan anakku sendiri."

"Semua ini karna kamu! Karena semuanya gagal anak ini jadi tidak berguna lagi!" lanjutnya.

Gadis tertawa kecil, "Kalau bukan sosok ayah yang brengsek, maka ibunya yang gila."

Thanks A Latte [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang