33. Putus atau Terus

437 60 3
                                    

Cerita kita seperti film yang terus kuputar ulang di pikiranku.
Tidak tau berhenti sampai kapan,
mungkin saat otakku sudah tidak berfungsi lagi.

- Rapsberry Latte

Jam empat dini hari, Max pun bangun dari tidurnya. Ia menyuruh Eden untuk kembali ke kamar untuk beristirahat. Setelah ia mengumpulkan nyawanya yang tersisa di lampu-lampu kamar yang mewah, ia pun membangunkan Gadis.

"Dis .. bangun, waktunya doa."

Max menarik tangannya yang di borgol agar tangan Gadis pun ikut tertarik. Ia ingat yang tertulis di surat perjanjian bahwa ia tidak diperbolehkan menyentuh Gadis saat tidur. Alih-alih bangun, Gadis justru menarik kembali tangannya, bahkan Gadis mengganti posisinya yang telentang menjadi miring ke samping.

Max yang masih lemas, ikut terbawa Gadis. Kedua tangan dan kepalanya melewati badan Gadis, sementara kakinya berusaha berlutut tegap untuk tidak menyentuh tubuh Gadis. Wajah mereka hanya sejauh satu jari kelingking.

Cukup lama Max menikmati pemandangan indah itu. Ia melihat secara rinci setiap hal-hal kecil yang ada di wajahnya. Alis yang cukup tebal tanpa di lukis, bulu mata lentik, bibir mungil warna merah muda dan tahi lalat yang tersembunyi di dagunya. Max merasa semakin tau banyak hal unik pacarnya.

"Ma .. MAX?!" terkejut Gadis.

Ia spontan menjauhkan Max dengan kedua tangannya. Keseimbangan Max pun runtuh dan terdorong ke belakang. Tangan Gadis yang masih terbogol ikut terbawa arah tubuh Max. Sekarang justru wajahnya yang berada di atas wajah Max.

"Ayo doa." ajak Max.

"Kamu ngapain tadi?! Kalau Tuhan liat gimana?"

"Aku cuma mau bangunin buat doa kok .." lugu Max.

"A-ayo cepat!" malu Gadis.

"Kenapa?"

"Nanti kalau telat, Tuhan pergi." Gadis mencari alasan.

Max tertawa kecil mendengar kalimat itu. Mana mungkin Tuhan pergi? Ia dekat dan lekat dengan diri kita. Bahkan Ia hanya sejauh doa.

"Aku harus doa apa nanti?" tanya Gadis.

"Um.. masalah yang sedang kamu hadapi?"

"Hidupku begini-begini aja Max."

"Yang sedang kamu butuhkan?"

"Gak ada."

"Yang kamu inginkan?"

"Kamu." singkat Gadis.

Max sempat terdiam dan senyum tipis, "Kalau gitu, berterima kasihlah karna sudah mendapatkan aku."

Setelah menggosok gigi, mereka pun duduk berhadapan di sofa. Mereka mulai menaikan lagu pujian dengan iringan gitar yang dimainkan Max, berdoa dalam hati masing-masing sehingga suaranya hanya Tuhan yang dapat mendengar dan membaca beberapa ayat kitab.

Berdoa, melihat sunrise, beraktivitas, tidur. Begitulah hari-hari yang Gadis lalui seminggu ini. Pola makan dan jam tidur yang tadinya tidak teratur, sekarang sudah layaknya manusia normal.

Gadis meyakinkan Max bahwa ia sudah tenang dan aman. Sesuai dengan yang tertulis di surat perjanjian, Max pun melepas borgol. Akhirnya mereka berdua bisa makan bersama dengan om Marx dan ibu tirinya.

"Syukurlah kamu akhirnya sudah membaik." om Marx buka suara setelah menghabiskan makanan nya.

"Apa orang tuamu gak mencari anak perempuannya?" tante Dziwo juga ikut bicara agar terlihat membaur.

Thanks A Latte [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang