14. Special Gio

512 74 63
                                    

“Aku membenci emosi, apalagi ketika perasaan mulai tergerak untuk peduli. Manusia itu tidak tahu balas budi, rata-rata tak sadar diri. Aku hanya ingin lepas dari rantai ini.”

-Gioreno Dendarta-

-Gioreno Dendarta-

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.




Ini adalah segelintir kisah masa lalu, dari seorang bocah dengan rambut abu-abu. Dia memiliki mata cokelat yang bersinar, bak simbol antara kehidupan dan kematian yang berpijar. Tubuh yang lebih kokoh dari pada anak seusia, tapi dipenuhi bekas luka. Tangannya tidak lepas dari menggenggam senjata, hari-harinya diwarnai darah yang tersebar kemana-mana. Dia adalah keturunan Dendarta, yang dilatih sebagai senjata sejak muda.

Dunia yang damai, aman, dan tentram? Lucu, tidak ada yang memikirkan bagaimana 7 milliar manusia menikmati hal tersebut tanpa pengorbanan seperti apa yang harus dilakukan. Para elit global bermain dengan sisi itu, mereka berlagak layaknya Tuhan. Dengan modal kekuasaan dan kekuatan, selama Tuhan yang asli tidak turun tangan, segala keinginan mereka dalam genggaman.

Di depan mereka akan berdakwah tentang hak asasi dan kemanusiaan, mencetus bahwa satu nyawa orang sangat berharga. Namun itu tidak untuk semuanya, ada golongan yang harus berkorban, ada manusia yang terabaikan. Rahasia yang selalu berusaha untuk ditutup rapat. Kegelapan, sisi dunia yang hanya dapat dijamah oleh orang-orang tertentu. Begitu dalam, begitu dingin, begitu kejam, tanpa dasar.

“Duh … astaga, Tuan Muda, bukankah akan lebih rapi jika ditembak saja?” keluh seorang wanita paruh baya dengan seragam khas pelayan yang kini memiliki noda besar berwarna merah segar. Tampak terbiasa, ia cukup sibuk mengomel sembari membersihkan lantai dengan kain pel ala kadar.

“Membosankan,” sahut bocah kecil selaku tersangka utama perkara ini. Mata cokelat terangnya memandang remeh pada potongan tubuh yang telah ia bagi menjadi tiga memakai gergaji listrik, sesaat setelah memenggal kepala sang korban dengan sabit.

“Luar biasa.” Si Bibi tersenyum bangga atas pekerjaannya yang padahal tidak beres sempurna. “Sekarang Tuan Muda sudah tidak takut gemetaran lagi. Padahal dulu tiap kali mendapatkan tugas begini, Anda akan merengek ketakutan dan—"

“Diamlah. Congormu itu berisik sekali. Ingin kuganti?” Siapa sangka perkataan seperti ini keluar dari mulut bocah berumur 14 tahun?

Bukannya takut, Bibi malah tertawa ringan. “Iya-iya, maafkan orang tua ini. Tuan Muda Gio adalah yang terbaik,” pujinya mengusap kepala bocah itu dengan lembut.

Pipi Gio tampak merona, ia segera memalingkan wajah. “Buta? Aku kotor!” sinisnya menepis tangan Bibi. Namun wanita itu tidak mengambil hati. Sebagai orang yang merawat Gio sejak bayi, dirinyalah yang paling memahami bocah edan ini.

“Tunggu sebentar, ya, akan Bibi siapkan air untuk Tuan Muda mandi,” pamitnya melanggeng pergi.

Iris mata Gio menatap nanar punggung ringkih itu sampai menghilang di balik pintu. “Terima kasih,” lirihnya sangat pelan.

HIDDEN || Mental GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang