Ketika kotapun telah membisu, Aku turun mewarnai angan liar, Meninggal bercak yang dihapus rintik hujan, Di tengah debu merah senja.
-Ardelle Chastine Garneta-
Pernah menghadapi sesuatu hal yang lebih menyeramkan dari pada kematian? Maka jawaban akuratnya berada pada tangan-tangan dingin, daging-daging sisa belatung, atau potongan tulang belulang di bawah tanah sana. Merekalah yang tahu lebih banyak. Jiwa yang masih berdiam di dalam raga, sebaiknya bungkam saja. Nikmati dunia selagi bisa. Mungkin ditambah iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam kutip, jika percaya. Sebaiknya iya, jangan sampai terpaksa.“Kau sedang baca apa?” Leon menarik diri mendekat pada Zayan yang bersantai ria di sofa tercinta. Walaupun notebanenya itu bukanlah kamar Zayan, melainkan kamar Leon sendiri.
Menoleh sekilas, Zayan menitikan kembali fokusnya ke layar ponsel. “Wattpad,” sahutnya sok angkuh. Siapa tahu sifat es batu Gio cocok untuk ia tiru, kan? Nyatanya tidak. Tolong sadarlah.
Leon memicingkan mata. “Di saat seperti ini?”
“Dengar.” Zayan meletakan ponsel ke meja. “Alien di sana jiwanya masih berkelana.” Ia menunjuk Gio yang duduk diam menatap dinding kamar seakan ingin melahapnya bulat-bulat. “Hah … aku penasaran hantu jenis apa yang ia temui di taman terbengkalai itu.” Zayan menggeleng cepat. “Sudah kubilang, kan? Sekolah ini berhantu! Dikutuk!” cercanya tiada habis.
Leon tidak membantah meski tak percaya hantu. Ia menoleh ikut memperhatikan Gio. Di kasur sana, satu-satunya manusia yang bisa diajak untuk berpikir sedang tidak bisa menggunakan otaknya. “Apa dia masih mengukur yang mana mimpi dan realita?” gumam Leon pelan.
“Gio ….” Tiba-tiba Zayan berlagak dramatis. Bahkan air di matanya sudah menggenang. “Kenapa kita baru tahu kalau dia memiliki penyakit mental?”
“SEMBARANGAN!” Leon memukul empuk kepala Zayan. “Berhenti meracau. Aku akan coba ajak dia bicara lagi,” tutur Leon tanpa memberi kesempatan untuk Zayan membalas pukulannya barusan.
“Gio—”
“Kali ini dengarkan ulasanku.”
Ketika Leon mendekat, Gio sudah menyambarnya dengan segala macam cerita. Dengan lancar moncongnya mengulas kembali apa yang dikatakkan Leon dan Zayan mengenai Alea, gadis asing nan misterius sebagai tersangka utama dalam pembunuhan Alex.
“Oh, penuturan yang sangat detail,” cicit Leon terheran-heran. Ia mengerjapkan mata beberapa kali kemudian menoleh pada Zayan yang juga memasang wajah plonga-plongo.
”Gio yang jenius sudah kembali.” Zayan bertepuk tangan.
Sedangkan Gio di sana, baru menyadari sesuatu. Tidak salah lagi. Pikirannya sudah kacau. Kalau merunut peristiwa berdasarkan fakta. Maka kronologi time line yang sebenarnya adalah begini. Pertama, mereka berpisah, Leon dan Zayan ke tempat kejadian perkara, sedangkan Gio dan Chastine kembali ke kelas. Di tengah jalan, jalang itu—maksud Gio, Chastine, memancingnya untuk membuat sebuah perjanjian. Setelah sepakat, mereka kembali ke asrama masing-masing sesuai yang diperintahkan oleh para guru. Lalu Leon mengajak mereka berdiskusi di kamarnya. Tak lama setelah diskusi, Gio undur diri untuk menuntaskan kontrak jahanamnya dengan si iblis Chastine. Setelah itu ia malah jatuh pingsan. Leon dan Zayan yang merasa ada yang tidak beres segera berinisiatif mencarinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HIDDEN || Mental Game
Mystery / Thriller[COMPLETE] WARNING! Bagi yang masih di bawah umur tidak dianjurkan membaca ini.) Ketika mental dan psikologis manusia dijadikan mainan semata. Sisi gelap dari dunia dengan pertumpahan emosi serta keringat berdarah. Di mana membunuh atau dibunuh menj...