5. Perkumpulan

730 166 119
                                    

"Apa kau tau senjata paling mematikan di dunia? Itu bukan nuklir ataupun virus, tetapi manusia."
-Leonick Agnelo-

Leon tidak berhenti memantau layar ponselnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Leon tidak berhenti memantau layar ponselnya. Membaca pesan WA dari sang ketua kelas-Riyan-yang masih berada di tempat kejadian perkara. "Itu mayat sungguhan," ungkapnya tanpa ekspresi. Blank. Nyawa Leon terlihat mengambang di atas ubun-ubun.

Zayan dan Gio menghentikan perdebatan mereka. Menitikkan fokus kembali pada Leon.

"Si-siapa?" tanya Zayan yang menyadari raut wajah tidak biasa sahabatnya.

Leon tersenyum getir. "Ini Alex." Ia menujukkan foto yang dikirim Riyan. Terlihat jelas. Foto itu menampakan seonggok tubuh yang sudah hancur lebur. Tangan dan kaki yang hampir terlepas. Kepala yang hanya tersisa seperempat. Hanya satu yang jelas. Yakni sebuah name tag bertuliskan Alex Aditya yang sengaja di letakan pembunuh tepat di dada korban.

"HUEEKK!!" Semua makanan yang masuk ke dalam perut Zayan, ia muntahkan pada detik itu juga. Lantai kantin yang bersih pun jadi ternoda.

Gio menatap sahabatnya dengan tatapan jijik. Bikin mual. "Dasar air ketuban! Jangan muntah sembarangan!" hardiknya sengit. Semua nafsu makannya langsung menguap ke udara.

Mereka pun terpaksa-diusir-pergi dari kantin. Terimakasih kepada Zayan yang selalu berhasil menambah keadaan menjadi semakin buruk.

"Hoek! Kau! Kau biasa saja melihat begituan?" Zayan mengusap sisa-sia muntahan di wajahnya. Menjijikan memang.

Bersidekap. Gio masih mempertahankan air mukanya yang tenang. "Aku tidak begitu mengenalnya. Dia bukan siapa-siapa hidupku," jelas Gio rasional. Kurang empati lebih tepatnya. Sungguh mencerminkan keturunan Dendarta-marga Gio.

"Dia menghilang selama tiga puluh satu hari, sembilan jam dan kurang lebih dua puluh dua menit. Ternyata malah berkahir begini." Leon masih memandangi ponselnya. Walaupun kini layar itu hanya berwarna hitam.

Zayan terkesiap. "Kau sampai menghitungnya sedetail itu? Woah mengerikan. Aku sempat berpikir jangan-jangan kau yang membunuhnya."

Bercanda yang tidak lucu di saat yang tidak tepat. Namun Leon malah membalasnya dengan kekehan pula.

"Aku sudah menghubungi Ibu Halona tadi. Apa kalian tidak ingin ke gudang H?"

Zayan menggeleng cepat. Gio terlihat malas dan bahkan tidak peduli. Sedangkan Chastine, seperti biasa, hanya berdiam diri.

"Ingin lihat?" Gio bertanya pada Leon. Walaupun tidak peduli dengan Alex. Ia tahu bahwa Leon berteman baik dengan lelaki yang sudah jadi mayat itu. Mereka satu tim futsal.

Leon tidak langsung menjawab. Terlihat berpikir. Entah tentang apa. Orang yang terakhir bertemu dengan Alex adalah Leon sendiri. Jika ia tidak ke sana mungkin saja orang-orang akan mencurigainya. Setidaknya Leon harus berakting sangat bersedih atas kematian teman satu timnya, bukan? "Boleh jug-"

HIDDEN || Mental GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang