13. PDKT

2.1K 181 4
                                    

Di paksa untuk kuat oleh keadaan. Dan di paksa tersenyum oleh kenyataan.

—Suci Amara Ayesha—

Pertandingan basket antara SMA Exa School dan juga SMA Dream High yang berjalan sukses dengan di menangkan oleh tim Leonard, pertandingan itu pun menghantarkan keberuntungan bagi Luna, karena dipertemukan dengan sosok laki-laki tampan yang kala itu tak sengaja bertemunya di sebuah club malam.

Sudut bibir Luna tak henti-hentinya terangkat penuh kebahagiaan. Ia terus membayangkan aksi hebatnya Leonard di tengah lapangan dengan kemampuannya yang begitu menakjubkan. Saat bayang-bayang kebahagiaan itu terus berkelana, namun bayangan itu harus buyar dalam sekejap saat seorang gadis baru saja memasuki pintu rumah.

Ekspresi Luna seketika berubah dalam sekejap. Memandangi wajah Suci yang baru saja pulang, setelah mengantarkan Nadia terlebih dahulu seusai menonton pertandingan basket. Suci membalas tatapan tajam itu dengan senyuman. Luna beranjak, menarik sedikit tangan Suci menuju sofa.

“Lo ngapain tadi ke sekolah gue?! Mau mempermalukan gue, kan? Karena gue punya adik kayak lo?” Tudingan yang tak logis terucap dari mulut Luna. “Oh ... atau jangan-jangan, lo mau berusaha caper?”

“Semua yang Kakak ucapin itu nggak bener. Suci hanya mendukung sekolah Suci di atas tribune, itu aja. Awalnya Suci nggak berniat untuk ikut, hanya temen Suci yang menjadi anggota ceers memaksa Suci untuk ikut. Udah, gitu aja. Suci nggak ada niatan untuk mempermalukan Kakak, apalagi caper di sana,” papar Suci dengan sejelas-jelasnya.

Luna merotasikan bola matanya. “Halah ... muka-muka lo itu udah bisa gue tebak.”

“Aduh ... kalian ini kenapa lagi, sih?! Bunda perhatikan kalian malah asyik adu mulut di sini. Pusing Bunda lihatnya,” ujar Ara yang baru saja keluar dari arah pintu kamarnya.

“Ini nih, Suci. Bukannya langsung pulang, ini malah sengaja nonton basket ke sekolah Luna,” ujar Luna sangat kesal.

“Bunda, Suci hanya ingin mendukung tim sekolah Suci aja kok, enggak lebih,” jawab Suci menimpali.

Ara menghela napasnya. “Luna, biarin ajalah, adik kamu nonton basket. Hanya sesekali aja, kan?”

Luna membulatkan matanya sempurna. Tak menyangka tentang ibunya yang kali ini membela Suci di hadapannya. Jangankan Luna, Suci saja merasa speechless tentang perubahan sikap ibunya yang terasa lembut jika di dengar, dan terasa damai jika dilihat. Setelah sekian lama, akhirnya Suci bisa merasakan kehangatan kembali dari ibunya.

“Bunda belain Suci dibandingkan Luna? Asal Bunda tahu, Suci itu sengaja datang ke sekolah karena ingin mempermalukan Luna, dan juga caper sama cowok-cowok yang ada di sana!” Luna begitu marah, tak terima jika ibunya berpihak pada Suci. “Luna benci sama Bunda!”

“Luna, tunggu, Nak!”

Luna berlari menaiki anak tangga dengan cepat. Menutup pintu kamarnya begitu kencang, hingga mampu terdengar sampai lantai bawah. Ara hanya bisa menghembuskan napasnya pelan, ia salah sudah membuat putri kesayangannya terluka.

Ara menoleh ke arah Suci yang hanya merapatkan bibirnya. “Suci, lain kali kamu nggak usah pergi nonton basket ke sekolah kakak kamu. Ini pertama dan terakhir untuk kamu pergi melihat pertandingan itu. Mau dengan alasan kamu mendukung sekolah kamu pun, tetap tidak boleh.”

“Ta-tapi Bunda ....”

“Jangan protes! Atau Bunda akan kurung kamu sebagai hukuman,” ancam Ara, membuat Suci mengangguk patuh.

LonelyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang