44. Misi

2.1K 160 13
                                    

“Aku terjatuh dalam sebuah kerinduan. Rindu yang tak pernah menjadi temu, dan hanya menjadi tabu.”

—Suci Amara Ayesha—

Hallo, maaf mak baru bisa update. Dan gak sesuai janji.

Btw, Mak baru ada kuota;')

Maafkan, guys ...

Happy Reading ❤️

Bersembunyi dalam kesakitan sudah Suci lakukan dalam beberapa hari. Ia menghindari orang-orang terdekatnya, termasuk keluarganya. Namun, rasa bersalah perahan mulai muncul dalam jiwa. Ia memikirkan kedua orang tuanya, juga Luna yang saat ini kondisinya yang tak jauh beda.

Suci termenung di kursi roda. Pikiran dan hatinya tengah berperang dengan asumsi yang berbeda. Sampai lamunannya itu harus buyar saat sebuah tangan kekar menyentuh bahunya dengan lembut.

“Kamu pulang ke rumah aku, ya?” pinta Restu sangat lembut. Ia berjongkok di depan Suci, menyamakan posisinya dengan sang kekasih.

“Apa sebaiknya Suci tetep tinggal di rumah gue? Kalau ada apa-apa sama Suci, gue bisa panggil nyokap gue,” ujar Gilang berpendapat.

“Suci mau pulang ke rumah Suci aja.” Restu maupun Gilang saling melemparkan pandangan terkejut.

“Mana bisa? Kalau kamu pulang ke rumah itu, sama aja kamu bunuh diri, Ci,” tukas Restu tak habis pikir.

“Mau sejahat apa pun mereka, mereka tetap orang tua Suci, Kak. Selama ini Suci udah lalai jagain mereka. Suci malah pergi dari rumah itu tanpa pamit,” imbuh Suci. “Tolong ngertiin Suci, Kak. Suci nggak mau jadi anak durhaka.”

“Tapi, Ci ....”

“Suci mohon.”

Restu melirik ke arah Gilang yang memberikannya sebuah anggukan.  “Ya udah, Kak Restu antar kamu pulang ke rumah. Tapi kalau ada apa-apa kamu hubungi Kak Restu atau Gilang, ya?”

“Iya, Kak, pasti.”

Tak ada pilihan lain, selain menuruti kemauan Suci. Restu maupun Gilang sama-sama mengantarkan Suci pulang ke rumahnya. Sebenarnya, rasa cemas masih menyelimuti perasaan kedua laki-laki itu. Terlebih dengan kondisi Suci yang semakin hari semakin parah.

Sepanjang perjalanan hanya ada keheningan yang melanda di dalam mobil tersebut. Masing-masing dari mereka larut dalam pikirannya. Hingga tak terasa, mobil itu terparkir di halaman rumah milik Suci.

Gilang mengeluarkan kursi roda untuk Suci, tapi gadis itu menolak untuk duduk di sana. Ia memilih untuk berjalan dengan kedua kakinya, memaksanya untuk kuat agar tidak terlihat sakit di depan kedua orang tuanya nanti. Lagi-lagi Restu dan Gilang hanya pasrah dengan sikap kepala batu Suci.

Restu memencet bel pintu rumah tersebut beberapa kali. Hingga si pemilik rumah langsung membukakan pintu itu terbuka lebar.

“Suci? Akhirnya kamu pulang juga, Nak.” Ara memeluk tubuh Suci dengan erat. Di susul dengan Yesha yang ikut mendekap putri bungsunya.

Tubuh Suci mematung. Ia tak bisa bereaksi apa pun. Pelukan ini terlalu tiba-tiba, bahkan Restu dan Gilang cukup terkejut dengan reaksi antusias dari orang tua Suci.

“Kamu ke mana aja, Nak? Kamu baik-baik aja, kan? Selama ini Ayah mencari kamu,” omong Yesha penuh cemas.

“Iya, Suci. Kami semua sangat khawatir sama kamu. Bahkan kakakmu, Luna, dia terus saja menanyakan kabar kamu,” tutur Ara memberitahu. “Maafkan Bunda sama Ayah, Suci. Selama ini kita udah jahat dan bersikap nggak adil sama kamu. Ayah dan Bunda nggak mau kehilangan anak-anak Bunda.”

LonelyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang