Tiap kali manusia merasakan sakit, mereka bertanya kapan penderitaan ini akan berakhir. Namun tetap melakukannya. Lucu.
-Leonick Agnelo-
“Hah … lihat itu, Gio.” Zayan menopang dagu dengan tangannya. Menatap jengah pada dua objek di depan sana. Kalau bisa, ia ingin melempar kursi yang sedang ia duduki ini ke wajah mereka.
Sedangkan Gio, ia tetap bergeming, masih memantau buku pelajaran yang ia sukai. Sesekali menghela nafas ketika menemukan soal yang tidak bisa ia kerjakan di dalam kepala—harus mencoret-coret buku dulu. Sesekali juga tersenyum sendiri dengan dunianya. Sangat indah.
“Hei, aku ini seperti Squidward saja,” ujar Zayan tiba-tiba, menegakan tubuhnya. “Kau seperti Patrick dalam mode tidak normal karena sok pintar. Episode apa itu yang ia begitu mendambakan ketenangan dalam meneliti,” ocehnya tidak berhenti.
Urat di kepala Gio muncul satu, tapi lelaki itu berusaha mengabaikan sahabat stress itu. Padahal ia sudah membangun benteng yang tidak boleh ditembus oleh orang seperti Zayan. Lagi dan lagi, benteng itu malah bergetar hebat. Omongan Zayan seperti gempa berkekuatan tinggi. Bencana besar.
Namun orang gila di samping ini nampak tidak mengerti, ia malah melanjutkan ocehannya. “Dan mereka di sana itu adalah Spongebob dan Sandy. Pasangan yang saling menghancurkan. Bahaya-bahaya.” Zayan menunjuk-nunjuk dan menggeleng-geleng dengan wajah dramatis.
Kali ini Gio menyerah. Ia menutup kasar buku tadi dan mengangkat kepala, menoleh pada Zayan baru melihat ke depan. “Oh.” Gio mendapati sepasang—entah apa cocok dikatakan pasangan—kekasih yang sedang kasmaran. Bukan orang lain, tentu saja itu adalah Leon, ia mengajak Haina ke kelas dengan modus menunjukan cara pengerjaan soal Kimia dengan metode cepat.
Namun waktu Gio memperhatikan baik-baik coretan spidol pada papan tulis putih tidak bersih di sana … bukankah itu cara membuat racun? Otaknya masih mengingat betul ini karena waktu kelas sepuluh dulu Leon membuat geger satu kelas yang tengah praktek bersama di lab kimia. Dia—atas dasar penasaran—membunuh habis objek penelitian dengan meracuni kelinci-kelinci malang itu. Padahal praktek mereka hanya ingin membuktikan kalau kelinci memiliki susunan gen yang hampir sama dengan manusia karena itu sering kali para ilmuwan menggunakan kelinci sebagai objek percobaan.
Gio bertanya bagaimana Leon bisa melakukannya dan anak itu menjelaskan dengan rumus yang benar-benar sama persis seperti yang tertulis di papan tulis itu. Apa sebenarnya yang Leon rencanakan?
“Ooo … Gio!” Zayan menusuk-nusuk pipi berambut biru malam itu dengan tatapan menggoda. “Biasa saja dong melihatnya, matamu bisa keluar, tuh.”
Gio lagi-lagi harus memejamkan mata dan menghela nafas banyak-banyak agar tidak meledak. Kenapa emosinya mudah sekali tersulut oleh bocah tengik ini? Ia harus bersabar—
KAMU SEDANG MEMBACA
HIDDEN || Mental Game
Mystery / Thriller[COMPLETE] WARNING! Bagi yang masih di bawah umur tidak dianjurkan membaca ini.) Ketika mental dan psikologis manusia dijadikan mainan semata. Sisi gelap dari dunia dengan pertumpahan emosi serta keringat berdarah. Di mana membunuh atau dibunuh menj...