47. Gantung Diri

4.3K 252 25
                                    

Jika di dunia aku tak memiliki kesempatan untuk bahagia, maka izinkan aku untuk meraih kebahagiaan itu di akhirat.

—Suci Amara Ayesha—

Huh, dari judulnya aja udah ngejleb banget ya guys, ya:')

Mental gimana mental? Siap?

Oke, kalau siap, kita lanjut!

Happy Reading 🤗

Hari ke hari begitu sangat melelahkan. Apalagi dengan permainan semesta yang semakin sulit untuk dilalui. Restu lelah, batinnya menginginkan istirahat sebentar. Ia sudah tak kuasa menghadapi kekejaman sang ayah yang seperti iblis. Apalagi sampai harus melukai ibunya.

Restu melangkahkan kaki masuk ke rumah setelah ia baru saja membelikan obat-obatan untuk ibunya. Di saat tangannya membuka knop pintu kamar sang ibu, Restu harus dikejutkan dengan sosok ibunya yang sudah menggantungkan diri menggunakan tali tambang yang mencekik lehernya.

“Bunda!” Restu berteriak histeris. Kakinya bergetar sangat hebat, sampai tubuhnya harus terjatuh dengan obat-obatan yang digenggamnya. “I-ini enggak mungkin, ini enggak mungkin.” Restu menggeleng pelan. Ia berusaha mengucek matanya, menyingkirkan genangan air mata yang sudah jatuh. Berharap apa yang dilihatnya itu tidak benar. Namun nyatanya, semua itu sangat nyata.

“Bunda!!!” Restu menangis tergugu. Kedua tangannya terkepal kuat. “Bunda ... Restu di sini!” teriaknya histeris.

Teriakan Restu yang sangat kencang, mampu mengundang atensi para tetangga. Berbondong-bondong para tetangganya memasuki rumah Restu, karena takut terjadi apa-apa. Namun, mereka harus dibuat tercengang saat melihat Mayang yang sudah meregang nyawa dengan kaki melayang.

“Bu-Bunda ... Bunda kenapa lakuin ini?” Tubuh Restu benar-benar lemas.

“Cepat panggil polisi!” titah salah satu tetangga itu yang ikutan panik. Beberapa orang lainnya mencoba menghampiri Restu untuk menenangkan laki-laki itu.

Mereka melihat Restu begitu sangat berantakan dan seperti orang linglung. Laki-laki itu hanya menangis lirih dengan terduduk kaku memandangi ibunya yang gantung diri. Rasa penyesalan kini menghampiri hatinya, seandainya Restu tidak pergi ke apotek membeli obat, mungkin ibunya tidak akan pernah memilih mengakhiri hidup dengan tragis. Dan seandainya juga ia pulang lebih cepat, mungkin Restu bisa mencegah kenekatan ibunya. Namun, lantaran ia harus menghadapi Suci, kepulangannya harus terlambat. Restu tak bisa menolong ibunya.

“Bu-bunda ... Bunda kenapa ninggalin Restu.” Restu tergugu. Hati dan batinnya terasa sakit seperti ditikam dengan ganas oleh samurai.

Tak lama, beberapa polisi dan tim medis dengan sigap mendatangi kediaman rumah Restu. Mereka berusaha melihat lokasi kejadian dan membantu untuk menuruni korban yang masih tergantung di sana. Salah satu polisi pun menemukan secarik kertas yang tergeletak di atas meja. Ia membaca kertas itu sebentar, lalu menyampaikannya kepada komandan.

“Komandan, sepertinya ini kertas pesan terakhir korban sebelum aksi bunuh diri,” ujarnya memberitahu.

Restu yang mendengar hal itu pun, ia berusaha bangkit dengan tertatih. Ia menghampiri polisi itu untuk mengetahui surat tersebut.

“Pak, apa saya boleh lihat suratnya? Saya anaknya, Pak.” Polisi itu mengangguk. Ia memberikan surat itu kepada Restu.

Restu meraup udara begitu susah karena napasnya yang sesak. Beberapa kali ia memejamkan matanya sekilas, berusaha menguatkan diri untuk membaca pesan terakhir yang sudah ibunya tulis.

LonelyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang