2. Di kucilkan.

4.1K 298 1
                                    

"Terkadang, rumah yang kita anggap paling nyaman, ternyata tak lebih dari neraka jahanam."

-Suci Amara Ayesha-

Acara perayaan hari jadi kini di meriahkan untuk makan malam bersama. Untuk mensyukur tentang nikmat yang sudah Tuhan kasih kepada Ara di umurnya yang genap 42 tahun. Makan malam ini tentunya di hadiri oleh kakek dan nenek yang datang jauh-jauh dari Bandung.

Keluarga kecil itu menikmati makan malam dengan sangat nikmat. Apalagi, makanan yang di sajikan begitu sangat lezat. Tentunya, dibalik lezatnya makanan tersebut ada koki yang sangat andal. Siapa lagi kalau bukan Suci Amara Ayesha.

"Nenek tidak menyangka, ada di sini ditengah-tengah kalian. Tentunya, dengan kedua cucu Nenek," ucap Nenek Nauri begitu senang. "Sudah cukup lama Nenek tidak mengunjungi rumah ini."

"Habisnya ibu terlalu nyaman tinggal di Bandung. Sampai Yesha ajak untuk tinggal di Jakarta, Ibu nggak mau," tutur Yesha tersenyum kecil.

"Bukan tidak mau. Kita itu sudah tua Yesha. Kita ingin menikmati masa tua di kampung. Lagi pula, ada perkebunan teh yang harus di kelola," sahut Omar.

"Ya udah, nanti biar Luna aja yang sering-sering main ke Bandung, gimana Kek?"

Omar tersenyum. "Tentu boleh dong. Kamu, kan, yang akan menjadi penerus kebun teh Kakek. Jadi, kamu harus belajar yang pinter, ya. Karena mengelola perkebunan itu nggak gampang."

"Suci juga boleh main-main ke Bandung kan, Kek?" tanya Suci antusias.

"Enggak boleh, di Bandung itu dingin. Apalagi, kamu punya asma. Nanti yang ada malah nyusahin Kakek sama Nenek," tolak Omar, sengit.

Suci langsung menundukkan kepalanya. Penolakan itu cukup menyakiti hati kecilnya. Kakek dari ayahnya itu sedari dulu begitu tak suka pada dirinya. Ia selalu mengunggulkan Luna. Seolah-olah ia begitu buruk menurut pandangannya. Suci juga ingin seperti Luna, yang selalu mendapatkan kasih sayang tanpa sedikit pun kekurangan.

Nenek Nauri yang mengetahui sikap perubahan Suci, ia menghela nafasnya dan melirik ke arah suaminya. Ia tahu tentang hancurnya perasaan Suci. Nenek Nauri sendiri tidak pernah membeda-bedakan cucunya. Luna sama Suci sama-sama cucu kesayangannya.

"Suci, kamu boleh kok main ke Bandung. Ibu kamu yang punya asma aja, dia bisa kok menyesuaikan lingkungan di sana." Ucapan Nenek Nauri membuat Suci mendongakkan wajahnya. "Nanti Nenek ajak kamu liat-liat kebun teh di sana."

"Makasih ya, Nek," ujar Suci tersenyum manis.

"Oh ya, sekolah kalian gimana? Hari ini Bunda belum sempat lihat hasil pelajaran kalian," tanya Ara pada kedua putrinya.

"Nilai aku bagus dong, Bun. Nilai Biologi aku dapat 85, hampir sempurna. Aku juga sekarang lagi sibuk-sibuknya latihan ceers, nih. Badan aku sampe pegel," ungkap Luna memberitahu.

"Tingkatkan lagi ya, Sayang." Luna mengangguk. "Kalau kamu Suci?"

"Su-Suci tadi dapet nilai 65 matematika, Bunda," jawab Suci menunduk malu.

Yesha menyahut, "Ya ampun Suci, kenapa nilai kamu hanya segitu-gitu terus? Contoh dong kakak kamu, nilainya selalu unggul."

"Di keluarga Ayesha tidak ada yang memiliki otak bodoh. Kakek bingung, kamu itu turunan siapa? Ngakunya kamu ketua OSIS, tapi kenapa di bidang mata pelajaran kamu bodoh? Kakek rasa, yang pilih kamu jadi ketua OSIS itu sama bodohnya," cerca Omar.

Suci menggigit bibir bawahnya pelan. "Suci akan berusaha lagi, Kek. Suci janji."

"Makan malam ini mendadak menjadi tidak selera. Kalau begitu Kakek istirahat duluan." Omar beranjak dari tempatnya, hingga menimbulkan decitan kursi di sana.

Nenek Nauri hanya menghela napasnya sabar. Ia ikut beranjak dari tempatnya untuk menyusul suaminya. Sementara Ara dan Yesha langsung menaruh wajah yang begitu marah terhadap Suci. Gara-gara Suci, acara makan malam ini berantakan. Padahal momen seperti ini sangat jarang bisa terjadi.

Suci sudah tahu apa yang akan ia terima. Ia hanya bisa pasrah, karena ia mengakui kesalahannya sendiri. Di balik wajah Suci yang terlihat sedih, Luna diam-diam tersenyum sinis. Malam ini Luna kembali unggul di bandingkan adiknya.

"Lihat apa yang sudah kamu perbuat Suci, kakekmu jadi marah. Mereka ketemu kita itu jarang, seharusnya kamu memberikan kesenangan pada mereka atas prestasi kamu, tapi ini apa? Nilai kamu zonk!" Yesha marah, ia beranjak dan memijit pelipisnya.

"Sekarang itu seharusnya menjadi momen special, Bunda, tapi kamu rusak gitu aja. Kamu itu tidak pernah sekali aja membuat orang tuamu bangga," kesal Ara begitu kecewa.

"Bunda, Ayah, maafin Suci. Suci janji, Suci akan belajar lebih keras lagi seperti Kak Luna," isak Suci.

Luna menyahut, "Jangan Cuma ngomong doang, buktiin!"

"Pergi sekarang ke kamar kamu Suci! Bunda kecewa sama kamu!"

Suci berlari menuju kamarnya. Ia mengunci pintu kamar itu rapat-rapat. Tubuhnya merosot ke lantai, dengan air mata yang ikut mengalir. Satu tangannya menepuk-nepuk dadanya yang terasa sesak. Malam ini Suci begitu menaruh kesakitan yang luar biasa. Seharusnya mereka itu mendukung, bukan malah mencaci dan membuat dirinya merasakan begitu down.

Suci kembali menghirup inhalernya. Akibat tangisnya membuat dadanya semakin sesak. Suci memejamkan mata, merasakan segala sakit yang sudah ia terima malam ini. Perih, sesak, semuanya menjadi satu.

"Seharusnya Suci yang kecewa, Bunda," gumamnya.

LonelyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang