9. The Next War

648 114 72
                                    

“Aku tidak pernah mengharapkan hadirmu. Sayangnya, cahaya butuh kegelapan untuk bersinar.”

-Leonick Agnelo-


“Kenapa tidak menyerahkan urusan ini pada polisi saja, huh?” keluh Zayan berusaha meragukan aksi berbahaya teman-temannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


“Kenapa tidak menyerahkan urusan ini pada polisi saja, huh?” keluh Zayan berusaha meragukan aksi berbahaya teman-temannya.

Wajah Leon mendadak dingin. “Aku tidak mempercayai mereka—"

“ADA TAMU! ADA TAMU!”

Suara bell khusus tersebut berhasil merusak suasana panas dingin tadi. Ketiga orang itu sukses bersamaan menoleh ke arah pintu masuk.

“Siapa malam-malam begini?” protes Zayan. Ia menatap Gio yang tentu juga tidak tahu jawabannya.

Alis Leon bertaut. “Hari ini kelas belajar tambahan, kan, libur.”

Jangan-jangan?

Tiba-tiba jantung Gio berdetak tak karuan, seolah dapat melompat dari rongganya saat itu juga. Tidak mungkin, kan? Masa itu Chastine? Perempuan gila itu mau apa lagi? Masa … masa mimpi Gio menjadi kenyataan? Chastine berdiri di sana, berlumuran darah dengan menyeret mayat.

“ADA TAMU! ADA TAMU!”

“Hang on … I’m coming.” Tanpa pikir panjang, Leon meraih ganggang pintu dan menariknya. Mendapati tamu tak diundang di sana. Berdiri sayu di depannya. pupil Leon membesar seketika. Mulutnya sedikit menganga bahkan bergetar. Genggaman Leon pada ganggang pintu mengeras. “Kenapa kemari? Apa urusanmu?” Reaksi penolakan luar biasa.

Orang di balik pintu itu, Zev Gregory, tersenyum miring. Merendahkan. “Tamatlah kalian kali ini,” cicitnya dengan wajah sombong.

Leon mengerutkan kening. Tidak mengerti. “Kembalilah ke kamarmu dengan tenang selagi aku masih menahan diri.”

Zev tertawa nyaring. Ia menegakan diri. Melipat tangan di depan dada. “Urusanku bukan dengamu.” Zev memiringkan tubuh guna menilik kamar dari balik tubuh Leon. “Di sana … dengan keturunan Dendarta.”

Zayan dan Gio yang dapat mendengar jelas percakapan tersbut saling pandang.

“Tumben. Biasanya kau tidak suka cari gara-gara.”

“Jangan menulis novel sesukamu. Aku tidak melakukan apapun.”

"Terus itu?"

"Heh, telur Unta. Aku tidak sepertimu!"

"Hoh ... apa maksud Anda, Tuan Dendarta!"

Kali ini keributan macam apa lagi yang menyeret mereka? Kenapa orang-orang tidak bisa hidup masing-masing dengan tenang? Apa itu terlalu sulit?

Leon memandang jengah. “Dia sedang tidak enak badan. Aku wakilkan. Ada apa?” ujarnya dengan nada suara setenang mungkin, tapi mata emeraldnya menatap Zev seperti akan melelehkannya bak mentega.

HIDDEN || Mental GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang