10. Game, Start!

547 111 41
                                    

Dari balik jeruji, Kuimpikan dunia di luar sana. Tanpa prasangka, Tiada perkara. Dengan angan menjulang tinggi ke angkasa, Dihempas kembali oleh logika, Imajinasiku terbunuh fakta.

-Ardelle Chastine Garneta-


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


“Kenapa kau menipuku?” tajam Leon. Meski demikian, jari-jemarinya tidak berhenti bergerak untuk membuka borgol-borgol tersebut.

Memegangi tangan bekas borgolan, Gio berdehem pelan. “Tidak ada pilihan,” sahutnya dingin. Mengorbankan Chastine lebih masuk di akal dari pada mengorbankan teman atau dirinya sendiri. Chastine adalah monster. Ia sangat berbahaya.

“Bagaimana dengan penawarnya? Apa lidahmu masih  mati rasa?”

Bukannya menjawab, Chastine malah menggerakan tangannya dengan pola-pola yang tidak Leon pahami.

“Itu bahasa isyarat,” sambar Zayan. “Chastine bilang … dia tidak pandai bicara.” Menilingkan kepala, Zayan meringis pelan. “Leon, bagaimanapun … gadis ini terlalu cantik untuk jadi Chastine. Sulit dipercaya.” ungkap lelaki itu. Sangat tidak sopan. Bagaimana jika Chastine tersinggung? Ia bisa tamat detik itu juga.

“Aku pun tidak.” Namun, Leon malah setuju. Membuat Chastine harus meredam amarahnya. Sesungguhnya yang Chastine harapkan sekarang adalah sebuah pujian dari Leon, mengenai penampilan barunya.

"Ngomong-ngomong ... kau bisa bahasa isyarat?"

Zayan sempat diam beberapa detik. "Adikku bisu," jawabnya seperti menyimpan seratus ton beban. Suasana menjadi canggung gara-gara itu.

Gio berdehem nyaring. “Menurutmu ini di mana?” lelaki itu baru saja mengitari sekitar, tapi kembali dengan tidak membawa kesimpulan apa-apa.

“Hmm ….” Leon beranjak. Menghapus bersih area ruangan dengan retra hijaunya. Setelah sekitar lima menit dalam keheningan, Leon mengangguuk-ngangguk paham. “Kita adalah tim,” simpulnya singkat, padat dan tidak jelas.

“Oi. “ Zayan memasang wajah flat. “Kau pikir aku paham?” beonya setengah berteriak.

Leon mengukir senyuman. “Ini semua sudah diatur oleh seseorang atau … sesuatu.” Ia berjongkok, lalu meraih kerikil kecil untuk membuat sebuah gambaran di tanah yang sedikit bercampur pasir. “Sekarang aku tahu kenapa sekolah khusus ini berada di pulau yang menurut data, belum terjamah.”

“Bukannya karena banyak anak haram para petinggi di sini?” timpal Zayan.

“Itu hanya kedok. Dari awal SMA Angkasa Victory dibangun untuk tujuan lain.” Leon menggambar bangunan-bangunan ala kadarnya serta jalan kecil yang terhubung. “Ini sekolah. Ini asmara. Para polisi gadungan itu menggunakan masker pelindung, makanya mereka membius kita di mobil dan membawanya ke sini.” Leon membuat garis lurus lalu sedikit membelokannya. Ingatan yang cukup jelas untuk kembali pada saat mereka berada di dalam mobil. Leon mengingat bau gas tak asing yang memasuki indera penciumannya. “Bajingan itu membius kita dengan anestesi umum yang biasa digunakan dalam operasi besar, seperti operasi jantung terbuka, operasi otak, atau transplantasi organ. Namun mengingat dosisnya, mungkin kita tertidur kurang lebih satu sampai tiga jam saja.”

HIDDEN || Mental GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang