Extra: The Reason

182 19 7
                                    

“Tuan Leon. Kami sudah membawa pembangkan dari tim sejarah itu ke sini!” lapor salah seorang petugas khusus yang selalu mengenakan helm biru kehitaman dan juga seragam elastis yang tampak mengilap. Dia bersama seorang petugas lainnya menyerat seonggok tubuh penuh akan luka, untungnya si empu masih bernyawa.

Mematikan rokok dengan membuang putungnya ke gelas kaca, Leon menyugar rambut dan berbalik. Mata hijaunya tampak memancarkan kilat amarah yang teredam di balik senyuman penuh kegirangan. “Jadi dia yang bernama Piers?”

“Benar, Tuan Leon.”

“Tinggalkan kami.”

“Baik!”

Pintu tetutup otomatis seiring keluarnya dua petugas tadi. Ketukan langkah kaki Leon menggema dalam ruang serba putih ini. Dari atap, lantai, dinding, sampai dengan seluruh perabotannya semua berwarna putih.

“Tatapan yang bagus,” puji Leon tersenyum miring ketika dia sudah berdiri tepat di hadapan pemuda babak belur yang masih berlumuran darah, baik itu dari kepala sampai dengan sekujur tubuhnya.

“Jadi inilah wajah si Penguasa Menara? Cuih!” Pemuda tadi melujah di sepatu Leon. Ia masih berlutut karena tidak sanggup untuk berdiri. “Kau pikir dengan kekauasaan di tangamu itu, kau bisa mempermainkan hidup orang lain? Dasar keparat! Bajingan sialan! Aku akan membunuhmu!”

“Banyak bicara tidak akan membuktikan apa-apa.” Leon seperti melihat dirinya di masa lalu. Ia menunduk dan menarik dagu Piers agar menatap matanya. “Kau padahal sangat cerdas hingga bisa mencapai titik ini. Tapi kau masih terlalu naif. Kau ingin melindungi seseorang? Maka jadilah tidak berperasaan.”

BUGH!

Leon dengan cepat berdiri tegap dan menendang wajah Piers hingga membuat pemuda itu terpental keras. Terdengar jeritan tertahan dan terlihat semburan darah keluar dari mulut pemuda malang tersebut.

“Ini adalah ruangan penyiksaan yang akan mematikan kelima indramu.” Leon melangkah mendekati Piers yang tengah menahan rasa sakti lagi.

Terdengar cekikikan tawa khas psikopat yang menerkam mangsa. “Piers … aku penasaran dengan bagaimana kau bisa bertahan dalam situasi tersebut. Ah, ini akan jadi penelitian baru yang cukup menarik. Jangan kecewakan aku, ya?”

Sebelum pergi, Leon kembali menendang, memukul, dan mengantam Piers dengan membabi buta. Sampai-sampai membuat pemuda malang itu akhirnya terkapar dan pingsan.

“Kita memiliki takdir yang sama … mata hijau, Piers.”

***

“Habis dari mana kau?” tegur Zayan yang sedari tadi menunggu Leon di ruang kerja. Ia sampai berpikir untuk membuat kekacauan karena sudah merasa bosan.

“Ada urusan apa kau ke sini?”

“Wah … sudah lama tidak berjumpa, terus membut orang menunggu lama, kini kau juga bersikap ketus padaku?”

Sudut bibir Leon tertarik. Ia lalu duduk di depan Zayan sambil menuangkan wine ke gelas lalu menegaknya cepat. “Bahkan aku sampai tidak berganti pakaian saat mendengar kabarmu datang.”

“Kau habis melakukan ‘pembersihan’ ya?”

Leon menggeleng. “Aku menemukan berlian di tengah-tengah kotoran.”

“Kau masih berpikir untuk mati?”

“Iya. Setelah semua tujuanku tercapai tentu saja. Kapan perlu aku harus hidup abadi jika tujuan itu sukar untuk aku gapai.”

Zayan menatap sekitar. “Dimana pengantinmu?”

“Kau ada urusan dengannya?”

“Tidak. Aku hanya ingin tahu kau membunuhnya juga atau semacamnya.”

HIDDEN || Mental GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang