42. Keberadaan Suci

2.7K 169 8
                                        

Menghilang?

Sudah beberapa hari ini keberadaan Suci sulit ditemukan. Gadis itu seperti hilang ditelan bumi tanpa jejak. Semua orang kini mencarinya ke berbagai penjuru. Satu persatu tempat mereka datangi, tapi batang hidung gadis itu tak kunjung terlihat. Restu hampir saja menyerah. Ia tak tahu lagi harus melangkah ke mana. Hidupnya sudah sangat berantakan, terlebih lagi ia harus menanggung beban menyangkut nama kekasihnya.

Restu berdiri memandangi rumah pohon dari bawah. Ia menatap sekeliling, di mana ia melihat bayangan Suci yang tertawa bersamanya. Air mata Restu seketika berdenting pelan. Ia merindukan gadis itu, sekaligus khawatir. Padahal ia sendiri sedang memiliki masalah besar dalam hidupnya.

“Ci, kamu di mana? Aku butuh kamu.” Tubuh Restu ambruk. Ia merunduk dengan isak tangisnya yang tak bisa di bendung.

Suara ponsel milik Restu membuyarkan pikirannya. Ia merogoh ponsel itu, dan melihat nomor pemanggil yang tertera di sana. Segera, Restu mengangkat panggilan itu.

“Lo di mana? Suci ada sama lo, kan?” Penelepon itu langsung to the poin. Dari suaranya Restu tahu dia siapa.

“Gue nggak tahu. Gue nggak berhasil nemuin keberadaan Suci. Gue masih cari dia.”

“Jadi Suci pergi bukan sama lo? Arghh ... sial! Kalau gitu jangan lupa kabarin gue kalau lo udah ketemu sama dia.”

Panggilan itu berakhir. Restu hanya menatap kosong dengan pikirannya yang entah sudah di mana. Ternyata bukan hanya dirinya yang mencari Suci, melainkan mantan kekasih gadis itu juga. Sepertinya teman-teman Suci yang lain pun tengah mencari keberadaan kekasihnya.

Restu bangkit, ia harus kembali mencari keberadaan Suci. Mungkin, jika bukan gara-gara Luna, hidup Suci tidak akan seperti ini. Gadis itu pembawa sial. Restu benci dengan Luna. Luna tak memiliki hati nurani, gadis itu selalu mengambil apa yang Suci punya. Termasuk juga ingin mengambil satu ginjal Suci.

Seperti saat ini, Luna tengah tertawa di atas hilangnya keberadaan Suci bersama kedua temannya.

“Sumpah, gue baru tahu kalau adik sialan lo itu minggat dari rumah, Lun. Gimana, enak, nggak ada saingan?” tanya Farah terkekeh.

“Ya, sebenernya gue itu membutuhkan dia sekarang.” Farah dan Megi saling melemparkan pandangan. “Gue butuh satu ginjal dia.”

What?! Maksud lo?”

Luna menghela napas berat. “Sebenernya gue terkena gagal ginjal.”

“A-apa?! Ja-jadi lo?”

Luna mengangguk. “Maaf, gue nyembunyiin hal ini dari kalian. Karena gue takut kalian nggak mau berteman sama gue lagi.”

Kedua gadis itu langsung memeluk tubuh Luna dengan erat. Ia tak mungkin menjauh dari Luna karena gadis itu memiliki penyakit yang serius. Justru mereka berdua tidak akan pernah meninggalkan Luna di saat kondisi sahabatnya itu tengah terpuruk. Mereka akan selalu memberikan dukungan kepada sahabatnya itu. Mereka sangat yakin, kalau Luna bisa segera sembuh.

“Mana mungkin, Lun. Lo itu sahabat kita. Kita nggak mungkin ninggalin lo,” ungkap Megi dengan wajah yang cemberut. “Kita akan selalu ada buat lo, Lun. Asalkan lo mau berjuang. Okey?”

Luna tak bisa menahan tangis harunya. Ia terkekeh pelan, lalu membalas pelukan kedua sahabatnya itu.

“Makasih, ya, lo berdua emang sahabat terbaik gue.”

Mereka menguraikan pelukannya. Detik kemudian mereka tertawa dengan pandangan yang saling dilemparkan. Ah, rasanya mereka merindukan momen seperti ini. Mengingat sudah beberapa hari ini Luna tidak ada di tengah-tengah Farah dan Megi.

LonelyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang