Holaaa...
Cerita baruuu...
Semoga kalin suka..
Klik bintang dan komen ya riders...Love u Octoimmee 💜
Selamat Membaca
*******
Sepuluh hari lagi mereka menikah. Hana telah menandai kalendernya dengan lengkung bentuk hati dengan spidol warna biru. Tak sabar ia menghitung mundur hari dimana ia akan resmi menjadi istrinya Rahardika Mandala Wijaya. Kekasihnya selama tiga tahun ini. Kekasih yang menjadi dunianya.
Peka adalah sifat Hana yang paling dominan. Ia tau kapan harus menekan keinginan, kapan harus mundur, kapan harus diam, kapan harus menurut, kapan harus mengalah, kapan harus sabar, kapan harus pergi.
Eh?
Ya, seumur hidupnya ia dugembleng untuk 'pasrah'. Bergaul dengan hidup yang seolah atau selalu tak berpihak padanya. Selama ini ia dapat bertahan bukan?.
Jadi saat ini pun Hana sangat 'peka' saat melihat raut Mas Dika nya yang tersaput sendu. Mata hitam pekat yang selalu memandangnya dengan penuh kelembutan, kini mengarah ke lantai.
Mereka kini tengah berada di teras belakang rumahnya, mencuri waktu bertemu Karena sebenarnya mereka sedang dalam masa pingitan.
Ayah dan Ibu sedang ada acara malam dana Perusahaan dimana Ayah bekerja, acaranya di Sebuah Hotel dan mereka baru saja berangkat, lalu Dika datang. Hana sudah mengaturnya agar mereka tidak ketahuan. Ibu nya sangat saklek dengan semua aturan adat yang harus mereka jalani.
Sudah Lima belas menit. Dika hanya memegang cangkir kopinya, seolah mencari kehangatan melalui telapak tangannya yang menyentuh sisi luar cangkir itu.
Hana tak juga bertanya tentang apa yang akan dibicarakan Dika. Jujur jantungnya berdetak tak nyaman, ia berusaha menenangkan hatinya yang telah banyak retaknya.
Ia takut akan berkeping-keping jika ia menyuarakan satu Kata atau satu tanya yang menjadi kail untuk memancing gundah yang tertera jelas di wajah sang 'pemberi harapan' dalam hidupnya yang rapuh.
Hana percaya Tuhan memberinya hadiah atas kesabarannya selama ini melalui Dika.
"Hana....."
Ah, akhirnya suara malaikat pelindung nya itu terdengar. Bukan nada rindu seperti biasa.
Itu nada putus asa yang pelan pelan mulai membuat tubuh Hana merespon, dan syaraf tak sadarnya mengaktifkan kelenjar keringatnya. Ia baru sadar telah menggenggam tangannya terlalu erat, dan rasa dingin dan basah ditelapak tangannya menyadarkan 'kepekaannya'.
Tuhan...harus kah aku mengalami lagi?.
Sepuluh hari lagi...tinggal sedikit lagi...
"Mas ngga bisa..."
Bunyi pengang melingkupi telinga Hana, seperti suara sirene ambulance yang menjadi momok bagi Hana sampai saat ini, meski puluhan tahun berlalu.
"Mas ngga bisa meneruskan acara pernikahan kita...kamu ngga pantas Mas bohongi...."
Hana menatap Dika dengan wajah pias.
Mengapa sesuai dengan perkiraannya?
PERNIKAHAN NYA BATAL!
Alih alih berteriak teriak marah, Hana sibuk menyalahkan dirinya sendiri, menganalisis kesalahan kesalahan yang mungkin ia timbulnya dengan tak sengaja yang mengakibatkan peristiwa ini terjadi.
Mereka terakhir bertemu satu minggu yang lalu, apa ada sikap yang membuat Mas Dika kecewa? apa ada kata katanya yang menyakiti Dika? atau Dika.mulai.menyadari kalau dirinya tak layak untuk.menjadi istrinya?. Oh...apa yang salah? Ini pasti ada yang salah dengan dirinya sehingga Mas Dika menjadi ragu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak yang Tak Hilang (TAMAT)
Romance10 hari menjelang moment paling indah, harus berakhir. Bisa dibayangkan sakitnya? Tentu tidak... Tidak ada yang sanggup Tapi Hana sanggup, meskipun harus mendebu... Cinta adalah bahagia ketika yang kaucinta Bahagia. Itu egois, karena itu hanya b...