32. Janji yang Tak Berani Diingkari

436 57 0
                                    

Max melihat mata Gadis penuh dengan ketakutan, padahal sebelumnya sorot mata Gadis tampak mati rasa. Max langsung menepis tarikan tangan Kelvin dan langsung memeluk Gadis dengan erat. Gadis kembali memeluknya bahkan jauh lebih erat dari pelukan yang pernah ada. Badannya bergetar hebat dan air matanya berderas sangat kencang. Emosi yang tidak bisa dikeluarkan akhirnya lumpuh ketika melihat Max.

"Aku takut .."

Max tidak menjawab, ia memeluk dan mengusap rambut Gadis. Baginya, tindakan itu akan lebih menenangkan seseorang daripada kata-kata.

"Sedetik pun, aku gak akan biarin kamu sendirian lagi." ucap Max dengan dada sesak, "Aku nyesel." kesalnya.

Gadis masih terus menangis terisak dan tidak berhenti melepas pelukannya. Setelah lama berada di pelukan Max, ia akhirnya tertidur. Max membaringkannya di tempat tidur.

Setelah itu Max menghampiri Kelvin dan Eden dan langsung disambut oleh dua pukul Kelvin tepat di wajahnya.

"Pukulan pertama karena lo gak ada saat dia butuh. Pukulan kedua rasa kesal gua ternyata masih tetep lo yang dia butuh."

Kelvin dan Eden memperhatikan penampilan Max dari atas sampai bawah.

"Jadi lo ngilang karna abis main masak-masakan?" respon Kelvin melihat Max menggunakan baju kepala koki.

"Bu-Bukan!" Max mengelak.

Percaya dengan kesimpulannya sendiri, Kelvin hendak memukul Max lagi namun tertahan oleh Eden.

"Coba dipake lagi otaknya, bukan otot." Eden membalikan omongan Kelvin yang sebelumnya.

Kelvin pun mengurungkan niatnya untuk memukul Max. Setelah kepala Kelvin mendingin, Max akhirnya bercerita apa yang menimpa nya selama ia tidak bersama Gadis. Mendengar penjelasan Max, emosinya Kelvin meredam.  Tapi tetap saja ia masih kesal.

"Kata dokter, besok Gadis udah bisa pulang. Biar gua anter aja ke rumahnya." ucap Kelvin.

"Gak usah, Gadis menginap di rumah aku."

"Lo udah gila?! Lo mau masukin Gadis ke rumah pembunuhnya?!" darah Kelvin naik lagi.

"Justru karna itu aku bisa mengawasi 24 jam pembunuhnya, Vin." jelas Max.

"Oh ya?! Emangnya lo gak akan tidur?! Resikonya gede!"

Setelah perdebatan yang panjang, akhirnya mereka sepakat untuk membiarkan Gadis tinggal di rumah Max dalam kurun waktu tertentu. Memang benar, Gadis akan lebih aman jika berada di rumah Max karna ibu tirinya tidak sedikit berhati-hati dalam bertindak. Tapi jika lengah sedikit saja, itu akan menjadi mimpi buruk yang panjang. Ini adalah strategi yang memiliki resiko besar.

• • •

Keesokan paginya, om Marx dan tante Dziwo sedang bersiap untuk pergi. Ketika mereka ingin keluar dari pintu utama, ia bertemu dengan Max yang membawa Gadis dengan kursi roda.

"Gadis, kamu kenapa?" om Marx terkejut.

"Gak apa pa. Dokter bilang ia hanya shock melihat kejadian semalam." Max menatap tajam ke ibu tirinya.

Tante Dziwo sempat terkejut melihat kenyataan bahwa Gadis masih hidup.

"Maaf yah Gadis, harusnya om lebih banyak lagi menyewa penjaga. Biasanya tidak pernah begini." sesal om Marx. Gadis hanya bisa tersenyum.

"Polisi udah menangkap 'para penjahatnya'. Mereka gak akan 'mengganggu Gadis' dan kita lagi." Max memberi penekanan beberapa kata untuk menjadi kode ke ibu tirinya.

Tante Dziwo tanpak tenang. Ia bena-benar aktor yang handal bermain ekspresi. Ia justru telihat simpati dengan keadaan Gadis.

"Dokter juga bilang Gadis butuh pengawasan agar 'traumanya' hilang."

Thanks A Latte [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang