45. Seni Bunuh Diri

102 28 21
                                    

Tidak ada kata cahaya tanpa adanya kegelapan, mereka berdua sebenarnya saling melengkapi. Kecuali definisi saling menghancurkan itu dihilangkan. Kau tidak akan mengerti.

-Leonick Agnelo-


-Leonick Agnelo-

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Sepeninggal Zayan pergi—mungkin sekitar satu jam lebih lima belas menit—kapal selam yang meraka tumpangi mendadak naik ke permukaan. Membuat Leon dan Gio segara bangun dan saling melempar pandang.

“Apa kita sudah sampai?”

Leon menjawab dengan gelengan. Ia segera menghampiri komputernya untuk mengecek di mana posisi mereka sekarang.

“Benar, kita naik jauh dari titik yang ditentukan. Mungkin kita di serang dari dalam dan luar.” Ia pikir ayahnya menepati janji dengan memberi perlindungan penuh, tapi apa ini?

Ck! Bahkan sampai akhir Albert adalah sosok ayah yang tidak berguna di mata Leon. “Kau ada dengar suara tembakan tidak? Siapa tahu Zay dalam bahaya yang serius.”

Gio memutar mata. “Memangnya sejak kapan kita mengalami bahaya yang tidak serius dan juga … di mana wanita itu?” Lelaki berambut biru malam itu meraih jaketnya untuk dikenakan.

Leon menarik knop pintu kamar. “Ibu Halona?”

Berdecak nyaring, Gio mengikuti langkah kaki temannya itu. “Bukan, sialan! Bukan jalang itu tapi pacarmu!” sanggahnya kesal.

Sempat-sempatnya Leon malah memamerkan senyuman. “Kau sudah tidak perjak—”

Kalimat Leon tidak sempat selesai di kala kapal selam yang lorongnya tengah mereka telusuri sekarang tiba-tiba mengeluarkan suara gemuruh dan goyang ke sana kemari.

Bloody hell! Apa lagi ini?” marah Gio mengikuti gerakan Leon, bertahan pada salah satu besi yang merentang panjang. Kapal selam ini keseluruhan memiliki warna gelap yang terkesan suram, bukannya elegan.

Leon mendongak. “Kita sudah ada di permukaan,” tukasnya melangkah perlahan-lahan. Entah mengapa instingnya mengatakan bahwa ke depan tidak akan baik-baik saja. Mereka seperti didatangi oleh sesuatu yang lebih gelap dan lebih berbahaya dari pada sebelum-sebelumnya.

Baru saja berpikir seperti itu, Leon dan Gio yang hampir mencapai titik pintu ke luar malah kejatuhan seonggok mayat yang tidak ada satu bagian pun tanpa darah pada tubuhnya.

Semua merah dan cair seperti dia habis mandi darah atau dilaloso cat merah. Bahkan sebagian wajah Gio dan separuh baju Leon ikut menjadi cetakan sempurna dari mayat tadi—penuh darah.

“Sial, bau amis!” Gio menggosok wajahnya dengan cepat.

Leon sempat tertegun dengan mayat tadi. Meski wajahnya berlumur darah, ia bisa mengenali orang itu. Dia adalah tangan kanan Jason. Apakah Jason juga mengkhianatinya? Atau mungkin saja Jason juga sudah mati … wah, semudah itu. Siapa pembuat keonaran ini?

HIDDEN || Mental GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang