24. Hati

361 46 9
                                    

Keberadaanmu sebagai cahaya yang menghancurkanku sangatlah kejam dan … nikmat. Silahkan sakiti aku lebih banyak.

-Ardelle Chastine Garneta-






Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.








Puluhan pasang mata disepanjang koridor mengamati langkah Leon, Gio, dan Zayan. Ada yang secara sembunyi-sebunyi ada juga yang memandangi mereka secara terang-terangan. Karena otak sendiri biasanya memiliki kebiasaan mengirim sinyal ketika mata menangkap objek tertentu maka otomatis mulut akan bergerak, jika itu juga kebiasaan di luar kesadaranmu.

Dari gosip yang berbisik-bisik, sampai dengan sindiran keras. Baik Gio maupun Zayan lelah sendiri menghadapinya, padahal ini masih pagi. Berbeda dengan SMA Angkasa Victory yang memiliki sistem terpisah antara kelas sepuluh sampai kelas dua belas, tentu sekolah ini lebih kecil, membuat makhluk-makhluk antar kelas memiliki satu ruang lingkup yang sama.

Tidak sama dengan Gio dan Zayan, Leon malah terlihat tetap ceria seolah tubuhnya memancarkan aura positif yang meledak-ledak, laki-laki beriris hijau itu bahkan bersenandung kecil sepanjang kaki jenjangnya melangkah.

“Kau menikmatinya, ya? Bajingan tengik,” tajam Gio setelah akhirnya bisa duduk tenang di bawah pohon rindang belakang perpustakaan. Tempat ini seperti markas mereka sekarang.

“Haha, mudah sekali menyebar rumor di sini, ruang lingkupnya kecil sih,” sombong Leon yang secara tidak langsung membandingkan sekolah ini dengan SMA Angkasa Victory yang luar biasa itu.

“Aku rasanya jadi ikut terkenal,” timpal Zayan yang sudah mengambil posisi berbaring di rerumputan.

Gio menelengkan kepala, menghadap ke arah Leon. “Jadi kau ingin membuat Haina membenci sahabatnya? Memangnya itu bisa menjadi alasan seseorang untuk membunuh orang lain? Ku dengar mereka bersahabat dari taman kanak-kanak.”

Leon sedikit meringis. “Kau meragukan deduksi superku ini?”

Wajah Gio langsung berubah datar. “Aku minta penjelasanmu, sialan,” umpatnya kasar. Membuat Leon tergelak diikuti oleh suara tawa Zayan di samping.

Mata hijaunya tampak berkilat, Leon membuat posisi duduk jadi senyaman mungkin. Kaki dilipat dengan kedua tangan di belakang sebagai tumpuan. Ia memandang ke arah langit biru. “Orang sinting itu ingin bermain denganku, jadi aku harus menampilkan panggung paling spektakuler di luar ekspetasinya.”

Zayan segera menyenggol lengan Gio dan berbisik sangat pelan, “Orang sinting yang dia sebut itu … yang menjebak kita di sini, ya? Bos level akhir.”

Walaupun terlihat malas bahkan untuk bernafas, Gio berusaha keras untuk menganggukkan kepalanya dari pada Zayan ribut bertanya hal yang sudah pasti jawabannya.

HIDDEN || Mental GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang