37. Promise

2K 165 6
                                    

Cinta itu adalah komitmen. Komitmen dalam keseriusan agar selalu bersama.

—Restu Rafisqy Fathaan

Satu minggu lebih Suci di rawat intensif di rumah sakit. Sudah satu minggu lebih juga Nadia meninggalkannya. Satu minggu ini terasa hampa dan kosong. Beberapa pengobatan sudah Suci lakukan, namun pikiran ingin menyerah selalu terlintas di benaknya. Tak ada lagi semangat untuk ia hidup, karena penyemangatnya memilih untuk pergi meninggalkannya.

Kini teman-temannya tengah berada di rumah sakit, menyambut kepulangan Suci yang memang sudah diperbolehkan. Kecuali Leonard, laki-laki itu tidak ada di sini. Mereka masih belum mengetahui penyakit yang di derita Suci, yang mereka tahu Suci hanya stres dan tubuhnya tidak stabil.

Anggun dan Restu berusaha membereskan barang-barang Suci selama di rumah sakit. Selama Suci di rumah sakit pun orang tuanya sama sekali tidak hadir dan menjenguknya. Ya, Suci paham akan hal itu.

Mayang, orang tua Restu memasuki ruangan Suci kembali, setelah ia berbincang bersama dokter mengenai kondisi Suci. Selang kedatangannya, ada dua orang yang ikut masuk ke ruangan Suci. Suci terdiam, di saat kedua orang tua Nadia melangkah mendekatinya.

“Suci, apa kabar, Sayang? Maaf, ya, kami baru bisa melihat keadaan kamu,” ujar Fitri mengusap rambut Suci begitu lembut. Melihat Suci di hadapannya, mengingatkan ia dengan putrinya.

“Suci baik, Tante. Maaf, saat itu Suci nggak bisa ikut mengantarkan Nadia pulang ke peristirahatannya yang terakhir.” Suci menunduk dalam.

“Enggak apa-apa, Suci. Tante ke sini Cuma mau kasih titipan sesuatu untuk kamu.” Fitri menyerahkan buku tulis ke depan Suci. Buku yang sangat Suci hafal melewati sampulnya. “Kamu baca, ya, isi pesannya. Buku itu di temukan oleh pihak polisi di samping Nadia saat itu.”

Suci membuka lembar buku itu. Ia menemukan tulisan Nadia yang tersalip di sana, letaknya di pertengahan buku. Suci mengumpulkan kekuatan untuk membaca isi pesan itu. Ia menghela napasnya panjang, lalu tersenyum kecil.

Hi, Pa, Ma ....
Nadia tidak tahu harus menyampaikan dengan cara apa pesan Nadia kepada kalian. Hanya melalui tulisan ini Nadia mampu mengucapkan maaf kepada Mama dan Papa. Maaf, karena Nadia sudah mengecewakan kalian. Maaf, atas sikap dan perilaku Nadia. Maaf, karena belum bisa membahagiakan kalian. Dan maaf, karena Nadia harus meninggalkan kalian lebih dulu.

Pa, Ma, ikhlasin Nadia, ya. Karena Nadia akan lebih bahagia hidup di sisi Tuhan, dibandingkan hidup di dunia. Semua orang sudah menatap Nadia jijik. Nadia sudah kehilangan masa depan Nadia. Nadia juga nggak mau Papa dan Mama malu memiliki anak seperti Nadia.

Tolong ... jangan salahkan siapa pun atas kepergian Nadia, ya. Ada orang yang berbaik hati ingin mempertanggungjawabkan atas aib, Nadia. Orang itu baik, Pa, Ma. Dia ingin menikahi Nadia, namun Nadia tolak. Karena Nadia tidak ingin hidup dia ikut hancur karena berusaha melindungi Nadia. Dia adalah Risky, orang yang sangat Nadia cintai.

Untuk Risky, jangan pernah merasa bersalah atas kejadian yang menimpa gue. Lo gak gagal dalam melindungi gue. Gue tahu kok, kalau lo juga cinta sama gue. Mulai sekarang, lupain gue, ya. Jangan mengharapkan cinta pada seseorang yang sudah mati. Dan ingat, lo juga punya janji sama gue, untuk tidak berlaku kasar sama sahabat gue, Suci.

Suci menjeda kalimat bacaan yang tertulis di sana. Ia mengambil napas karena tak kuasa menahan air matanya. Semua orang pun ikut menangis pilu atas sebuah pesan yang di sampaikan oleh Nadia. Termasuk Risky. Laki-laki itu sudah menangis tanpa suara dan meratapi kesalahannya. Nadia, bahkan tidak membongkar aib atas apa yang sudah ia lakukan. Bahkan Nadia malah menutupi kesalahannya.

LonelyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang