32. Diagnosa 2

2.3K 146 3
                                    

Dunia ini bukan hanya tentang kesenangan. Ada juga derita yang harus kita lalui untuk mencapai puncak kebahagiaan.

—Luna Amara Yesha—

Hi, jangan lupa follow akun penulis lebih dulu Mamake_Nyongg

Btw, jangan lupa tinggalkan vote sebelum membaca, ya. Dan harap tinggalkan komentar di setiap paragraf.

Sebelumnya terima kasih untuk kalian yang udah singgah 🤗

Happy Reading semua:)

ƪ(˘⌣˘)ʃ

Rumah pohon yang menjadi saksi kesedihan yang selalu Suci tumpahkan, kini ia kembali ke tempat ini bersama seorang laki-laki pemilik rumah pohon ini. Entah kenapa, di tempat ini Suci bisa merasakan sebuah ketenangan. Tak ada sebuah siksaan seperti di rumahnya yang seperti neraka.

Suci tak henti-hentinya tersenyum melihat pemandangan di atas rumah pohon ini. Ia melirik ke samping, tepat kekasihnya yang tengah melemparkan senyuman yang teramat manis. Satu tangan laki-laki itu mulai meraih tangan Suci. Di genggamnya sangat erat, lalu diberikan usapan yang sangat lembut.

“Kamu bahagia?” tanya Restu.

“Tentu. Aku sangat bahagia, Kak. Apalagi sama Kak Restu,” jawab Suci bersemangat. “Ayo, tunggu apa lagi? Kak Restu punya hutang penjelasan sama aku.”

Restu menghela napasnya berat. “Kalau aku bilang ini sama kamu, kamu jangan marah, ya.” Suci hanya fokus menatap kekasihnya. Ia mengangguk kecil sebagai jawaban. “Dua hari ini aku masuk rumah sakit, Ci. Itu alasannya Kak Restu nggak ngabarin kamu.”

Deg!

Seketika Suci menjauhkan tangannya. Ia menatap Restu sedikit terkejut. Bola matanya ikut berkaca-kaca. “Kak Restu kenapa? Kakak sakit apa? Kenapa Kakak nggak ngasih tahu Suci, Kak? Suci ini sebenernya siapanya Kak Restu, sih?” Suci melontarkan beberapa deretan pertanyaannya sekaligus.

“Hei, jangan marah. Justru Kak Restu melakukan ini karena nggak mau buat kamu khawatir, Ci.” Tangis Suci pecah. Ia merasa dirinya sangat tidak berguna. Bahkan ia tidak ada di samping kekasihnya saat butuh. “Maafin Kak Restu,” ucapnya, lalu membawa Suci ke dalam dekapan.

Suci terisak. “Jawab Suci, Kak Restu sebenarnya kenapa? Apa yang nggak Suci tahu, Kak?”

Restu meleraikan pelukannya. Ia menghela napas berat, lalu berujar, “Suatu saat nanti kamu akan tahu kehidupan aku, Ci, tapi tidak sekarang. Lambat laun kamu pasti kamu akan tahu dengan sendirinya, tanpa perlu aku memberitahu.”

“Kenapa Kak Restu tidak mau terbuka? Sedangkan Suci selalu terbuka sama Kak Restu?” tanya Suci mendesak.

“Belum waktunya untuk kamu tahu. Kak Restu mohon, kamu ngertiin Kak Restu, ya. Ini tidak seburuk apa yang kamu pikirkan. Percaya sama Kak Restu,” balas Restu tersenyum tipis. Namun, Suci hanya diam menatap wajah laki-laki itu. “Oh, ya, bagaimana keadaan kamu sekarang? Udah cek up ke dokter lagi?”

“Kenapa Kak Restu mengalihkan pembicaraan?”

“Aku nggak mengalihkan pembicaraan, Ci. Aku hanya ingin tahu kabar kondisi kamu. Jadi gimana?”

Suci menggigit bibir bawahnya. Ia meremas jari-jarinya tak karuan. Bahkan air mata yang kini menggenang di pelupuk mata seketika hirap karena sebuah ketakutan. Suci takut jika ia memberitahu hal yang sebenarnya, kalau penyakit yang ditubuhnya kian menggerogoti ketahanan tubuhnya. Terlebih lagi Suci sama sekali tidak pergi untuk cek up, atau pun sekedar membeli obat-obatan yang sudah habis. Karena keadaan yang membuat Suci pasrah akan tubuhnya.

LonelyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang