38. Antara bertahan atau menyerah

2.4K 185 6
                                    

Aku tidak mengerti tentang skenario kehidupan. Semakin diikuti, semakin alur itu memiliki banyak konflik. Aku sebagai pemeran utama hanya bisa menunggu keajaiban untuk mengakhiri skenario ini. Antara berakhir happy ending, atau sad ending.

—Suci Amara Ayesha—

3 hari kita tidak berjumpa. Hoho ada kangen sama Mak, gak?

Semoga kabar kalian di sana baik-baik saja, ya.

Siapa aja nih yang mampir di part kali ini?

Jangan lupa, tinggalkan vote dan komentar di setiap paragraf, okey!

ಠ益

Suci menarik kursi dengan pelan dan duduk dengan tenang di depan meja makan. Ia sudah disuguhkan dengan makanan sehat yang sudah Mbok Imah siapkan untuk dirinya. Semenjak kepulangannya kemarin, orang tuanya belum kunjung juga pulang, mungkin karena kondisi Luna yang belum stabil. Suci jadi semakin khawatir mengenai kondisi kakaknya. Apa kabar dia?

Suapan demi suapan masuk perlahan ke mulutnya. Meski tak urung bahwa lidahnya masih terasa pahit. Suapan selanjutnya tiba-tiba harus ia hentikan di saat pintu rumahnya yang terbuka lebar seperti di dobrak dari luar dengan sengaja. Suci menoleh ke belakang, melihat ayahnya dengan pakaian yang sangat berantakan melangkah dengan penuh emosi.

“Berani-beraninya kamu makan enak di saat kakakmu sedang sekarat, bajingan!” Mata itu mengilat penuh api amarah. Diraihnya piring itu, lalu dibantingnya dengan kuat.

Prank!

Suci memejamkan matanya penuh rasa takut. Suara keributan itu membuat Mbok Imah yang berada di belakang seketika berlari ke arah sumber suara. Ia cukup terkejut saat melihat Tuannya yang kini tengah menarik paksa tangan Suci untuk ikut dengannya. Mbok Imah sendiri tidak tahu apa yang akan Tuannya lakukan.

“A-ayah, mau bawa Suci ke mana?” tanya Suci tergagap.

“Kamu harus menjadi pendonor untuk kakak kamu! Saya tidak mau tahu, Suci. Saya tidak mau putri kesayangan saya meninggal!” bentak Yesha, marah. “Jika saya memiliki pilihan, lebih baik yang mati itu kamu, jangan Luna!”

“Ayah, Suci tidak bisa. Suci juga sakit, Ayah. Suci baru saja selesai pengobatan kemoterapi. Tolong Ayah ... tolong ngertiin, Suci.” Suci terisak. Ia tidak bisa menahan tangisannya agar tidak jatuh. “Kalau Ayah dan bunda tidak bisa mendonorkan tulang sumsum belakangnya untuk Suci, biarkan Suci tetap hidup tanpa mendonorkan ginjal Suci pada Kak Luna.”

Plak!

“Omong kosong macam apa itu?! Lambat laun kamu akan mati, pasti akan mati, Suci! Jangan sia-siakan apa yang kamu miliki sekarang. Setidaknya sebelum kamu mati sedekahkan ginjal kamu untuk kakakmu sendiri.”

Napas Suci tercekat. Jantungnya di remas begitu kuat dengan kata-kata menyakitkan dari sang ayah. Suci seakan tidak diberikan kesempatan untuk bertahan hidup meski hanya dalam lima detik. Kematiannya sudah dinantikan oleh orang tuanya sejak dulu. Bagi mereka, Suci adalah beban. Beban keluarga yang tidak bisa dibanggakan. Haruskah Suci bersukarela memberikan satu ginjalnya untuk kakaknya?

Suci menyeka air matanya. “Suci tidak bisa, Ayah, maaf.”

“Dasar anak kurang ajar!” Yesha melayangkan tangannya ke atas, bersiap untuk menampar kembali pipi putrinya.

“Tuan, jangan ....” Mbok Imah dengan cepat memeluk tubuh Suci. Ia melindungi anak majikannya yang kini tengah menutup matanya yang tengah bersiap menerima tamparan kembali dari sang ayah. Sayang, tamparan itu harus di gagalkan oleh Mbok Imah, membuat tangan Yesha tertahan melayang.

LonelyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang