23. Minggu kelabu

2.4K 177 15
                                    

Pagi yang buruk. Saat ia membuka mata, hal yang ia dengar bukanlah bunyi alarm yang membangunkannya, melainkan suara-suara keributan yang terdengar di bawah. Dengan perasaan kantuk, Restu berjalan menghampiri asal sumber suara itu. Betapa terkejutnya ia melihat ibunya yang sudah tersungkur di bawah dengan beberapa luka yang tercetak di wajahnya. Ini bukan hal yang pertama kali ia lihat, melainkan sudah sangat sering ia melihat ibunya terluka oleh tangan dari ayahnya.

Pupil mata Restu membesar. Tangannya ia kepal dengan kuat, lalu mendorong tubuh ayahnya hingga terbentur terkena guci. Guci berwarna biru tua itu lantas terjatuh bercecer-berai. Amarah Restu seperti seorang iblis yang merasuki tubuhnya. Perlawanan pun kembali dilakukan oleh sang ayah. Ia memukul rahang tegas Restu, namun sama sekali tak membuat Restu kesakitan. Bahkan Restu tersenyum miring seraya memainkan lidahnya ke pipi bagian dalam.

Mayang yang mendapatkan perlakuan kasar hanya bisa memeluk kedua lututnya dengan tubuh yang bergetar hebat. Wanita paruh baya tersebut terlihat frustrasi, pandangannya menerawang kosong melihat suami dan anaknya yang akan saling menerkam.

"Jangan pernah sesekali nyakitin ibu saya!" tegas Restu mengerang.

"Ibu kamu itu gila! Ayah tidak akan berlaku kasar jika ibumu tidak mencari keributan dengan pikirannya sendiri." Napas Burhan terengah. Menggertakkan gigi gerahamnya beradu penuh amarah.

"Ayah yang gila, bukan Bunda! Ayah senang-senang di luar sana dengan perempuan pebisnis itu. Apa itu namanya bukan gila?!"

"Restu cukup! Jangan sampai tangan Ayah menghajar kamu lagi," bentak Burhan emosi. "Lagi pula kamu itu tidak tahu apa-apa tentang Ayah. Kamu ini sama saja dengan ibu kamu yang bisanya selalu tuduh Ayah terus menerus."

Restu melangkah mendekat, seringainya begitu mengintimidasi, menatap sang ayah begitu muak. "Coba jelaskan tentang hubungan Ayah dengan perempuan itu? Pantaskah pria yang sudah memiliki istri dan anak menciptakan kehangatan dengan perempuan lain? Lantas, harus dengan sebutan apa untuk pria seperti itu kalau bukan laki-laki berengsek?" Restu menaikkan satu alisnya, tersenyum miring meremehkan.

Burhan terkesiap. Rahangnya mengerang, wajah tegasnya kini memerah padam. Tanpa bisa mengendalikan emosinya, Burhan sontak menendang perut Restu dengan satu kaki yang memakai sepatu kulit pantofel yang berkilap. Tubuh Restu tersentak ke bawah. Ia memegang perutnya yang terasa nyeri. Mayang—sang ibu—ia berteriak histeris. Wanita itu merangkak tertatih menghampiri putra semata wayangnya, lantas membantu Restu untuk berdiri.

"Jangan sakiti putra saya!" teriak Mayang frustrasi.

Burhan mendorong tubuh Mayang agar meminggir. Lantas ia kembali mencengkeram baju putranya sedikit ia angkat, lalu tangan kekar itu kembali melayang menghajar wajah Restu. Restu hampir kehilangan keseimbangan, darah segera pun mulai mengalir dihidungnya.

Restu menyunggingkan sudut bibirnya terangkat sinis. Ia menyeka darah segar itu, berusaha tetap kuat meski pandangannya mulai sedikit mengabur. "Anda boleh sentuh saya dan menyiksa saya semau Anda. Tapi jangan pernah Anda sentuh ibu saya!”

"Persetan! Ayah berhak melakukan apa pun, karena Ayah kepala rumah tangga di sini. Kalau sampai kamu dan ibu kamu yang gila itu mencampuri urusan Ayah, siap-siap kalian semua Ayah habisi."

Burhan membenarkan jasnya, ia melenggang pergi dengan perasaan marah setalah mengancam anak dan istrinya. Restu segera merangkul bahu sang ibu, memapahnya ke dalam kamar. Direbahkannya di ranjang yang empuk, lalu ia bergegas mengambil kotak P3K untuk mengobati luka-luka yang berada di tubuh ibunya.

Restu sama sekali tak memikirkan lukanya sendiri. Ia justru memikirkan keadaan sang ibu. Rasanya jika sudah melihat ibunya yang terluka seperti ini, benar-benar mengikis mental Restu menjadi kacau. Selama ini kefrustrasian itu selalu Restu sembunyikan. Mungkin, menurut pandangan orang lain kehidupan Restu itu sempurna, tapi kenyataannya tidak. Hampir setiap hari Restu menyaksikan penyiksaan yang dilakukan sang ayah kepada Mayang.

LonelyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang