8. Asma

2.7K 183 2
                                    

"Tak selamanya luka akan terus mendarah daging. Semua akan sembuh, jika ada penawarnya."

-Suci Amara Ayehsa-

Dari jam 10 pagi, rekan kerja Vina sudah berdatangan dengan di awali makan bersama. Hingga sekarang ini, pukul 14:00 WIB, Vina dan beberapa rekan kerjanya masih berkumpul dan membahas tentang kerjaan. Leonard bahkan sudah muak, ia sedari tadi hanya bisa mengurung diri di kamar tanpa enggan untuk keluar. Leonard hanya tak sudi jika melihat wajah seseorang yang sudah merusak keluarganya.

Leonard mengambil ponselnya di atas nakas, tak sengaja melihat sebuah pesan yang tersalip di sana. Ternyata, semalam Suci mengirim pesan dan di balas oleh Risky. Persetan dengan gadis itu, tujuan Leonard sekarang adalah menghubungi sang ayah. Hingga beberapa detik, sambungan telepon itu akhirnya terhubung.
 
"Hallo, Leo. Ada apa kamu telepon ayah? Uang kamu sudah habis? Kalau gitu sebentar lagi ayah transfer," ucap Vino di seberang sana.
 
"Leo telepon ayah bukan untuk minta uang, tapi Leo Cuma ingin tanya. Ayah kapan mau pulang ke rumah?"
 
"Leo, ayah belum bisa pulang ke Indonesia. Kerjaan ayah di LA masih banyak, dan kepulangan ayah juga tak lagi menjadi tunggu untuk ibu kamu."
 
"Ada Leo yang nunggu ayah pulang. Leo butuh ayah, Leo mohon ayah pulang demi Leo. Ayah harus rebut lagi cinta bunda dari laki-laki berengsek itu," ucap Leonard sangat memohon.
 
Vino menghela napasnya. "Ayah akan pulang, tapi tidak untuk sekarang. Tolong kamu ngertiin ayah, ya."
 
"Leo akan selalu tunggu ayah."
 
Leonard mematikan sambungan telepon itu. Ada rasa sakit yang tak bisa Leonard ungkapkan. Laki-laki itu tak tahu harus melakukan apa sekarang, rasanya begitu menyiksa jika terus-terusan berdiam diri di kamar.
 
Leonard membuka room chatnya, ia mencoba mengirim pesan kepada kekasihnya, Suci.
 
Suci Amara.
| Share lokasi rumah lo, gue jemput lo sekarang.
 
Suci yang baru saja merebahkan tubuhnya karena rasa lelah yang menyita, gadis itu harus menerima sebuah pesan dari ponsel miliknya yang berbunyi. Mata Suci terbelalak sempurna, ia bangkit dengan posisi duduk.
 
Gadis itu segera mungkin mengirim lokasi rumahnya tanpa pikir panjang. Ia berjingkrak senang di atas ranjang, tanpa berniat bertanya terlebih dahulu pada kekasihnya. Suci langsung saja bergegas membersihkan diri, agar terlihat cantik di depan Leonard nanti.
 
30 menit sudah Suci selesai dalam ritual memancarkan kecantikannya. Ia tersenyum di depan cermin, lalu meraih slimbagnya dan bergegas keluar. Baru saja Suci akan membukakan pintu, seruan dari arah tangga memanggil namanya.
 
"Suci, mau ke mana kamu?" tanya Ara dengan pakaian yang sangat rapi.
 
"Suci mau ke rumah Nadia, Bunda. Ada tugas kelompok yang harus Suci kerjakan. Nggak papa, kan?" tanya Suci penuh takut.
 
"Ya sudah, pergi saja, tapi pulangnya jangan ke sorean. Bunda sama kakak kamu mau shopping soalnya. Takut tiba-tiba ada maling masuk ke rumah."
 
"Baik, Bunda. Bunda have fun, ya. Suci pergi dulu," ucap Suci tersenyum manis.
 
Suci keluar dari rumah itu dengan perasaan senang, karena bundanya sama sekali tidak marah maupun melarangnya. Suci berjalan ke depan gerbang, ternyata kekasihnya sudah sampai dan menunggunya. Suci memasuki mobil Leonard, dan memasang seat beltnya.
 
"Kita mau ke mana?"
 
"Nanti juga tahu," ujar Leonard, dan langsung melajukan mobilnya.

-------------------------
 
Di sinilah Leonard dan Suci berada, di sebuah pantai yang cukup sepi. Keduanya memilih duduk di sebuah pohon kelapa yang tumbang, seraya menikmati angin yang berembus cukup kencang, dan deru ombak yang menghantam karang.
 
Leonard melirik ke arah Suci yang tak henti-hentinya tersenyum dengan pandangan ke depan. Terlihat, sebuah kebahagiaan terpancar di wajah cantik gadis itu.
 
"Ci," panggil Leonard, membuat Suci menoleh. "Apa lo memiliki keluarga yang sempurna?"
 
Suci mengangguk. "Gue memiliki keluarga yang sangat sempurna. Kedua orang tua gue sayang banget sama gue. Apalagi, gue juga memiliki seorang kakak yang selalu support gue. Ya, intinya kebahagiaan gue lengkap, apalagi sekarang di tambah dengan kehadiran lo di hidup gue."
 
Boleh kah Leonard memiliki rasa iri setelah mendengar jawaban dari Suci? Mengapa semesta sangat tidak adil, memberikan ribuan kebahagiaan pada orang lain, sedangkan dirinya sama sekali tak di izinkan bahagia sama sekali. Leonard ingin seperti Suci, memiliki keluarga yang utuh dan saling mencintai satu sama lain.
 
Suci meraih tangan Leonard. "Kak, lo nggak papa? Kok lo diem?"
 
"Gue nggak papa kok. Dan stop panggil lo, gue. Gue itu pacar lo, Ci. Dan biasakan mulai sekarang panggil aku kamu," tutur Leonard. Suci tersenyum, dan mengangguk mengiyakan.
 
"Kamu tahu, tak selamanya sebuah senyuman yang di tunjukkan menandakan sebuah kebahagiaan. Kadang, banyak orang yang sedang memakai topeng untuk menyembunyikan kesedihannya." Tiba-tiba saja Suci melontarkan pembicaraan di luar topik. "Biasanya, orang-orang seperti itu bisa di katakan hebat. Karena mereka tidak ingin mempertontonkan kesedihannya hingga membuat orang bersimpatik," tutur Suci.
 
"Lalu, bagaimana mereka melampiaskan kesedihan itu?" tanya Leonard yang mulai penasaran dengan obrolan ini.
 
Suci tersenyum tulus. "Mereka hanya bisa menangis di tengah malam, tanpa satu orang pun yang tahu. Kadang, mereka juga bisa menangis di deras air hujan dan petir yang bergemuruh. Agar tak ada satu orang pun yang bisa melihat air matanya, dan juga isak tangisnya."
 
"Akan tetapi, tak selamanya luka itu akan mendarah daging. Luka itu pasti akan sembuh dengan seiringnya waktu. Setiap luka, pasti ada penawarnya," tandas Suci.
 
Mengapa setiap pertuturan dari Suci mengisyaratkan bahwa tengah ada luka yang tersimpan rapi di dalam diri gadis itu. Apa setiap perkataan Suci, menggambarkan sosok dirinya yang terluka? Jika bukan, apa Suci merasakan luka yang tengah Leonard rasakan sekarang?
 
Tiba-tiba saja, awan mendung datang di sebelah barat dengan rintik gerimis yang ikut turun. Leonard beranjak dari duduknya, ia meraih tangan Suci dan menggenggamnya.
 
"Mau hujan-hujanan? Seru loh," tawar Leonard.
 
"Ayok!"
 
Suci dan Leonard berlari ke arah dermaga dan menikmati setiap tetes air hujan yang jatuh. Keduanya berdiri di pinggir pembatas dermaga, dan memejamkan matanya dengan merentangkan kedua tangannya. Sama-sama tak mengetahui, Suci dan Leonard menangis di derasnya air hujan. Mereka sama-sama memiliki luka yang sudah mereka sembunyikan masing-masing.
 
Tiba-tiba saja Suci terbatuk. Dadanya mulai terasa sesak dengan dingin yang menyelimuti tubuhnya. Tubuh Suci merosot ke bawah, membuat Leonard menghampiri Suci dengan perasaan panik.
 
"Ci, kamu kenapa, Ci?"
 
"Asma a-aku kambuh," cicit Suci dengan tangan yang memegang dadanya.
 
"Ci, aku lupa kalau kamu punya asma. Kamu tahan, ya, kita ke rumah sakit sekarang," ucap Leonard, dan langsung menggendong tubuh Suci.
 
Leonard menggendong tubuh Suci dan membawanya ke dalam mobil. Laki-laki itu mencoba mengusap kedua tangannya, dan menempelkannya di pipi Suci. Suci mulai terkulai lemas, ia tak bisa mengatur deru napasnya.
 
"Ci, kamu harus kuat, ya, Sayang. Kamu atur pelan-pelan napas kamu, ya," ucap Leonard begitu khawatir.
 
Kekhawatiran kini melanda di diri Leonard. Laki-laki itu langsung menancapkan gasnya agar Suci bisa mendapatkan satu pertolongan. Entah kenapa, rasanya cemas sekali melihat Suci yang kesakitan. Apalagi gadis itu baru saja memberikan satu kalimat yang membuat Leonard yakin, bahwa ia akan sembuh dalam sakit yang mendasar.
 
25 menit di perjalanan, akhirnya Leonard sampai di rumah sakit Tamrin Jakarta. Dengan keadaan basah kuyup, Leonard menggendong tubuh Suci dengan meminta pertolongan. Membuat beberapa suster langsung menghampiri Leonard, dan membaringkan Suci di sebuah brankar itu.
 
Suci di larikan ke ruang UGD. Leonard hanya bisa menunggunya di luar. Slimbag Suci ada di tangan Leonard, laki-laki itu terpaksa membuka slimbag itu dan mengambil ponsel milik Suci. Untung saja, ponsel itu sama sekali tidak di kunci.
 
Leonard menemukan kontak bernamanya bunda, ia langsung menghubungi nomor itu, namun sama sekali tak ada jawaban. Leonard kembali mencari nomor lain, dan menghubungi kakak Suci. Hasilnya sama saja, panggilan itu malah di matikan. Leonard mulai berdecak, akhirnya ia mencoba menghubungi ayah Suci. Dan beberapa detik, akhirnya panggilan itu terhubung.
 
"Hallo, Suci. Ada apa? Ayah lagi sibuk, ada acara kantor minggu ini."
 
"Maaf Om, saya Leo, bukan Suci. Sekarang, Suci berada di rumah sakit Tamrin Jakarta. Suci baru saja di larikan ke UGD," ucap Leonard memberitahu.
 
"Apa?! Saya ke sana sekarang." Panggilan itu terputus, setidaknya membuat Leonard bisa sedikit bernapas lega.
 
"Ci, maafin Kak Leo," gumam Leonard.
 
Leonard benar-benar tak tahu bahwa endingnya akan seperti ini. Leonard merasa sangat bersalah tentang kambuhnya penyakit Suci. Leonard sangat berharap bahwa Suci bisa melewati ini semua.
 
Seorang dokter keluar dari ruangannya, ia menghampiri Leonard yang tengah berdiri dengan rasa cemasnya.
 
"Dokter, bagaimana keadaan Suci? Dia baik-baik aja, kan?"
 
"Alhamdulillah, pasien berhasil kami tangani. Kondisi pasien sudah stabil, dan Anda sudah bisa melihatnya," jawab dokter itu, membuat Leonard bernapas lega. "Kalau begitu saya permisi dulu."
 
Leonard memasuki ruangan itu, dan berjalan mendekati brankar Suci. Leonard mengambil satu kursi yang ada di sana, ia meraih tangan Suci dan menggenggamnya begitu erat. Suci hanya bisa merespons kekhawatiran Leonard dengan senyuman yang sangat tipis.
 
"Maafin Kak Leo, Ci. Seharusnya Kak Leo nggak ngajak kamu buat hujan-hujanan," lirih Leonard merasakan sangat bersalah.
 
"Bukan salah Kak Leo," cicit Suci lemah.
 
Pintu ruangan tiba-tiba saja terbuka, menampakkan seorang laki-laki paruh baya dengan pakaian yang begitu rapi. Yesha memasang wajah yang sangat khawatir, ia mendekati brankar putrinya dan mengelus rambut Suci begitu lembut.
 
Suci tak percaya, melihat sosok ayahnya ada di sini. Apalagi, sang ayah begitu mencemaskan dirinya sekarang. Suci benar-benar merasakan ada suatu keajaiban di balik rasa sakit yang kini sedang ia rasakan. Karena dari sini, Suci bisa melihat sebuah kekhawatiran dari seorang ayah.
 
"Suci, kamu kenapa bisa kayak gini? Apa yang terjadi sama kamu?" tanya Yesha khawatir.
 
"Maafin saya, Om. Suci seperti ini gara-gara saya. Saya yang sudah membuat Suci hujan-hujanan, hingga asmanya kambuh," tutur Leonard menjelaskan.
 
Suci menyahut dengan lemah. "Ayah, ini bukan salah Kak Leo. Tadi pas di jalan tiba-tiba saja hujan."
 
Yesha mengangguk. "Ya sudah, lebih baik kamu pulang saja, baju kamu basah soalnya. Kalau tidak cepat-cepat ganti baju, bisa-bisa kamu sakit. Kalau soal Suci, biar saya yang jagain dia."
 
"Sama-sama, Om. Kalau gitu saya permisi dulu," pamit Leonard, lantas melirik ke arah Suci. "Ci, cepet sembuh, ya."
 
Leonard meninggalkan ruangan Suci untuk segera pulang. Di saat bayangannya sudah tak tampak, Yesha menatap ke arah putrinya dan mencengkeram tangan Suci begitu kuat. Sontak, membuat Suci meringis begitu kesakitan. Laki-laki paruh baya itu seperti orang kerasukan.
 
"Bisa nggak sih, sekali saja kamu nggak nyusahin Ayah?! Kamu tahu, gara-gara kamu Ayah harus meninggalkan acara kantor minggu Ayah." Amarah Yesha akhirnya keluar, setelah ia berhasil akting di depan Leonard. "Sekarang bangun! Lama-lama di rumah sakit hanya akan menambah biaya pengeluaran Ayah."
 
"Ta-tapi, Ayah—"
 
"Apa?! Mau ngebantah? Kalau kamu ngeyel, Ayah pastiin kejadian ini akan Ayah laporkan ke Bunda kamu, biar kamu di hukum sama Bunda kamu. Mau?!" ancam Yesha tak main-main.
 
"Suci mau pu-pulang, Ayah, tapi jangan laporin ini ke Bunda. Suci nggak mau Bunda marah," ucap Suci sedikit kaku.
 
"Gitu kek dari tadi," ketus Yesha.
 
Ternyata, sikap kepedulian Yesha tak lebih dari sebuah topeng yang di tunjukkan. Yesha seolah-olah menjadi ayah yang begitu mengkhawatirkan putri kecilnya, namun di belakang itu tak lebih seperti seorang ayah tiri yang begitu membenci putrinya.
 
Mungkin, ekspektasi Suci terlalu tinggi untuk mengharapkan kasih sayang yang tulus dari orang tuanya.
 
Yesha, tak memedulikannya.

Thanks for reading!

Jangan lupa tinggalkan jejak.

 
 Leonard Malvino.

Suci Amara Ayesha

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Suci Amara Ayesha.

Suci Amara Ayesha

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
LonelyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang